Mendadak Tukang Parkir

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2023 20:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gibran Rakabuming Raka memakai baju petugas parkir. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Gibran Rakabuming Raka memakai baju petugas parkir. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gibran berbaju tukang parkir. Lalu kita beramai-ramai membuat tafsir.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi tradisi, selain baju adat nusantara, nyaris setiap arak-arakan karnaval kemerdekaan tidak absen dari cosplay bertema profesi. Baju doreng tentara, seragam cokelat polisi, jas dokter, baju pilot, tak lupa baju safari menjadi favorit untuk ditampilkan oleh anak-anak TK jauh sebelum zaman selfie,
Profesi dambaan generasi milenial dan generasi Z terkini adalah menjadi Youtuber. Tetapi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka justru memilih menjadi petugas parkir. Setidaknya dari baju yang dipakainya dalam acara Pawai Pembangunan Kota Solo dalam rangkaian acara Hari Kemerdekaan ke-78 RI.
Sebagian ada yang menafsirkannya sebagai kode sindiran terhadap sebuah partai. Lebih baik petugas parkir daripada menjadi petugas partai. Tetapi menurut Gibran cosplay yang dilakoninya hanya sebagai apresiasi terhadap tukang parkir yang menyumbang peran dalam menjemput retribusi daerah.
ADVERTISEMENT
Menurut kacamata Gibran, istimewanya tukang parkir adalah pahlawan retribusi bagi Kota Solo. Ada semacam pengakuan dan penegasan bahwa tukang parkir adalah sosok penting bagi suatu kota. Lewat tangan-tangan merekalah pundi-pundi pendapatan daerah dapat terkumpulkan.
Sebagai wali kota yang milenial dan berlatar belakang pengusaha, Gibran memang terkesan sering berpikir "out of the box". Maka pesan yang disampaikan tersebut patutlah dihargai. Mengajak untuk menghargai mereka yang punya profesi remeh dan kecil tetapi sesungguhnya berkontribusi bagi suatu kota.
Namun, mendadak menjadi tukang parkir tak mungkin dilakukan oleh Wali Kota Paris. Sebab sesuai judul tulisan Seno Gumira Ajidarma adalah Kota Tanpa Tukang Parkir, di Paris adalah hal lazim melihat mobil penyok-penyok. Menurut pengamatannya, tentu saja ini ada hubungannya dengan tidak adanya tukang parkir di Paris. Petugas yang membantu memandu seseorang parkir.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, mobil di Paris lebih terlihat sekadar alat transportasi. Tidak terlalu dibebani fungsi untuk menunjukkan prestasi.
Ditelisik lebih jauh lagi, bagi kebanyakan orang Indonesia mobil adalah simbol prestige dan kehormatan. Sekali penyok bempernya, penyok pula harga dirinya. Sedikit tergores body mobilnya, tergores pula kehormatannya. Cobalah sedikit jujur, apakah anda termasuk yang "bete" banget ketika mobil lecet karena sembrono ketika parkir atau bermanuver?
Tukang parkir yang nota bener dianggap sebagai pekerja recehan, secara fungsional berguna bukan saja menjaga mobil-mobil aman dari ancaman pencurian. Lebih dari itu menjaga agar kehormatan dan harga diri para pemilik mobil tak hilang akibat body mobil lecet dan tergores.
Sudah tentu kita juga tak meremehkan perputaran uang di dalam bisnis parkir baik resmi maupun tidak resmi. Nyaris di setiap kota di Indonesia, selain tukang parkir resmi sudah jamak kita bertemu dengan bermacam tipe tukang parkir. Dari yang sekadar mencari duit bermodal peluit. Tak terlalu beda dengan preman tukang palak yang penuh intimidasi. Tulisan "parkir gratis" pun kadang tak dihiraukan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kita kerap juga mendapati postingan di medsos adanya tukang parkir yang bekerja seakan sesuai passion-nya. Seolah membuat barisan motor berbaris rapi menjadi bagian dari hobi.
Karenanya, saya selalu teringat ceramah Abdullah Gymnastiar yang mengajak kita menjadi "tukang parkir" dalam melihat kekayaan, pangkat dan segala hal yang duniawi yang dimiliki. Kita tak berhak marah kalau semua itu diambil dan digunakan oleh Yang Punya.
Petugas hanya menerima titipan barang, menjaganya jangan sampai hilang atau lecet. Sebisa-bisanya kita untuk tidak pernah merasa kehilangan atau iri melihat sang empunya kemudian membawanya pergi kembali.
Kita justru suka merasa kehilangan sesuatu.Padahal sejujurnya kita tidak pernah memiliki sesuatu tersebut. Rasa memiliki akan membuat kita merasa kehilangan. Mencapai level "tukang parkir" seperti yang disampaikan oleh Aa Gym ini tentu saja berat. Tak bisa dicapai dengan cara dadakan atau dengan cukup memakai baju petugas parkir satu hari.
ADVERTISEMENT
Satu hari seorang wali kota milenial mendadak jadi tukang parkir. Berita tersebut membuat kita dengan sukarela ikut berpikir. Bagi suatu kota mereka adalah petugas-petugas yang berjasa menghadirkan pendapatan. Tetapi apakah kita sudah mendengarkan pendapat mereka?
Jangan-jangan kita cuma pernah mendengar suara "priit" dari peluitnya. Lalu kita beranjak menginjak atau menarik gas, sembari menyerahkan dua ribu atau lima ribuan untuk pergi dari parkiran. Tanpa pernah mencari tahu berapa banyak di antara mereka adalah generasi kekinian yakni para milenial dan generasi Z yang sejatinya bermimpi menjadi youtuber dengan jutaan subscriber.