Avatar dan Tukang Service Payung

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
14 Maret 2024 22:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di luar sedang turun hujan. Kami bertiga berada di rumah, menonton Avatar: The Last Airbender. Film yang tayang di Netflix itu dipilih oleh puteri kami satu-satunya. Saya bukan tipe manusia yang gampang khusyuk menikmati film. Terutama serial yang ber-seaason-season dan berepisode-episode. Apalagi itu bukan tayangan pilihan sendiri.
Namun dalam sebuah adegan, terlontar sebuah kalimat dari Aang sang Avatar yang merekat dalam memori. Begini katanya, "Kalau mau menyelamatkan dunia, maka bantulah orang satu demi satu." Ia punya misi besar untuk menyelamatkan dunia. Tetapi kadang bagi pandangan Katara dan Sokka, serta menurut saya pula, ia suka merepotkan diri dengan kewajiban-kewajiban mikro yang membahayakan dirinya. Kenapa tak langsung to the point melawan Negara Api saja?
ADVERTISEMENT
Mendengar kalimat si Avatar, tanda panah di jidat kepala plontosnya seakan mengarahkan ingatan saya pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Ya, ada seorang tua lewat di depan rumah. Sambil ngonthel sepeda butut, ia teriak "servis payung, servis, payung, service payung".
Saat itu saya sedang mengeluarkan motor dari teras. Beberapa jam sebelumnya istri saya pamit pergi untuk menjenguk ibunya, ia bilang bahwa persediaan beras habis. Saya harus ke minimarket terdekat untuk membeli beras kemasan lima kilogram.
Sempat timbul rasa iba. Terbersit niat menunda agenda saya sejenak untuk menyetop tukang service payung itu. Seingat saya, ada payung rusak di rumah. Tapi niat itu teranulir. Soal payung, saya tak butuh-butuh amat. Lagi pula masih ada beberapa payung yang masih tersedia .
ADVERTISEMENT
Di tengah musim hujan menawarkan jasa reparasi payung adalah peluang. Tentu, tidak bisa kita bilang itu pekerjaan menjanjikan. Jelas, Pak Tua itu bukan generasi yang melek apa itu artificial intellegent. Namun setidaknya Pak Tua itu tentu punya keterampilan yang bisa ditawarkan. Rasanya sudah langka menyaksikan orang menajajakan jasa itu dengan sepeda. Bahkan pernah saya jumpai di desa ngarit untuk pakan ternak saja memakai NMax.
Siklus
Pikiran saya memang sangat mudah teralihkan. Seperti jari di atas keyboard, gampang meloncat sana-sini. Suka bingung dan terombang-ambing. Melihat nenek-nenek penjual jajan pasar menunggu pembeli. Menonton ibu-ibu keliling jualan susu ferementasi. Hati ini lekas terenyuh, melihat seorang yang puluhan tahun jualan barang yang sama. Laku tak laku seakan itulah jalan ninjanya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi pikiran saya mudah teralihkan. Mudah tersentuh, mudah pula berpindah. Hidup punya jalan masing-masing bukan? Bukankah faktanya hidup memang untuk bersaing. Mirip keruwetan lalu lintas akibat jalan ditutup portal karena kereta api yang lewat. Puluhan motor dan mobil berhadapan arah. Begitu kuda besi melesat dan portal bergerak ke atas, dengan tergesa-gesa mereka bersaing mencari jalurnya sendiri dan kerumunan terurai. Bagi manusia-manusia yang tinggal di negera maju dan tertib, sudah pasti takjub. Tapi bagi kita di Indonesia, peristiwa macam itu lumrah terjadi di semua kota di mana jalur kereta melintas. Sesuatu peristiwa yang seakan menjadi siklus saja.
Soal siklus, hujan yang turun menerbangkan ingatan saya gambar siklus hujan. Konten pelajaran IPA tatkala berseragam merah putih dahulu. Air menguap, menjadi awan, dan kemudian mencair menjadi titik-titik hujan. Turun dan mengalir ke lautan. Selanjutnnya berputar terus serupa lingkaran.
ADVERTISEMENT
Selepas tukang servis payung itu pergi. Timbul pertanyaan, apa yang ia lakukan ketika tidak musim hujan. Apakah ia lalu memutuskan jualan es teh jumbo di hari-hari dengan cuaca yang terik?
Apakah hari saat ia keliling dan lewat depan saya, ada seorang yang memanggilnya dan kemudian ia mendapatkan sedikit uang. Tentu saja seseorang itu tak harus terlebih dahulu mendengar nasihat Sang Avatar tadi. Bayangkan apalakah pada hari itu setiap orang yang ia lewati bersikap seperti saya?
Di luar masih hujan. Nonton Avatar bersama anak membuat saya jadi teringat Ayah. Waktu itu hujan lebat, saya ditugasi ibu untuk mengantarkan payung untuk ayah yang sedang mengisi pengajian di masjid. Agar ia tidak basah saatnya pulang nanti. Sebuah tugas yang biasa-biasa saja. Namun, menjadi istimewa karena tidak banyak yang saya lakukan untuk seorang ayah. Bisa jadi itu satu-satunya. Sebab ia akhirnya meninggal bahkan sebelum saya tamat Sekolah Dasar.
ADVERTISEMENT
Saya jadi membayangkan ayah dari siapakah tukang service payung itu? Berapakah anak-anaknya. Apakah mereka cukup makan hari itu? Satu orang pengguna jasanya mungkin setidaknya dapat menyediakan satu porsi makan untuk keluarganya hari itu.
Avatar bilang bahwa kalau mau menyelamatkan dunia, bantulah satu orang terlebih dahulu. Tetapi jangankan menyelamatkan dunia, kesempatan untuk membantu satu porsi makan untuk sehari saja sudah saya dilewatkan. Ini bukan sekadar seorang tukang service payung, melainkan terlalu banyak saya melewati satu demi satu orang yang mungkin mestinya dapat dibantu.
Hari-hari berikutnya saya menunggu Pak Tua itu. Sudah disiapkan sebuah payung dengan jari-jari rangka yang patah. Berjaga sewaktu-waktu dia keliling di perumahan tempat tinggal saya. Sampai sekarang ia tak pernah tampak lewat lagi. Mungkin saja lewat. Ketika saya mabuk oleh tumpukan berkas kerja. Mungkin ia teriak-teriak melalui jalan depan rumah. Sementara saya sibuk menimbang-nimbang barang belanjaan di marketplace favorit saya.
ADVERTISEMENT
Mungkin jalan yang ia lewati sekadar acak. Bukan siklus yang akan berulang. Saya hanya mohon ampun. Semoga si tukang payung, tidak sedang limbung karena sembako yang melambung.
Semoga dia beruntung. Tidak sering mendapati manusia yang berpikir meloncat-loncat. Memikirkan banyak hal seakan telah memikirkan planet tua ini. Seakan tengah merencanakan menyelamatkan dunia. Padahal Pak Tua tukang service payung itu adalah bagian dari milyaran manusia.
Hujan beberapa hari ini masih saya lewati dengan mengikuti Avatar: The Last Airbender bersama puteri saya. Saya ingat almarhum ayah saya. Saya ingat ibu saya.
Payung rusak itu masih ada di tempatnya. Jelas bukan payung itu yang butuh direparasi. Melainkan mental dalam diri ini yang membutuhkan perbaikan. Semoga Ramadan ini mengobati saya.
ADVERTISEMENT