Kini Menunaikan Wakaf Kian Praktis

Lufti Avianto
Life Story Teller // a man behind Books4Care, Auf Projects dan Kinaraya.com
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2019 21:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lufti Avianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berbagi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berbagi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah supermarket megah berisi semua barang kebutuhan pokok berdiri di pusat kota di Turki. Layaknya supermarket yang ada di negeri sendiri, semua barang-barang ditata rapi dan dikelompokkan berdasarkan urutan tertentu.
ADVERTISEMENT
Ada kebutuhan pokok, seperti beras, telur, daging, tepung, minyak goreng, dan lainnya. Ada pula kebutuhan sekunder, seperti pakaian, sepatu dan sandal, kosmetik, hingga peralatan elektronik seperti televisi, komputer jinjing dan lainnya.
“Dan itu semua dibangun dari hasil wakaf tunai untuk pengelolaan sektor produktif,” kata kolega saya, Pak Tomy, 12 tahun silam.
Saya mengingat-ingat cerita kolega saya kala itu. Dan saya dibuat kagum sekaligus iri. Mungkinkah wakaf kita bisa dihimpun dan dikelola secara optimal? Tentu saja!
Keyakinan saya itu dilandasi tiga alasan dan fakta berikut ini. Pertama, Indonesia memiliki potensi wakaf yang teramat besar. Misalnya, 85 persen dari 250 juta penduduk beragama Islam mampu menyisihkan untuk wakaf sebesar Rp 10 ribu per bulan, maka kita akan memiliki dana wakaf sebesar Rp 2 triliun per bulan atau Rp 24 triliun per tahun!
ADVERTISEMENT
Kalau dikelola secara profesional pada sektor strategis dan produktif, maka tentu saja akan banyak persoalan yang bisa diatasi.
Potensi Wakaf di Indonesia (Sumber: Instagram @LiterasiZakatWakaf)
Kedua, dalam riset tentang “Fenomena Praktik Filantropi Masyarakat Muslim dalam Kerangka Keadilan Sosial di Indonesia” pada 2018, Amelia Fauzia dari UIN Syarif Hidayatullah menemukan adanya penguatan filantropi Muslim di Indonesia, dengan beberapa indikator, seperti pertambahan jumlah organisasi baik berbasis masyarakat dan pemerintah, serta jumlah dan nilai sumbangan yang dikeluarkan, baik itu dalam bentuk sedekah, zakat dan wakaf.
Ketiga, menurut laporan Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober 2018, Indonesia merupakan negara paling dewmawan! Skor Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.
ADVERTISEMENT
Data dan fakta di atas telah menunjukkan tren positif dalam dunia kedermawanan Islam, bahwa kita merupakan orang yang dermawan. Kalau untuk mewakafkan sebidang tanah kita belum mampu, maka kita bisa menunaikan wakaf berupa uang tunai, minimal Rp1 juta rupiah saja.
Saat ini, cara yang dapat ditempuh dengan menyetorkan dana wakaf tersebut melalui 12 lembaga keuangan syariah, baik datang langsung maupun melaui transfer bank atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Kemudian jangan lupa untuk mengkonfirmasi pembayaran tersebut dengan datang langsung untuk mengucapkan shighah wakaf dan mendapatkan sertifkat.
Inovasi dan Kreativitas Pembayaran Wakaf Tunai
Namun, di saat dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0 dengan berbagai kecanggihan komputer dan kecerdasan buatan, dibutuhkan ‘sedikit’ inovasi dan kerativitas dalam penggalangan dana wakaf. Saya mengusulkan beberapa cara penghimpunan wakaf di era kini.
ADVERTISEMENT
Apa saja yang bisa dilakukan?
Pertama, crowdfunding. Penggalangan dana secara online di bidang sosial kemanusiaan melalui beberapa situs telah lazim digunakan. Misalnya untuk biaya pengobatan atau pembangunan sekolah yang roboh.
Dengan cara yang sama, lembaga pengelola wakaf bisa menggunakan cara seperti ini, terutama penghimpunan wakaf tanah atau wakaf produkif lainnya di berbagai bidang.
Kedua, meningkatnya penggunaan uang elektronik (e-money). Sekarang, pembayaran moda transportasi bus Transjakarta, MRT dan commuterline sudah menggunakan e-money. Bahkan di banyak ruas jalan tol dan pembayaran di supermarket dan pusat perbelanjaan telah menyediakan fasilitas ini.
Karenanya, sistem penghimpunan wakaf, terutama wakaf tunai, perlu menyesuaikan perkembangan teknologi pembayaran seperti ini yang bersifat mudah, cepat dan praktis. Tinggal tapping atau scan QR code tertentu, kita sudah bisa berwakaf.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penggunaan media sosial. Sebut saja Twitter, Instagram dan Facebook, yang merupakan media sosial terbesar penggunaannya di Indonesia. Survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan ada 171,17 juta jiwa atau 64,8 persen dari total 246,16 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna internet. Dan sebanyak 24,7 persen, menggunakan 3-4 jam untuk mengakses media sosial.
Penggunaan media sosial, selain untuk mengkampanyekan dan mengedukasi tentang wakaf, juga bisa dijadikan sarana penggalangan dan pelaporan wakaf. Mengingat pengguna media sosial yang besar, peluang ini sedapat mungkin dapat dimanfaatkan.
Transaksi keuangan kian mudah. Wakaf juga! (sumber: nicepik.com)
Keempat, manfaatkan aplikasi dan marketplace. Kini, marketplace ternama seperti Shopee, Tokopedia atau Bukalapak, tak hanya menjual barang semata. Mereka juga menyediakan berbagai jenis jasa, hingga aneka pembayaran. Perubahan jenis layanan juga terlihat pada aplikasi transportasi seperti Gojek dan Grab, yang awalnya menyediakan layanan transportasi ojek motor dan taksi, kini perlahan berinovasi menyediakan berbagai layanan seperti pengantaran makanan, pembelian tiket hiburan, hingga penyediaan donasi dan filantropi.
ADVERTISEMENT
Lembaga pengelolaan wakaf, perlu membidik kerja sama dengan perusahaan startup/marketplace tersebut agar mampu menjangkau masyarakat lebih mudah, cepat dan aman. Sebab, dari data APJII tahun 2018, sebanyak 46 persen dari 171,17 juta pengguna internet, membeli barang secara online. Dari jumlah itu, mayoritas menjawab Shopee (11,2 persen), Bukapalak (8,4 persen), Lazada (6,7 persen), Tokopedia (4,3 persen), dan Traveloka (2,3 persen). Pengguna membeli sandang (14,6 persen), buku (4 persen), aksesoris (3 persen), tas (2,9 persen), dan barang elektronik 3 persen).
Melihat potensi transaksi keuangan dan perbankan yang menuju nontunai (cashless) yang meningkat, serta anjuran pemerintah dalam transaksi nontunai, rasanya lembaga wakaf juga memerlukan terobosan. Tentu saja, hal ini bertujuan agar lembaga wakaf berada sedemikian dekat dengan masyarakat dalam bertransaksi, baik penghimpunan maupun pelaporannya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, di era ini pula, masyarakat kerap menuntut transparansi dan akuntabilitas dari penghimpunan dan pengelolaan wakaf. Karena itu pula, berbagai aplikasi dan platform tadi, seyogyanya tidak hanya digunakan sebagai metode penghimpunan wakaf yang praktis, melainkan juga distribusi pelaporan yang cepat, transparan dan akuntabel.
Bukankah kita menginginkan pahala yang mengalir, meski kita telah tiada sebagaimana hadits berikut?
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (macam), yaitu: Sedekah jariah (yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
Dan wakaf adalah salah satu sedekah jariah itu.
Sumber Referensi:
ADVERTISEMENT
• Amelia Fauzia, dkk, Fenomena Praktik Filantropi Masyarakat Muslim dalam Kerangka Keadilan Sosial di Indonesia, Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah. 2018.
• Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, A Global View of Giving Trends. 2018. Diakses 13 Oktober 2018. https://www.cafonline.org/docs/default-source/about-us-publications/caf_wgi2018_report_webnopw_2379a_261018.pdf
• Situs Bimas Islam, Kementerian Agama. Diakses 13 Oktober 2019. https://bimasislam.kemenag.go.id/infografis/layananwakaf/tata-cara-wakaf-uang
• Instagram @literasizakatwakaf. Diakses 13 Oktober 2019.