Ini Hasil Temuan GPS-Perludem Pada Program Perlindungan Perempuan di DP3A Sulut

Konten Media Partner
30 Maret 2024 20:56 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
MANADO - Gerakan Perempuan Sulut (GPS) bekerja sama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melakukan launching temuan hasil pemantauan program perlindungan perempuan di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi (DP3A) Sulawesi Utara (Sulut), melalui audit sosial.
ADVERTISEMENT
Pemantauan yang dilakukan sejak bulan November 2023 hingga Februari 2024 ini, memiliki beberapa tujuan yang bermuara pada pemberian rekomendasi untuk melakukan pembenahan pada kegiatan-kegiatan atau program perlindungan.
Nurhasanah, narahubung GPS, mengatakan tujuan dari audit sosial yang pertama adalah melihat relevansi perencanaan dan implementasi kebijakan dalam menjawab persoalan pada kelompok marjinal terdampak dalam hal ini perempuan dan perempuan korban kekerasan.
Kemudian, untuk melihat relevansi output dan dukungan anggaran dari program perlindungan perempuan di DP3A dalam menjawab permasalahan isu perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.
"Dan yang ketiga untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah terhadap aspek perencanaan dan implementasi kebijakan berdasarkan temuan hasil pemantauan," kata Nurhasanah, Sabtu (30/3).
Dijelaskan Nurhasanah, dari hasil pemantauan pada tahapan perencanaan kebijakan, temuannya adalah minimnya pelibatan publik termasuk media dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang berdampak besar pada hasil yang dicapai.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kegiatan yang direncanakan tidak menghasilkan output yang dibutuhkan oleh penerima manfaat. Tidak adanya data atau informasi yang langsung disampaikan publik, mengakibatkan tidak ada penyelesaian permasalahan yang dialami oleh kelompok sasaran.
"Seperti biaya Visum et Psikiatrikum yang masih berbayar dengan tenaga psikiater yang terbatas hanya dua orang, biaya rawat inap akibat dari kekerasan yang dialami masih ditanggung korban, dan belum ada rumah aman yang representative sesuai dengan kebutuhan korban," kata Nurhasanah.
Dalam audit sosial ini juga ditemukan pelibatan publik hanya pada kegiatan konsultasi publik penyusunan RKPD Provinsi dengan waktu yang terbatas dan peserta yang banyak.
"Apalagi dengan adanya aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (SIPD), konsultasi terkesan hanya formalitas saja," ujar Nurhasanah lagi.
ADVERTISEMENT
Sementara, menurut Kepala UPTD PPA Provinsi, Marsel Silom, Ada empat aspek yang bisa diukur untuk melihat kualitas layanan korban, yakni kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia, ketersediaan anggaran, sarana dan prasarana, serta mekanisme atau aturannya.
Empat aspek tersebut dalam temuan audit sosial, justru masih rendah, dengan tingginya kasus yang ditangani sehingga berdampak kepada ketidakpuasan korban.
Tak hanya itu, pantauan terkait anggaran yang tertata saat ini jika dilihat secara besarannya memang cukup besar, namun jika dilihat dari rincian pembiayaan yang dikeluarkan, untuk mendukung pelayanan yang diberikan kepada korban justru jauh lebih besar dari biaya pemenuhan layanan untuk korban itu sendiri.
"Walaupun hal ini bukan sebuah temuan penyelewengan, karena biaya-biaya itu memang harus dikeluarkan, tapi seharusnya itu di luar dari anggaran yang dikhususkan untuk program perlindungan perempuan," ujar Nurhasanah.
ADVERTISEMENT
Adapun akhir dari pemantauan audit sosial ini adalah rekomendasi yang bisa dijadikan acuan bagi pihak-pihak terkait sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasi.
Rekomendasi yang dihasilkan antara lain pelibatan publik benar-benar dilakukan secara serius sejak dari proses perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sehingga program-program yang dijalankan benar-benar tepat sasaran.
Selain itu, komunikasi yang efektif antara legislatif dan eksekutif harus dibangun dengan baik terkait peran dan kewenangan dalam melihat sudut pandang isu perlindungan perempuan sebagai isu prioritas, sehingga besaran anggaran yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dalam pemberian layanan yang komprehensif kepada korban.
Pemanfaatan digitalisasi pada tahap perencanaan dan implementasi juga diminta harus didesain khusus agar masyarakat secara umum dapat mengakses dan menyampaikan aspirasinya secara langsung dimanapun dia berada.
ADVERTISEMENT
"Pelibatan media sejak pada tahapan penyusunan perencanaan pembangunan hingga pelaksanaan sangat penting sebagai bentuk keterbukaan informasi publik sekaligus untuk kontrol sosial," ujar Nurhasanah kembali.
manadobacirita