Senyum Untuk Kasir Minimarket

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
26 September 2023 21:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi : https://www.istockphoto.com/id/portfolio/Hispanolistic?mediatype=photography
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi : https://www.istockphoto.com/id/portfolio/Hispanolistic?mediatype=photography
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tugas menjemput puteri saya dari tempat les sering disisipi permintaan untuk mampir belanja camilan sebagai teman mengerjakan tugas atau mungkin chatting-an di rumah. Manalagi kalau ke minimarket yang identik dengan merah, biru, dan kuning.
ADVERTISEMENT
Bukan warna yang ingin dikisahkan. Bukan pula bukan tentang neon terang benderang dari atap ruang. Untuk ini, tak perlu dibandingkan dengan lighting remang-remang ketika makan nasi kucing di angkringan. Ini tentang kasirnya yang kebetulan perempuan.
Selembar ratusan ribu saya berikan kepada puteri saya. Saya biarkan dia membawa keranjang belanjaanya untuk diisi dengan "ciki-ciki" kesukaannya. Saya ingin melihat bagaimana ia berkomunikasi dengan kasir. Bagaimana ia menghitung total harga barang belanjaan, jangan sampai melewati nominal uang di tangannya.
Penasaran pula, kalau uangnya tak cukup, apakah ia akan meminta subsidi tambahan. Sebelumnya saya berpesan untuk menyisihkan satu dua jenis barang incarannya. Mana yang akan ia hapus dari daftar belanjaan.
Kesempatan ini sering saya gunakan untuk melatih keberaniannya. Sehari-hari dia mirip smartphone dalam mode diam. Mbah Uti-nya saja suka gemas, pengin mendengar suaranya. Tidak sekadar menjawab "ya, tidak, belum dan sudah".
ADVERTISEMENT
Depan kasir pula, saya ingin ia belajar. Kebiasaan antri yang tak kunjung membudaya di sini. Sungguh apakah ia akan cemberut barangkali ada yang menyerobot antrian.
Sebagai seorang ayah, tentu saja saya cukup sadar, ia tak cuma butuh keterampilan rumus matematika. Tak hanya hafal siapa yang mengetik naskah proklamasi. Tak sekadar mengenal majas-majas dalam bahasa Indonesia.
Tentu saja, saya mengawasinya. Berjarak tiga empat meter di luar barisan antrian. Namun, seperti halnya sering saya dapati, setelah barcode belanjaan selesai dipindai. Kasir bertanya menawarkan barang-barang yang sedang dipromosikan. "Tambah ini Dik, ini lagi promosi lho. Beli dua dapat tiga".
Anakku menggelang, suaranya tak terdengar. "Barangkali ini, sosis bakarnya baru dibakar lho".
ADVERTISEMENT
Anakku menggelang tanpa suara. Mimik wajahnya menunjukkan ingin segera mengakhiri transaksi. Sampai ketiga kali, tampaknya si kasir cukup agresif.
Ini kali, saya tak bisa menahan sabar. Emosi saya menaik. Saya melangkah cepat dan mendekat. Dengan nada meninggi, "Sudah, Mbak. Langsung aja selesaikan transaksinya. Anak kecil kok dipaksa beli barang promosi"
Saya merasa berhak untuk sewot. Pertama, karena saya merasa kelewatan, dia cuman anak kecil. Kedua, karena dia sudah menghabiskan dan mengulur-ulur waktu saya sebagai konsumen.
Iya, boleh jadi bukan faktor kasirnya. Bisa jadi memang hari itu bukan hari yang baik untuk saya. Hari yang melelahkan buat saya. Namun, kalau boleh berdalih, bukan sekali ini saja aku mendapati pengalaman seperti ini. Selain doktrin untuk mencapai target penjualan yang sehebat-hebatnya. Apakah tidak ada "amalan" yang dibekalkan kepada para pegwai minimarket untuk sedikit lebih peka. Bukankah puteri saya ini masih anak-anak?
ADVERTISEMENT
Ya, saya tahu mereka tengah menerapkan "cross selling". Menawarkan produk tambahan kepada konsumen dengan modus promo diskon atau tebus murah. Pastilah, itu amalan wajib yang diperintah oleh atasannya.
Sejak saya membaca Gadis Minimarket atau Convenience Store Woman, sebuah novel karya Murata Sayaka sepertinya semua kasir terlihat mirip Keiko. Pegawai yang patuh pada Standar Operasional Prosedur (SOP). Teman satu-satunya bahkan menyebutnya sebagai binatang minimarket.
Bertemu dengan pegawai-pegawai yang sudah terkena virus macam ini menurut saya sulit berharap ada kepekaan dalam dirinya.
***
Hingga, suatu waktu di tempat lain. Di sebuah minimarket yang masih satu jaringan juga. Saat itu sudah di atas jam sibuk, menjelang minimarket tutup. Kali ini saya tidak bersama puteri saya. Hanya ada dua pengunjung yang sedang mencari-cari barang di rak, salah satunya adalah saya.
ADVERTISEMENT
Saya mendengar percakapan antar pegawai satu laki-laki dan satu kasir perempuan. Si kasir berkata begini.
"Tahu nggak, pembeli yang baru keluar tadi. Itu sudah bolak-balik mampir ke sini. Heran aku, dengan orang-orang macam dia. Apa mereka tidak pernah berusaha menyenangkan satu kali saja, orang-orang seperti kita ya. Masa ditawari ini promosi ini itu tak pernah mau. Aku tahu dia orang kaya. Apa salahnya, sekali-kali menyenangkan pegawai kecil seperti kita-kita.
Jelas, ia sedang "ngrasani" orang yang baru saja pergi. Tetapi, saya merasa itu ditujukan juga ke saya. Meskipun tentu saja, saya tak termasuk kaya. Tetapi saya serasa sedang diancam dua sisi pisau. Satu sisi membuat saya tersinggung. Sisi tajam yang lain membuat saya merasa berdosa.
ADVERTISEMENT
Dunia ini mengelompokkan kita dalam dua jenis. Kaum yang kalap atau kaum yang kalah. Rayuan itu sekarang bukan hanya di minimarket. Ada di dalam rumah kita. Dalam telpon genggam kita. Lewat medsos dan media online. Hidup kita seakan di depan kasir. Kita cukup tahu mana yang diperlukan. Tetapi dunia memaksa kita menambah daftar keinginan dan belanjaan.
Di depan kasir minimarket saya menjadi sadar. Saya tak tahu apakah konteksnya tepat atau tidak. Tetapi, tetiba saya teringat ajaran Nabi, tersenyum adalah sedekah. Untuk menolak dengan cara halus saja berat. Alih-alih senyum tulus, mencegah agar tidak keluar kata-kata yang ketus sekalipun itu tak mudah.
Dunia memang rumit. Kita tak kuasa untuk mencegah untuk melihat dan menilai orang lain dengan rasa curiga. Barangkali senyum terpaksa pun baik. Mungkin ini inilah kepekaan minimalis. Sebab, untuk mencegah marah butuh perjuangan yang tak kalah susah.
ADVERTISEMENT