Jajanan Bertabur Asal-Usul

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
23 Maret 2024 20:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bermaksud ikut takjil war, beberapa hari lalu tak sengaja mata saya menatap jajanan yang sudah terlalu lama tidak dijumpa. Penganan tradisional bertabur gula. Donat ndeso, namanya jalabia.
ADVERTISEMENT
Tatapan ini menuntun ingatan sebuah kisah. Tentang seorang bocah lima tahun. Secara tak sengaja ia terpisah dari kakaknya. Kakaknya terpaksa meninggalkannya di bangku tunggu sebuah stasiun, semata-mata karena sang adik mengantuk dan kelelahan. Sembari berpesan agar tetap di tempat karena ia harus ke suatu tujuan untuk mencari pekerjaan.
ilustrasi gambar : pexels-michael-burrows-
Mereka berasal dari keluarga miskin. Jadi, setiap kali melewati penjual menjajakan kue si bocah hanya mampu menatap penuh harap. Ada satu jenis jajanan yang sangat ia impikan. Kakaknya berjanji, kelak pasti akan membelikannya jika sudah ada uang di tangan.
Namun apa daya, tatkala kakaknya kembali ternyata adik tersayangnya itu tak lagi di berada sana. Si bocah jemu menunggu dan mencoba masuk kereta kosong. Dan begitu kereta itu beranjak ia pun terbawa gerbong sampai ratusan kilometer. Jangankan mengenali alamat rumah, mengeja namanya sendiri pun masih salah. Ia mengenali dirinya sebagai Saroo.
ADVERTISEMENT
Nasib kemudian membawanya melintasi lain benua. Singkat kisah, jalan takdir menetapkannya sebagai anak adopsi lintas negara. Ribuan kilometer dari asalnya. Dua puluh lima tahun berselang, ia sudah mapan di tengah keluarga barunya. Dalam sebuah pesta kumpul-kumpul dengan komunitasnya, ia bertemu dengan jenis jajanan yang pernah dijanjikan kakaknya. Ia melihatnya dalam sebuah kulkas. Seketika itu ingatan masa kecilnya merayap.
Memang seringkali dalam sepotong kue atau sepiring makanan tak melulu mengandung bahan atau bumbu. Tak hanya diolah dari dedaunan, daging, ikan atau buah. Melainkan terkadang memuat kenangan yang kuat. Ada kenangan rasa dan aroma. Ya, flavour memory itulah yang membangunkan kenangan banyak orang dengan masakan seorang ibu. Termasuk saya yang merindukan sambal olahannya. Jalabia pula menjadi jajanan yang terkenang karena pernah dibelikan olehnya.
ADVERTISEMENT
Ada saat kita merindukan jajanan saat kita kecil. Semasa bocah kita begitu memimpikan jajanan yang kini sudah begitu terjangkau. Bisa jadi, kita sudah "modern" sehingga kita kangen dengan kuliner tradisional. Makanan apa yang sangat diimpikan pada masa lalu ketika anda masih kecil namun sulit bahkan tidak terwujud? Sebaliknya, makanan apa yang justru kita dirindukan setelah tumbuh dewasa?
Untungnya ada bulan Ramadan, bulan dengan tradisi parade kuliner. Banyak makanan khas bulan puasa yang bertaburan. Jajanan tradisional yang sehari-hari tak mudah didapat, terpajang di etalase hingga di meja-meja kecil sepanjang jalan dan keramaian.
Sebagian penganan itu identik dengan momen yang jauh di masa lalu. Lewat jajanan inilah kita bisa bernostalgia. Lewat makanan kita bertemu dengan seseorang, keluarga, suatu tempat, kisah serta rumah. Ia menjadi pengingat akan asal-usul.
ADVERTISEMENT
Kisah di awal tulisan ini sesungguhnya adalah cuplikan sebuah film berjudul Lion. Garapan sinema yang berakar dari autobiografi Saroo Brierley berjudul A Long Way Home, diterbitkan pada tahun 2013 di Australia.
Jika anda juga pernah mengikuti kisah itu, si bocah yang telah tumbuh menjadi pemuda itu berkat teknologi google earth, kegigihan untuk mengingat dan segala kompleksitas batin maka pada akhir cerita, berhasil menggali akar sejarah dirinya. Dari Australia ia menelusuri asal-usulnya sampai ke perkampungan miskin di Madhya Pradesh, sebuah daerah di India. Ya, Saroo namanya, akhirnya bersua dengan ibunya. Nama yang salah diucapkan. Sejatinya ia lahir bernama Sheru, yang berarti singa sebagaimana judul filmnya.
Jajanan yang pernah ia impikan adalah jalebi. yang tentu tak mudah dijumpai di Australia. Jajanan yang khas India. Nama jalebi mengingatkan saya akan jajanan masa kecil saya: jalabia. Sama-sama jajanan yang berasa manis. Entah ada hubungan apa antara Jelabi dengan jalabia. Ternyata jika ditelusuri lebih lanjut jalebi adalah camilan manis yang populer di Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Mauritius. Ia mempunyai banyak nama, termasuk zalabia.
ADVERTISEMENT
Sedangkan jalabia yang saya temui kembali setelah sekian lama tak pernah melihatnya, dalam KBBI disebut jalabria yang berarti penganan dari tepung ketan yang diberi gula dan digoreng. Beberapa literatur menyebutkan jalabria merupakan khas Sunda. Namun, di beberapa artikel menjadi khas Betawi. Faktanya, saya yang tinggal di Tegal, Jawa Tengah, sejak kecil tak asing dengannya. Jalabia ini termasuk penganan yang pernah dibelikan oleh ibu saya. Sebuah kenangan yang merekat kuat.
Bulan puasa dan lebaran adalah momen penuh dengan sajian kuliner. Dari mulai warung, toko, meja di pinggir jalan, lapak online hingga kemudian sampai di meja makan atau ruang tamu, Aneka makanan juga terkadang sulit untuk diketahui lagi keaslian asalnya. Apalagi jika tanpa catatan sejarah dan sedikit bukti.
ADVERTISEMENT
Melihat jalabia, saya sejenak membayangkan menjadi Saroo. Betapa makanan mempunyai kekuatan yang kuat untuk mengingatkan kita akan asal-usul. Menegaskan identitas dari siapa kita dilahirkan dan di mana kita dibesarkan. Makanan dan jajanan bukan hanya soal aroma dan rasa. Bukan pula sekadar label harga.
Ia menumbuhkan pertanyaan siapa yang membelikan kita makanan sewaktu kecil? Ia membangkitkan pertanyaan besar, kepada siapa syukur ini disampaikan. Sejatinya, aneka makanan membawa pesan tentang asal-usul kita sebagai manusia. Kehadiran kita di dunia karena ada-Nya Sang Pencipta.
Saat lebaran, bolehlah kita menebak-nebak misteri isi di dalam kaleng Khong Guan. Apakah biskuit atau rengginang. Sepanjang itu dipenuhi dengan berkah dan kasih sayang. Namun bersyukurah, kebanyakan di antara kita tak perlu menerka asal-usul kita.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini mungkin anda penasaran, apakah Saroo berjumpa dengan kakaknya. Sayang sekali sang kakak justru meninggal beberapa minggu setelah terpisah dengan adiknya. Tertabrak kereta dalam usaha mencari adik kesayangannya.
Semoga Ramadan dan Lebaran ini masih memberikan kesempatan kira untuk berkumpul dengan keluarga. Ya, asal-usul kita.