Orang Cacat Menyingkirlah

Liza L Arifin
Studied Fine arts at The Sir john Cass faculty of arts, architecture and design (London Guildhall University) 2001
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2018 10:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Liza L Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Difabel (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Difabel (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sepertinya menjadi orang cacat fisik atau berkebutuhan khusus di negeri ini adalah akhir dari kehidupan sosial anda. Suprastruktur (cara berfikir) dan infrastruktur (turunan dari cara berpikir dalam bentuk fasilitas dan fisik) di negeri ini sama sekali tak bersahabat untuk orang cacat.
ADVERTISEMENT
Saya berbicara dari sudut pandang orang yang sebelumnya sehat dan kemudian belakangan menjadi orang yang terpaksa menggunakan alat pembantu mobilitas kursi roda.
Menggunakan transportasi umum jelas tidak mungkin. Kalaupun ada tanda fasilitas untuk kaum cacat fisik sepertinya hanya basa-basi. Sekadar memenuhi persyaratan (seolah-olah) ‘’disabled friendly’’. Masih ditambah dengan pengguna transportasi umum yang sehat yang (konon) sering mengabaikan sama sekali fasilitas ini dan menggunakan untuk diri mereka tanpa merasa bersalah.
Memilik mobil sendiri jelas sangat membantu dan dalam beberapa hal satu-satunya cara. Tetapi menegosiasi tempat parkir adalah persoalan tersendiri. Tidak pernah mudah. Seringkali kemudian menyerah untuk tidak jadi saja.
Mau ke tempat wisata? Sami mawon. Fasilitas untuk orang cacat nyaris nihil.
ADVERTISEMENT
Atau cobalah pergi ke mall. Beberapa —tak banyak— sudah mulai memikirkan dan menyediakan fasilitas untuk memudahkan pengunjung yang memerlukan kebutuhan khusus. Tetapi anda kemudian berhadapan dengan mayoritas pengunjung mall yang seperti tak mengerti mengapa fasilitas itu tersedia.
Contoh sederhana: penggunaan lift. Saya sering heran dengan berjibunnya orang yang sempurna fisiknya antre menggunakan lift padahal ada sekian fasilitas lain yang bisa mereka gunakan. Ada tangga berjalan (escalator) ataupun tangga statis tentunya.
Bukan sekadar mereka menggunakan lift, tapi lebih parah adalah mereka berebut dengan saya, mereka yang bernasib cacat seperti saya, ataupun ibu hamil. Bahkan sering mereka tega untuk tiba-tiba menyerobot antrean karena mungkin menganggap kami lamban.
Sialnya suami saya —yang mendorong kursi roda— orangnya tidak kompetitif. Ia enggan untuk menjadi agresif dan saling desak. Ia selalu berprasangka semua orang itu beradab dan pasti akan menimbang dengan penuh rasa kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang bertindak tidak semestinya, ia hanya menunjukkan wajah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi dan paling pol menggelengkan kepala. Tentu saja itu tak ada gunanya, kami tetap saja tersingkirkan.
‘’Dulu ketika sehat, nggak pernah aku seperti itu. Ada sopan santun dan empati yang aku pegang. Bahkan tak pernah menggunakan lift kalau ada fasilitas lain karena yakin ada orang lain yang lebih membutuhkan,’’ kataku.
‘’Sudahlah. Itu yang membedakan manusia beradab dan tidak. Banyak juga kok yang baik, sopan, dan punya empati. Kita tunggu lift berikutnya,’’ jawaban suami yang selalu sama dan selalu membuat saya jengkel.