Ketika Anies Menyajikan Data dari Angkasa

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2023 16:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepasang suami istri hendak bertamu ke rumah seseorang pada malam hari. Di depan pagar rumah tujuan terjadi percakapan.
ADVERTISEMENT
"Lha, wong rumahnya gelap. Hanya ada lampu temaram nyala di depan pintu. Coba perhatikan, di dalamnya juga tampak gelap. Tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalam. Ah, sepertinya malah mereka satu keluarga sedang pergi. Mobilnya pun tak tampak di carport. Lagipula, kalaupun di rumah mungkin sudah tidur".
"Tapi ini masih belum jam 8. Rata-rata orang tidur di atas jam 10 malam. Lagipula katanya dia memang kalau malam kebih banyak di rumah. Masalah mobil abaikan, mungkin saja sedang dipinjam orang".
Pasangan tersebut berdebat untuk memutuskan apakah jadi bertamu atau memilih balik kanan saja.
ilustrasi : https://www.pexels.com/photo/modern-cityscape-at-night-16995789/
Setiap hari manusia memutuskan sesuatu hal. Setiap kebijakan pemerintah dan lembaga bisnis membutuhkan data. Hampir segala data identik dengan angka-angka.
ADVERTISEMENT
Daripada membaca teks panjang atau melihat angka-angka, manusia sebetulnya cenderung menjadi manusia visual. Orang awam malas rasanya melihat angka-angka. Apalagi di era digital ini manjadi era serba klik dan scroll. Maka gambar, video dan grafis menjadi favoritnya. Tak heran, banyak yang mulas rasanya berhubungan dengan statistik. Banyak orang kritis, banyak pula yang skeptis. Apalagi kalau data itu keluar dari lembaga pemerintah.
Hampir segala isu kebijakan diikuti dengan perdebatan kesahihan data dan sumbernya, baik di forum resmi terlebih lagi dalam percakapan netizen di media sosial. Masih cukup hangat, bagaimana riuhnya percakapan setelah Anies Baswedan membandingkan pembangunan jalan di era Jokowi dan era Susilo Bambang Yudoyono.
Begitu pula perdebatan tentang jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan yang menurun selama Jawa Tengah dipimpin Ganjar Pranowo. Agak mundur ke belakang, pada kampanye capres terdahulu, suatu ketika Prabowo pernah memberikan statement bahwa 99 persen masyarakat Indonesia berada pada ekonomi pas-pasan. Tentu, ini kemudian mendapat banyak komentar sinis.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ada sesuatu yang menarik dari Anies ketika mengangkat isu ketimpangan di Indonesia dalam Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di Makassar, 13 Juli 2023 lalu. Ia menyajikan foto udara Indonesia di malam hari. Dari sudut pandang angkasa, tampak di wilayah Pulau Jawa sebagian besar lampu menyala, kemudian hanya sebagian menyala di Pulau Sumatera. Sedangkan di Indonesia Timur hanya sebagian besar gelap. Menarik ketika seorang bakal calon presiden mempresentasikan isu ketimpangan bukan dengan angka-angka statistik, melainkan dengan gambar.
Cara Baru, Data Baru
Ini mengingatkan kita tentang gagasan mengukur pertumbuhan ekonomi dari luar angkasa. Dalam makalah yang ditulis oleh J.Vernon Henderson, Adam Stroreygard dan David N. Weil, mereka mengusulkan ide yang inovatif yaitu mengukur gross domestic product (GDP) dengan melihat banyaknya cahaya di negara-negera berkembang pada malam hari. Keluaran ekonomi dapat diamati dengan mengamati cahaya di wilayahnya. Alasannya, aktivitas ekonomi kerap tidak tercatat dengan baik dalam angka statistik di negara-negara yang belum maju.
ADVERTISEMENT
Jadi, potret-potret yang menunjukkan gelap terangnya suatu wilayah dapat menjadi pelengkap dan pembanding ukuran-ukuran resmi yang kerap dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang memiliki otoritas. Gagasan itu disinggung dalam buku berjudul Everybody Lies yang ditulis oleh ilmuwan data google bernama Seth Stephens-Davidowitz.
Lepas dari substansi kritiknya tentang adanya ketimpangan di daerah, cara Anies menyajikan data adalah sesuatu yang berbeda. Ada semacam ajakan untuk melihat data dengan cara yang lain.
Sudah saatnya cara memandang apa yang disebut data tidak lagi tradisional dan kovensional. Di era digital ini memang penting untuk menggali jenis data baru. Kita perlu berpikir terbuka untuk melihat apa yang disebut sebagai data.
Sumber data untuk kebijakan hari ini sudah tidak melulu angka statistik. Angka adalah data. Teks juga data. Bayangkan banyak dan jenis kata-kata kasar yang sering diketikkan netizen Indonesia. Apakah kita termasuk masyarakat yang sopan? Apa yang diketikkan orang di mesin google adalah data. Senyum menurut Davidowitz juga data. Video sudah tentu adalah data.
ADVERTISEMENT
Bayangkan misalnya, apabila suatu kota melabeli dirinya sebagai kota religius. Apa yang terungkap apabila kita minta tolong ilmuwan data google untuk menyajikan sebagian besar apa yang mereka tonton dari gadget di genggamannya. Pencarian di search engine adalah data yang paling hebat.
Jadi, gelap terangnya halaman rumah adalah data. Kembali melanjutkan kisah suami istri di awal tulisan, perdebatan mereka semakin berisik. Tiba-tiba saja pintu rumah tersebut terbuka.
"Lho, kalian berdua kok malah ribut. Mirip para pendukung capres saja. Ayo, silakan masuk".
Sugeng rawuh, di Era Data Baru.