Ke Toilet dengan Gembira

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2023 20:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi toilet kereta. Foto: Krysja/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toilet kereta. Foto: Krysja/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Segera ke toilet saat hajat sudah mendesak tentu menjadi urusan genting. Namun, urusannya tak berhenti ketika sudah ditunaikan. Ada urusan kesenjangan dan "jiwa miskin" yang tak kalah penting.
ADVERTISEMENT
Waktu kecil sekira usia sembilan tahun, saya pernah nguping percakapan orang dewasa. Saat itu suasana lebaran. Seorang tetangga bertamu ke rumah, sekaligus sharing pengalamannya merantau di Jakarta. Dari si tamu terlontar quotes yang terekam di memori saya sampai hari ini, "Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Dan ketika kita diare, kejamnya makin terasa."
Bagi kaum perantau yang sedang berusaha suvive, kota besar akan semakin sadis ketika mereka menderita diare. Upah kuli tak seberapa, amblas untuk bolak-balik bayar nongkrong di WC umum. Cari makan susah, untuk buang hajat tak kalah payah.

Manusia Kepepet

sumber foto : pexels-vilnis-husko-12313516
Begitulah ia menggambarkan sifat materialistis dan tirani kota besar bagi para pengadu nasib. Orang-orang rakus telah memanfaatkan manusia-manusia yang kepepet. Ada semacam semangat perjuangan ideologis yang diceritakan tetangga saya. Terkandung perjuangan kelas di dalamnya. Ada nelangsa di balik kisah yang memandang toilet dengan makna eksploitasi. Dalam relasi kaya dan miskin, kota dan desa.
ADVERTISEMENT
Maklum saja, saat itu di kampung saya sekalipun mayoritas tak punya WC di rumahnya. Namun, mereka kapan saja bisa mengakses sungai gratis sungai. Bebas login tanpa registrasi.
Zaman itu belum zaman smartphone. Kala itu, tak banyak informasi yang didapat oleh orang-orang desa tentang kehidupan kota. Screenshoot kehidupan di kota hanya bersumber dari konten dari mulut ke mulut semata. Bisa menonton TVRI, satu-satunya channel TV saja sudah luar biasa. Wajar, mengalami realitas bahwa segala sesuatu di kota besar harus serba bayar menimbulkan "cultural shock" bagi para perantau dari desa. Bagi saya yang masih belia saat mendengar curhat tetangga itu, melekat dalam benak bahwa kota adalah raksasa yang siap memangsa anak-anak tirinya.
ADVERTISEMENT
Masih tidak terlalu lampau, sempat trending berita tentang Menteri BUMN, Erick Thohir yang marah karena toilet di SPBU yang nota bene fasilitas umum dan mestinya gratis justru berbayar.
Toilet harus dapat diakses rakyatnya dengan gembira. Bayangkan kalau sudah tak sanggup menahan hajat, lalu kita diminta menujukkan saldo cukup atau tidak.
Negara memang harus hadir di segala ruang. Seorang siswa yang "izin ke belakang" pada saat di kelas, harusnya ditanya pula. Apakah ia merasa bahagia saat masuk dan kemudian keluar dari kamar kecil.
Pasalnya, saya pernah punya pengalaman yang menempel kuat. Kali ini tentang puteri saya saat duduk di kelas dua Sekolah dasar. Nyaris seringkali ia pulang sekolah ia masuk rumah dengan bergegas sedikit lari. Kenapa tak buang air kecil atau besar di toilet sekolah? Alasannya tak tahan dengan toiletnya. Pesing dan suka ada sisa-sisa kotorannya.
ADVERTISEMENT
Mungkin bukan fasilitasnya. Bisa jadi fasilitas cukup tersedia di mana-mana. Namun perilaku masyarakat kita yang belum membuat kita gembira.
Yang dimaksud tentu bukan menghadirkan toilet tidak seperti yang dilakukan oleh Korea Utara. Jelas, kita bukan Kim Jong Un yang ke mana-mana selalu membawa toilet pribadinya. Bahkan saat melawat ke negara lain. Alasannya, adalah keamanan negara. Fases yang ditinggalkan akan menjadi sumber informasi bila diteliti. Termasuk kebiasaan, perilaku dan riwayat kesehatan pemimpin Korea Utara tersebut.
Kita juga bukan satwa herbivora berukuran besar yang langka seperti gajah dan badak. Pada bekas-bekas feses satwa tersebut akan tumbuh banyak spora bernama spormiella yang tahan ribuan tahun. Banyak sedikitnya spora tersebut menjadi petunjuk adanya hewan yang pernah ada di tempat tersebut. Hal ini menjadi warisan berharga dan petunjuk bagi perkembangan sains.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, "warisan" yang kita gelontorkan ke lubang toilet kita bukanlah menjadi urusan keamanan negara atau penelitian hewan langka layaknya Kim Jong Un atau satwa langka.
Urusan kita masih berkutat pada soal kebersihan, kesehatan dan adabnya. Residu yang tertinggal di WC umum masih sering menjadi pengalaman horor. Sehingga toilet menjadi ajang penyuluhan. Banyak sekali rambu-rambu di tiap toilet. Dari yang mainstream seperti pesan: "jagalah kebersihan", "tutup keran", "jangan membuang sampah atau pembalut ke lubang WC", sampai siram sampai bersih hingga kata-kata yang bernada seram, seperti "yang hajat tidak disiram, berarti monyet". Mirip sekolah militer yang harus mendisiplinkan siswa-siswanya.

Struktur Ganda

Mungkin kita ini masing setengah kaki jadi manusia modern, setengahnya lagi adalah manusia agraris. Barangkali jiwa kita masih mewarisi jiwa yang suka hajat di sungai. Mengira tanpa banyak usaha, kotoran kita akan lenyap terbawa aliran air. Kemajuan dan peradaban kita masih dalam struktur ganda.
ADVERTISEMENT
Apa toilet bersih itu eksklusif milik gedung-gedung mewah seperti hotel berbintang? Sebetulnya berapa ongkos yang harus kita bayar untuk bisa mengubah perilaku kita menjadi beradab. Sehingga kita bisa membayangkan toilet yang mencerminkan kita sebagai bangsa yang beradab. Mungkin kita perlu melakukan terobosan misalnya. Lomba toilet bersih penerima BLT se-Indonesia.
Sesekali imajinasi kita juga harus diterbangkan. Membayangkan suatu saat toilet di fasilitas umum akan ditunggui oleh oleh petugas yang ganteng. Dilayani oleh perempuan seperti umbrella girl di barisan start balapan MotoGP.
Buang hajat mestinya dilakukan tidak hanya dengan perasaan terpaksa dan penuh penindasan. Melainkan dirayakan dengan gembira. Di zaman konten ini, saya tak perlu nguping lagi, untuk mengetahui kisah-kisah penindasan.
ADVERTISEMENT
Untuk suatu tugas kantor, saya sesekali pernah menginap di kamar hotel bintang lima. Toiletnya lebih wangi dibanding ruang tamu di rumah saya. Lega rasanya jika hajat sudah ditunaikan. Jiwa ndeso dan jiwa miskin saya meluap. Mirip sisa kotoran yang tak mau masuk meskipun digelontor siraman air.
Pergi ke toilet akan selalu menjadi keperluan mendesak. Ketika hajat sudah tak tertahankan, toilet jadi kebutuhan genting. Duduk di toilet yang bersih dan wangi membawa lamunan saya pada mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek mercu suar yang menjadi prioritas penting dan mendesak. Dari sanalah kota yang cerdas akan bermula. Kota yang ramah lingkungan. Dan akan menjadi nusantara yang maju.
Entah tiba-tiba saya jadi membayangkan IKN. Mungkin kelak di sana, warganya akan dapat menikmati toilet di sana dengan gembira. Tetapi bagaimana dengan manusia-manusia di seluruh pelosok nusantara? Kesenjangan di ruang toilet mungkin dapat menjadi ukuran kemajuan bangsa. Bukankah ide IKN dimulai dari isu kesenjangan?
ADVERTISEMENT
Tetapi kabar belakangan ini lebih ramai tentang rebutan untuk menjadi pemimpin bangsa. Urusan ini memang penting. Sebab di tangan merekalah nasib manusia-manusia Indonesia dapat menikmati kegembiraan di ruang keluarga, sekolah sampai nasib kegembiraan kita hingga masuk ke toilet sekalipun.
Namun, apakah kabar-kabar tentang praktik politik "mencapres dan mencawapreskan" yang beredar belakangan ini menggembirakan kita semua? Silakan menilainya!