Belajar dari Amerika Latin: Neoliberalisme Memiskinkan dan Memudarkan Budaya

Luthfi Ridzki Fakhrian
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
22 November 2022 6:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfi Ridzki Fakhrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bendera Pendukung Luiz Inácio Lula da Silva (Lula) dalam Pemilihan Umum di Brasil 2022, Foto: Unsplash
Indonesia tentunya bukanlah Amerika Latin, hal itu benar adanya bahwa Indonesia memang bukan Amerika Latin. Terdapat banyak perbedaan di antara keduanya, baik menyangkut ruang ataupun waktu. Mereka tidaklah sama. Letak geografisnya, corak budaya dan entitasnya, warisan sejarah revolusionernya juga berbeda.
ADVERTISEMENT
Saat ini Amerika Latin sedang dilanda gerakan "Pink Tide" yang sekarang sudah mulai bangkit kembali dan membayangi Amerika Latin dalam beberapa tahun terakhir. Melansir dari Oxford Reference, "Pink Tide" sendiri adalah suatu gelombang gerakan alternatif di mana terjadi suatu tren yang ditandai dengan menguatnya politik kaum progresif kiri di Amerika Latin, sehingga menghasilkan kemenangan gelombang kiri melawan Neoliberalisme lewat pemilu yang demokratis.
Selain itu, Amerika Latin menerapkan Neoliberalisme lebih dulu dibandingkan negeri ini. Sebagai gambaran, tahun 1998 dibawah pimpinan Hugo Chavez, Venezuela sudah berupaya meninggalkan tatanan jahat Neoliberalisme. Sementara di Indonesia, jatuhnya Soeharto pada tahun itu justru menjadi awal bagi radikalisasi sistem pasar. Neoliberalisme justru kian diteguhkan oleh pemerintahan “reformasi” hingga saat ini. Meskipun begitu dalam kadar tertentu Neoliberalisme di Indonesia telah mulai dipaksakan di jaman Orde Baru.
ADVERTISEMENT

Gambaran Universal dalam Kontradiksi Kapitalisme

Mengutip dari Buku Nuroni Soyomukti dalam Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal (2007: 191), bahwa para intelektual post modernisme yang mewakili sesat pandang terhadap arah sejarah akan mengatakan bahwa “sejarah tak terdiri dari satu”, bahwa perubahan yang terjadi di Amerika Latin tidak layak dijadikan contoh karena realitasnya berbeda. Tetapi, ungkapan kaum post modernisme itu menjadi ambigu ketika terdapat fakta objektif bahwa terdapat pola universal dalam kapitalisme.
Neoliberalisme baik di Amerika Latin, Asia, Afrika bahkan negara-negara di mana saja, memiliki keumuman dan kesamaan: memotong subsidi sektor rakyat, memprivatisasi kekayaan alam dan perusahaan negara, memberikan kekuasaan pada para pemilik modal dan menghilangkan peran negara dalam mengatur ekonomi.
Post modernisme yang menentang universalitas dan menolak pandangan teologis— yaitu pandangan bahwa kita tidak boleh mengorganisasikan suatu hal untuk tujuan dan patokan sejarah tertentu (misalnya sosialisme dan komunisme), karena universalitas dan patokan historis tersebut akan mendustai kecenderungan individu dalam memaknai dan menjalani kehidupannya secara bebas (liberal). —jelas menjadikan segala upaya untuk membangun gerakan rakyat seakan-akan menjadi tak berguna. Keberpihakan post modernisme terhadap kapitalisme (neoliberalisme) adalah bahwa keduanya sama-sama mengarahkan pandangan yang sama tentang mengarahkan cara pandangan yang disintegrasi, menentang gerakan dari rakyat yang tertindas.
ADVERTISEMENT
Ideologi Kapitalisme telah memecah belah rakyat karena membagi kelas sosial, selain itu juga melahirkan cara pandang yang timpang, tidak objektif dan tidak komprehensif serta memiliki pandangan bahwa sejarah tidak perlu diatur dan direncanakan. Maka percuma ada tatanan lain yang diidealkan. Tak perlu ada slogan "another world is possible" atau lebih tegas lagi tak perlu ada lagi sosialisme. Dengan demikian, ia juga hendak mengatakan bahwa tak perlu ada gerakan sosial dan memberikan tuduhan tak objektif bahwa gerakan sosialis selalu dijalankan melalui kekerasan.

Memiskinkan secara Ekonomi dan Memundurkan Kebudayaan Rakyat

Neoliberalisme memiskinkan secara ekonomi dan memundurkan kebudayaan rakyat di mana pun mereka berada. Kemiskinan dan kekayaan adalah kategori ekonomis universal, tetapi juga membawa implikasi pada ekspresi budaya. Bahkan hubungan sosial yang saling mendominasi juga membawa dampak dominasi dan ketergantungan budaya. Ketergantungan ekonomi selalu disertai ketergantungan budaya.
ADVERTISEMENT
Memang, industri budaya kapitalis tidak begitu saja bersifat supra struktur, tetapi bersifat konstruktif karena massa di Dunia Pertama dan di Dunia Ketiga tidak begitu saja mengonsumsi budaya secara pasif sebagai korban yang tidak bisa berpikir. Seringkali ada resistansi pada tingkat makna simbolis yang mencegah industri budaya untuk begitu saja berfungsi sebagai sarana hegemoni makna yang represif. Menurut Andrew Ross dalam No Respect: Intellectual and Popular Culture (1989: 129), elite Negara pinggiranlah yang pertama kali mendapatkan akses budaya popular yang terbarat kan, karena terbatasnya akses warga pribumi terhadap media. Padahal, biasanya media mendorong kelompok berpengaruh untuk mengadopsi nilai-nilai konsumsi dari berbagai negara maju.
Elite intelektual dan budayawan di Indonesia tidak memiliki karakter resistansi yang radikal dalam memberi reaksi atas penjajahan budaya dari luar dibandingkan dengan negara Amerika Latin. Penolakan represi budaya pun hanya berkutat pada wacana, tetapi gaya hidupnya juga tidak jauh berbeda dengan elite ekonomi dan politik yang ada. Jika menilai perkembangan sosial yang terjadi, dapat kita nilai di mana posisi para intelektual dan budayawan di negeri ini dan pandangan mereka terhadap suatu isu kebudayaan tertentu, atau isu politik ekonomi tertentu. Kasus Moya Institute dan Rektor UI Ari Kuncoro dalam Seminar daring bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? (2022), justru membela pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) ditahun 2022 ini adalah contoh orientasi dan keberpihakan kaum intelektual kita.
ADVERTISEMENT
Dalam keberpihakan intelektual pada kekuasaan yang membuat rakyat menderita, banyak pihak yang merasa perlu menolak kaum intelektual post modernisme yang mengganti kebenaran objektif dengan kebenaran ala filsafat hermeneutika. Mereka menolak pengekangan negara terhadap kebebasan berargumen dan cara menafsirkannya, menolak pengekangan terhadap kebebasan sipi dan kebebasan individu dalam kebudayaan. Tetapi ketika dihadapkan pada tindakan dan kebijakan pemerintah yang secara ekonomi yang tidak memihak rakyat, mereka justru mendukung, sebuah ironi dan kontradiksi cara berpikir serta berbuat dari kaum intelektual di Indonesia.
Hal inilah yang membuat demokrasi di Indonesia tidak mampu mempercepat kesadaran politik rakyat dalam melawan Neoliberalisme. Hal yang berbeda terjadi di Amerika Latin, yang sepanjang sejarahnya selalu dipenuhi akademisi, aktivis, seniman, dan intelektual progresif yang berwatak kerakyatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kita dapat melihat di negara Brasil terdapat sosok Lula da Silva yang berasal dari gerakan progresif tentang kesadaran akan betapa pentingnya kemandirian rakyat. Seperti dikutip dari pidato Lula da Silva dikota São Paulo setelah kemenangannya dalam pemilu di negara Brasil 2022, Konstitusi mengatur keberadaan kolektif kita, dan tidak seorang pun, sama sekali tidak seorang pun, yang berada di atasnya, tidak seorang pun berhak untuk mengabaikan atau menentangnya. Kami akan memulihkan dialog antara rakyat dan pemerintah di negara ini untuk memerangi kemiskinan.
Dengan kata lain bahwa untuk menghapus kemiskinan, kamu harus memberikan kekuasaan pada rakyat miskin. Kekuasaan di tangan rakyat miskin adalah kesadaran politik yang ditekankan pada kepercayaan diri rakyat bahwa mereka punya kekuatan dan, karenanya mereka tidak boleh bergantung pada seseorang saja. Seperti kata Hugo Chavez bahwa, Kita harus menjunjung tinggi sosialisme sebagai sebuah tesis, sebuah proyek, dan sebuah ujung, tapi merupakan tipe baru sosialisme, yang humanis, yang meletakkan kemanusiaan dan bukan mesin dan negara di atas segalanya.
ADVERTISEMENT