Kesatria Penolong, COVID-19, dan Budaya Jawa

M Lukman Leksono
Dosen bahasa Indonesia di Institut Teknologi Telkom Purwokerto Penggiat Literasi Digital Banyumas
Konten dari Pengguna
14 September 2021 17:16 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Lukman Leksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesatria Penolong dan Budaya Jawa (Foto:Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kesatria Penolong dan Budaya Jawa (Foto:Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua tahun tanah air kita masih berjuang menghadapi ujian pandemi COVID-19. Beberapa sektor pemerintahan dan perusahaan yang terdampak setahun yang lalu sudah mulai berbenah dan mengembalikan puing-puing asa mereka. Berdiam begitu saja dan mengeluh serta meratapi ujian ini merupakan bukan mental seorang pejuang. Mental rakyat bumi pertiwi sudah teruji kuat dan terbentuk semenjak zaman penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga ujian-ujian dalam bentuk apa pun yang melanda bumi pertiwi seharusnya bisa dilalui dengan sebuah momentum kemenangan. Bumi pertiwi ini adalah tempat singgah para kesatria yang selalu dinaungi para malaikat. Salah satu kesatria ini yaitu dr. Gunawan. Dokter ini bertugas di RSPAD Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sang dokter menjadi viral karena aksi heroiknya menolong sang maestro youtuber Deddy Corbuzier yang melawan badai sitokin karena virus COVID-19 varian delta. Karakter beliau yang ramah dan ringan tangan dalam menolong semua pasien, menjadi perbincangan di media sosial. Bahkan ia terkadang sampai merogoh saku pribadinya untuk menyelamatkan pasien yang kurang mampu dan menjadi tanggung jawabnya. Dari kecil ia dididik ayahnya jika engkau kelak menjadi dokter dan menolong seseorang lakukanlah dengan sepenuh jiwa dan raga, jangan setengah-setengah tidak usah memikirkan pamrih. Inilah menjadi salah satu alasan kuat mengapa ia totalitas dengan sepenuh hati dalam menolong semua pasien.
Dari peristiwa ini, jika kita kaitkan dengan ajaran moral dan budaya rakyat jawa ada di "Serat Kidungan Kawedhar". Dalam serat ini menggambarkan mengenai konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe e dan memayu hayuning bawana. Sikap rame ing gawe berarti bekerja keras untuk diri dan untuk senantiasa berbuat baik terhadap orang lain. Sikap memayu hayuning bawana berarti menjaga keselamatan dunia. Dengan sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, dan memayu hayuning bawana, orang Jawa bisa menjalankan peranannya dalam dunia dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai sumbangan terhadap keselarasan masyarakat dan alam semesta.
ADVERTISEMENT
Sikap-sikap tersebut apabila diterapkan di kehidupan nyata, maka hidup akan selamat. Diperlukannya juga perilaku budi luhur, gotong royong dan sopan santun maka kebahagiaan akan tercapai. Di mana kepentingan bersama lebih di nomorsatukan daripada kepentingan individu. Hal ini akan memupuk rasa persaudaraan, sehingga hubungan manusia akan menjadi tertata dan tidak mengikuti kemauan sendiri. Jadi, marilah kita didik diri kita untuk selalu dan terus berbuat kebaikan agar menular hingga anak cucu.
“Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular”
(M. Lukman Leksono, Dosen IT Telkom Purwokerto)