Dompet Alternatif

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
28 Juli 2023 22:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi dompet Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi dompet Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suatu waktu saya menjemput anak dari tempat les. Biasanya pulang dari sana, ia minta mampir ke swalayan. Belanja sedikit "chiki" atau es krim. Perkiraan saya tak meleset. Nah, di depan kasir dengan percaya diri saya ambil lima puluh ribu dari peci Soekarno di kepala saya. Dia memang kirim chat, minta jemput sesaat saya baru selesai salat. Kuselipkan uang untuk berjaga-jaga saja.
ADVERTISEMENT
Sembari tertawa ngakak, dia bilang, "Ayah malu-maluin aja". Ternyata itu adalah adegan yang kali pertama disaksikannya.
Sepulangnya saya tak tahan untuk berkisah. Zaman angkatan generasi X masih anak-anak, tiap kali diberi uang uang koin atau receh, mereka membawanya dengan mengikatnya di kaos atau kemeja. Diikat dengan karet gelang. Praktis dan tak gampang hilang.
Foto : Makhsun Bustomi
Alasanya, anak-anak yang hidup di era 80-an itu seringkali cuma pakai kaos oblong. Bercelana tanpa saku atau kolor. Dan yang penting, aktivitas anak zaman itu lebih banyak fisik. Berlarian, main layang-layang, bersepeda, main petak umpat, blusukan ke kebun dan sawah, atau main bola. Sekalipun ada saku tetapi lebih rawan jatuh.
Bagi kaum bapak-bapak juga tak asing menyimpan uang kertas di peci. Jadi tak ada kalimat "itu dompet apa peci, kok nggak ada isi". Dahulu sebaliknya, peci itu ada isinya. Peci adalah tempat ajaib menyimpan uang. Menjadi dompet alternatif.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi ibu-ibu lebih atraktif lagi. Ketika di angkutan, tak jarang terlihat emak-emak membayar ongkos dengan merogoh uang di balik kutang atau bra. Dan sama sekali bukan dianggap melintasi batas kesopanan. Jadi kutang betul-betul multifungsi.

Tidak Relate

Menyimpan ala tempo doele itu sudah masuk kotak. Sama sekali tak relate dengan generasi milenial. Apalagi generasi Z seperti anak saya. Kini bahkan buku tabungan sudah ketinggalan kereta zaman. Lebih relevan jika kita punya kartu ATM, dompet digital atau mungkin bit coin.
Menyimpan uang manusia zaman kini lebih mudah dan praktis. Banyak alternatif untuk membuatnya aman sekaligus gampang diaksesnya.
Yang tidak aman, adalah keinginan kita untuk menggunakannya hampir tak terbatas. Bahkan konon makin banyak uang disimpan makin cemas. Makin menumpuk, makin takut berkurang. Dan bila yang didapat dari hasil kejahatan, maka dipinjamlah nama pembantu, kakak adik, orang tua, bahkan mertua untuk menitipkan uangnya.
ADVERTISEMENT
Oh ya, berapa uang di dompetmu? Di tabunganmu? Bersyukurlah bila merasa baik-baik saja. Sebab banyak orang diam-diam tak bisa sembunyi dari kecemasan. Sulit rasanya bergembira pada hari ini. Susah rasanya tertawa dan bebas dari cemas.
Inilah kenapa ini dituliskan. Tulisan ini adalah demi menitip kenangan. Saat bahagia seperti bocah-bocah jadul yang mengikat uang koin di kaosnya. Dan bermain berlarian seperti tanpa beban.
Untuk bahagia seperti mereka, kira-kira berapa kita harus menabung uang? Berapa harus bayar dan apa saja yang harus dibelanjakan? Barangkali kalian juga sedang bingung memilih mana alternatif yang dipilih. Yuk, kita tanya pada tumpukan uang bergambar Soekarno yang bergoyang.
Sepertinya, kebahagiaan dan uang itu relate ya?
ADVERTISEMENT