Cinta adalah Hasil Investasi

Lex dePraxis
Love & Relationship Coach, Founder of KelasCinta.com - Check out HIGHLIGHTs in my IG instagram.com/lexdepraxis for more lessons! Follow also kumparan.com/kelascinta And get more lessons @ shor.by/lexdepraxis
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2019 14:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lex dePraxis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cinta adalah Hasil Investasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Aku sudah melakukan segalanya buat pasangan. Sejak awal aku tipe orang yang enggak pelit, perhitungan, selalu lakuin apa saja agar dia bahagia; apalagi kita memang serius target nikah tahun depan. Selama ini hubungan kita baik, tidak ada konflik, tau-tau dia bilang perasaannya makin lama makin hilang dan datar. Aku bilang aku mau berubah dan perbaikan, tapi dia bilang tidak cinta lagi, maunya pisah dan berteman saja. Aku sudah kasih semua cintaku padanya, kok dia bisa-bisanya ngaku tidak cinta?”
ADVERTISEMENT
Itu pertanyaan teman saya, sebut saja namanya Angela.
Bagaimana respons anda bila seorang sahabat berkeluh kesah menceritakan hal itu? Selain berempati dan memberi dukungan emosional, penjelasan apa yang akan anda beri untuk mengurai kebingungan Angela?
Kemungkinan besar anda akan menggunakan salah satu (atau kombinasi) dari tiga perspektif berikut:
ADVERTISEMENT
Masih ada banyak varian penjelasan bijak lainnya. Saya hanya menulis tiga jawaban terpopuler dari audiens setiap kali saya buka contoh kasus itu dalam seminar dan gathering Kelas Cinta. Saya akui, ketiganya mengandung kebenaran yang menyejukkan hati, dan berpotensi menyelesaikan kemelut hubungan tersebut.
Namun, saya harus akui mereka juga berpotensi memperparah keadaan: pasangannya bisa semakin tidak kehilangan perasaan cinta, dan keukeuh teryakinkan untuk menyudahi hubungan. Berdasarkan pengalaman saya, justru konklusi kelam itulah yang lebih sering terjadi dibanding hubungan jadi membaik.
Ketika hubungan sedang bermasalah, semakin Anda berusaha memperbaiki diri dan menyenangkan hati pasangan, biasanya semakin dia jadi terasa berjarak dan dingin. Semakin Anda banting tulang mengubah diri demi mengikuti semua keinginannya, semakin dia terlihat kehilangan minat pada Anda ataupun hubungan itu. Semakin Anda gigih memberikan segalanya, semakin dia terlihat terganggu, terbebani, dan tidak segan-segan mengaku tidak cinta lagi.
ADVERTISEMENT
Anda Pernah Berada dalam Keadaan Demikian?
Saya yakin pasti pernah, mungkin malah terjadi beberapa kali. Saya pun pernah. Berkali-kali. Tidak terhitung jumlahnya. Setiap kali berada dalam keadaan demikian, kita berpikir kegigihan dan pengorbanan kita akan membuat orang jadi mau mencintai kita.
Walau kemudian terbukti salah, kita tetap tidak mau melepas pemikiran tersebut. Tidak heran demikian, karena umumnya kita terdidik (baca: tercuci otak) untuk meyakini bahwa kita akan dicintai bila kita mencintai terlebih dahulu. Seseorang akan membalas cinta apabila kita tulus serta rajin 'menyirami' dia dengan berbagai ekspresi cinta.
Berilah, maka kita akan diberi. Cintailah, maka kita akan dicintai.
ADVERTISEMENT
Demikian adage yang kita telan mentah-mentah sejak kecil, radikal percayai, dan terus propagandakan di sepanjang usia dewasa. Saya juga percaya demikian, dan kebingungan ketika realitanya tidak berjalan persis yang diklaim oleh keyakinan tersebut.
Sampai suatu ketika di tahun 2006, saya menemukan sebuah angle baru. Semakin seseorang bekerja keras mengekspresikan perasaannya, semakin perasaan itu menguat dan cinta tumbuh. Itu memang sesuai dengan prinsipnya, tapi pada saat yang sama juga keliru: cintanya tidak tumbuh di hati orang lain, tapi tumbuh di hati sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketika anda seorang yang bekerja merawat hubungan, perasaan anda bertumbuh. Ketika anda mempedulikan dia, perasaan anda bertumbuh. Ketika anda memperbaiki kesalahan, perasaan anda bertumbuh. Ketika anda mengorbankan kepentingan diri demi kesenangan dia, perasaan anda bertumbuh.
Apakah perasaan pasangan bertumbuh? Apakah dia merasa cinta?
Mungkin saja, tapi jika anda sudah terlanjur mengerjakan segala sesuatu sehingga dia bisa santai diam saja tak perlu melakukan apa-apa lagi, perasaannya tidak akan bertumbuh banyak. Cintanya tetap begitu-begitu saja, kerdil, malah biasanya makin lama makin mengecil.
Masuk akal kan?
Itu adalah salah satu terobosan orisinal yang menjadi warna dan ciri khas (revolusi) Kelas Cinta¹. Saat itu, saya merasa sakit seperti tertampar sekaligus berdebar-debar karena tercerahkan, persis yang anda alami sekarang saat membaca paragraf di atas.
ADVERTISEMENT

Sebuah Perspektif Baru Tentang Cinta

Untuk lebih memahami ini dalam relasi cinta dan rumah tangga, mari kita menelusuri perjalanan dari masa-masa awalnya.
Saat tertarik pada seseorang, kita otomatis tergerak melakukan sejumlah upaya pendekatan. Kita memberanikan diri untuk mengajak ngobrol, makan bareng, jalan-jalan, dan berbagai kegiatan berdua lainnya. Bila sedang tidak bersamanya, kita pun banyak memikirkan (dan membicarakan tentang) dia.
Tanpa sadar, kita jadi 'agresif' mencari sebanyak mungkin informasi tentang preferensi serta latar belakang dia agar bisa dekat dan mendapatkan hatinya. Apalagi jika kita melakukan PDKT serial.
Awalnya kita cuma tertarik padanya. Tidak ada cinta pada jatuh cinta, itu hanya kejadian yang melibatkan unsur-unsur penasaran dan gairah. Perasaan lainnya baru perlahan membesar bertumbuh jadi nyaman, kasmaran, cinta, sayang, dan sebagainya seiring dengan upaya-upaya yang kita lakukan untuk mendekati dan mengetuk hatinya.
ADVERTISEMENT
Sebelum lanjut, saya ingin anda menonton cuplikan video Youtube Kelas Cinta yang terkait pertumbuhan perasaan pada masa PDKT:
Masuk akal? 😊
Oke, mari fast forward ke masa menjalin hubungan. Umumnya kita terus mengeluarkan lebih banyak sumber daya untuk pasangan. Sumber daya yang saya maksud adalah waktu, tenaga, uang, apa pun yang kita miliki.
Istilahnya, kita menyetorkan hal-hal yang berharga dalam diri kita kepadanya. Semakin konsisten kita melakukan hal tersebut, semakin besar pula perasaan kita padanya.
Semakin kita banyak berusaha, semakin terasa menggebu-gebu perasaan kita. Kita merasa baper alias terbawa perasaan². Kita merasa sangat, sangat menyukainya. Bahkan kadang sampai merasa cinta dan teryakinkan dialah belahan jiwa yang dicari-cari selama ini.
ADVERTISEMENT
Kita (berangsur-angsur) merasa (makin) cinta pada seseorang karena (alam bawah sadar kita) menyadari dia kini memiliki berbagai sumber daya kita. Dia jadi terasa sangat berharga karena dia memang 'menyimpan' segudang keberhargaan diri kita.
Seiring perjalanan, apa pun yang kita miliki berangsur tertanam di dalamnya, makanya kita otomatis berusaha keras mempertahankannya. Itu sebabnya semakin lama usia hubungan, semakin banyak investasi yang ditanam, semakin kuat dan stabil ikatannya.³
Jika digambarkan ala-ala matematika, mungkin seperti inilah perumusan kadar cinta⁴:
CINTA = JATUH CINTA + USAHA 1 + USAHA 2 + USAHA 3 + USAHA 4 + dan seterusnya
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya saat pertama kali terpikir perspektif di atas, saya menyebutnya Law of Compounding Actions (LoCA), alias Hukum Aksi Yang Bertumpuk. Intensitas perasaan cinta seseorang berbanding lurus dengan frekuensi tindakan yang dia berikan. Semakin banyak dia melakukan tindakan kepada target afeksi, semakin bertumpuk efek perasaan yang tumbuh di dalam dirinya.
Hukum tersebut sangat menjelaskan kenapa kita bisa tergila-gila mencintai seseorang semasa PDKT walau orang itu belum membalas cinta kita. Boro-boro membalas perasaan, orang itu bahkan belum tahu kita hidup di dunia ini saja (alias kita adalah secret admirer-nya), tapi kita sudah sangat terbakar oleh cinta di dalam hati sendiri.
Berdasarkan LoCA itu, saya menganalisa kasus-kasus pacaran dan rumah tangga, menilik pengalaman pribadi dan mewawancarai banyak orang yang mengaku perasaan cintanya pudar. Saya juga bertemu orang-orang yang pernah berselingkuh dan menginvestigasi bagaimana kisah cinta terlarang itu akhirnya berbunga.
ADVERTISEMENT
Semua pengamatan informal itu ternyata mengkonfirmasi: orang-orang yang cintanya pudar itu mengaku perlahan mengurangi tindakan menyenangkan pada pasangan, dan tanpa sadar memindahkannya pada orang lain (sehingga terjadi selingkuh).
Walau istilah LoCA itu unik, keren, dan terkesan intriguing, saya akui itu tidak mudah dimengerti. Itu sebabnya perlahan saya menggantinya jadi kata yang lebih sederhana: cinta adalah hasil investasi sumber daya, atau disingkat cinta adalah investasi. Sekali mendengar saja, orang bisa langsung mengira-ngira maksudnya, apalagi setelah dijelaskan seperti di atas.
ADVERTISEMENT
Prinsip cinta adalah investasi tersebut bisa menjelaskan proses timbulnya cinta dari yang awalnya hanya kenyamanan dalam pertemanan. Prinsip itu bisa menjelaskan proses hilangnya cinta dan hancurnya hubungan setelah pacaran dan berumah tangga.
Prinsip tersebut juga bisa sangat menjelaskan kenapa seseorang bertahan dalam abusive/toxic relationship: umumnya pihak yang abusive sudah sekian lama berkurang (atau berhenti) menumpuk kebaikan dalam hubungan, sehingga pihak korbanlah yang harus sendirian bekerja 2-3 kali lipat lebih banyak demi merawat hubungan.
Walau pihak korban sadar pasangannya tidak mencintai seperti dulu, dia merasa semakin terikat mencintai hidup dan mati pada pasangannya yang kerap menyakiti itu.
“Ya mungkin inilah artinya cinta sejati,” ucap lirih seorang teman yang sejak menikah satu setengah tahun lalu sudah diselingkuhi empat kali oleh suaminya. “Aku tahu dia sebenarnya bukan orang yang jahat, makanya perasaan cintaku tidak pernah berubah. Justru inilah bukti cinta sejati, semakin lama semakin kuat.”
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang terjerat dalam toxic relationship seringkali menilai ketidakberdayaannya itu sebagai bukti cinta (atau bahkan jodoh) sejati. Anda yang sudah mengerti perspektif baru ini tahu bahwa sebenarnya tidak demikian.

Berbagai Studi yang Mendukung

Ini adalah bagian yang membosankan, jadi jika anda bukan geek atau nerd, silakan langsung lompat ke bagian berikutnya.
Dalam kajian ilmu komunikasi dan psikologi sosial⁵, saya menemukan ide yang sejalan dengan prinsip Cinta adalah Investasi dalam Affection Exchange Theory. Seseorang yang proaktif (alias tanda diminta) memberi perhatian dan kepedulian akan merasa bahagia atau positif⁶, dan juga merasa lebih lengket alias berkomitmen pada objek yang menerimanya⁷.
Seseorang yang telah memberi akan jadi lebih terdorong “... to commit to an endeavor after a prior investment of time, money, or effort." ⁸ Bila diterjemahkan secara bebas, kita jadi lebih berkomitmen pada sesuatu karena kita sudah merawatnya.
Pada tahun 1998, Rusbult mengembangkan Investment Model⁹ dalam kajian Social Exchange Theory yang menyatakan investasi intrinsik (berupa waktu, uang, atau tenaga) dianggap sebagai sunk cost.
ADVERTISEMENT
Setelah berbagai sumber daya itu ditanamkan pada seseorang atau sebuah hubungan, maka mereka tidak dapat ditarik lagi.
Pemodelan efek investasi ini berlaku dalam banyak aspek, seperti komitmen dalam hal noninterpersonal (seperti hobi, keterlibatan acara, pandangan politik) dan komitmen dalam hubungan interpersonal (seperti persahabatan, rumah tangga, hubungan yang abusive, dan sebagainya).
ADVERTISEMENT
Berhubung manusia memiliki sistem kesadaran yang sangat kompleks, tentu bukan investasi diri saja yang mempengaruhi kadar cinta (atau attachment alias kelekatan) dan komitmen kita pada seseorang. Masih ada dua items lainnya; tingkat kepuasan (dalam hubungan itu) dan kualitas alternatif (yang tersedia di luar hubungan), yang akan saya bahas dalam artikel terpisah.
Selain tiga hal itu, ada berbagai faktor lain seperti proximity, sikap resiprokal, respons positif, keserupaan minat, neurochemisty, dan sebagainya. Seluruh items itu menunjukkan korelasi, bukannya kausalitas. Tapi saya yakin investasi adalah salah satu faktor besar yang sangat menentukan.
Saya bisa mengutip berbagai literatur studi lainnya yang mendukung premis cinta adalah investasi ini, tapi izinkan saya berhenti membahas teori-teori tersebut, karena walau bagi saya mengagumkan, kemungkinan besar bagi anda terasa membosankan. 😄
ADVERTISEMENT

Di Mana Hartamu Berada, Di Situ Hatimu Berada

Oke, lupakan eksplorasi konseptual cinta di dunia akademis, mari kita kembali lagi hubungan cinta di dunia nyata.
Anda kini paham bagaimana kita semakin (terikat) cinta pada pasangan setelah kita memberi perhatian, memprioritaskan, menepati janji, mempedulikan, menolong, menuruti tanggung jawab, melakukan pengorbanan, dan seterusnya untuknya.
Semakin konsisten memberi hal-hal tersebut, semakin kita merasa melekat (baca: cinta) pada dia.
Dengan menyalurkan sumber daya hidup kita pada obyek afeksi, semakin bertambahlah nilai obyek tersebut di mata kita. Alhasil, (hati) kita merasa terikat mementingkannya, termasuk ingin terus merawatnya agar tidak rusak atau hilang dan rugi kehilangan.
Itu sebabnya, ada banyak sekali wanita bertahan dengan pasangan/hubungan yang abusive¹¹. Jika ditanya, mereka mengaku merasa cinta setengah mati. Alasan sebenarnya adalah karena mereka sudah menyumbangkan begitu banyak resources pada pasangannya itu, sehingga nilainya tinggi sekali.
ADVERTISEMENT
Mereka sebegitu mengagungkan pasangannya, dan merasa dirinya sendiri sudah kehabisan nilai dan tidak punya apa-apa lagi karena semuanya sudah di 'tangan' pasangannya itu. Mereka sadar tidak bahagia, tidak puas, banyak kecewa dan sakit jiwa juga tubuh sana-sini. Tapi, mereka entah kenapa tetap merasa cinta, tidak mau lepas dan dipisahkan.
Logis dan masuk akal, bukan?
Sebagai analogi, bayangkan skenario pertama ini: anda berencana menabung selama enam bulan untuk membeli laptop idaman. Setiap bulan anda secara sadar mengurangi pengeluaran, bahkan sampai rela mengurangi makan dan aktivitas bersenang-senang. Sambil menunggu jumlah uangnya cukup, anda habiskan banyak waktu menonton banyak video ulasan di Youtube dan membicarakannya dengan teman-teman yang paham gadgets.
Anda juga tidak pernah alpa melangkah ke dalam toko untuk sejenak memegang perangkat impian jika kebetulan sedang berada di shopping mall. Sepulang dari sana, anda merasa semakin yakin dan sangat tidak sabar untuk memilikinya.
ADVERTISEMENT
Kira-kira bagaimana perasaan anda ketika akhirnya uangnya terkumpul dan anda bisa memboyong pulang laptop yang membuat anda jatuh cinta sejak lama itu? Pasti rasanya puas dan bahagia luar biasa. Anda akan menyayanginya dengan sepenuh hati, bahkan sampai rela mengeluarkan uang lebih banyak demi sejumlah layanan atau aksesoris yang bisa melindunginya.
Semakin anda mengingat perjalanan panjang kemarin dan semakin banyak mengeluarkan uang tambahan, semakin dia terasa berharga spesial, semakin anda melekat dan mencintainya.
Coba bayangkan skenario lain di mana anda memiliki banyak uang dan bisa membeli laptop idaman tanpa susah payah menabung ataupun cicilan. Temukan seberapa berbeda perasaan anda ketika membelinya, dibandingkan harus menabung sekian lama. Bayangkan juga perbedaan rasa cinta anda antar dua skenario itu.
ADVERTISEMENT
Cinta yang kita rasakan pada sebuah seseorang (ataupun laptop dalam analogi di atas) merupakan efek valuasi akibat investasi yang kita timbun padanya.
Memang rasanya aneh jika kita membandingkan cinta pada pasangan dengan cinta pada benda seperti laptop. Tapi cinta itu buta: prinsipnya sama saja terlepas dari obyek afeksinya. Kita akan memiliki penghargaan dan keterikatan yang besar pada obyek yang kita telah banyak usahakan atau investasikan.
Nah, berbekal pengetahuan baru ini, saya ingin anda kembali meneropong kembali kasus Angela di awal tulisan ini. Karena saya hanya memberi sepotong kisah dari satu pihak saja, anda bisa tidak tahu masalah apa saja yang pernah terjadi dalam hubungan mereka. Anda juga tidak tahu apakah pasangan Angela memiliki selingkuhan di luar hubungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tapi ada tiga kalimat dalam kasus itu yang bisa membantu anda mengira-ngira kenapa perasaan pasangannya menurun, sementara sang penanya tetap (atau makin) mencintai:
Anda bisa melihat dengan jelas Angela sudah terbiasa berinvestasi sendirian. Bahkan ketika pasangannya mendadak berkata ingin bubar pun, Angela bukannya marah atau merasa diperlakukan tidak adil, dia malah menawarkan kesediaan untuk memperbaiki diri (alias berinvestasi lagi).
Sepertinya itu sudah jadi pola interaksi yang berakar sangat kuat dalam hubungan mereka. Angela yang merawat segalanya, pasangannya (kemungkinan besar) santai ongkang-ongkang kaki saja, terima beres.
Tidak mengherankan perasaan cinta dan komitmen pasangannya menurun seiring waktu. Tidak mengherankan pasangannya tidak merasa enggan berpisah walau mereka sudah berencana menikah¹².
ADVERTISEMENT
Tidak mengherankan juga Angela tidak bisa marah dengan pernyataan pasangannya itu, justru malah makin berusaha mencintai karena sang pasangan terlihat begitu berharga. Seluruh sumber daya hidup Angela ada pada pasangan dan hubungan itu; wajar saja dia begitu mencintainya (baca: terikat ingin mempertahankannya).
Apakah Angela bisa memperbaiki keadaan bila dia melakukan tiga nasihat populer di atas tadi?
Menurut saya bisa saja, tapi kemungkinannya cukup kecil, karena ketiga nasihat itu mendorong Angela untuk semakin berinvestasi, padahal seharusnya sang pasanganlah yang perlu ‘digiring’ untuk (mengimbangi) investasi.
Sebuah hubungan adalah perjanjian milik bersama. Jika ingin berjalan dengan sehat, maka keduanya harus konsisten bersama-sama menanam sumber daya demi mengusahakannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara Angela menghentikan investasi dan menggiring pasangannya berinvestasi, itu adalah pembahasan untuk lain waktu. Untuk saat ini, saya ajak anda duduk tenang di samping Angela untuk bersama-sama merenungkan prinsip cinta adalah investasi di atas.
Kalau belum begitu paham, baca ulang lagi dari atas dengan perlahan-lahan. Take your time, and let it sink. Memang perlu waktu untuk mencernanya, karena ini adalah prinsip yang kemungkinan besar anda baru pertama kali pelajari karena memang sangat orisinal dari Kelas Cinta.
Jika seluruh penjelasan di atas masih terlalu asing dan keras untuk dikunyah, coba anda telisik bagaimana kebijakan lokal mendukung prinsip tersebut.
Masyarakat Indonesia mengenal kata ‘kasih sayang’ sebagai sinonim cinta. Itu kata yang luar biasa sekali, karena menggambarkan proses linear dalam prinsip cinta adalah investasi: karena kita kasih (sesuatu), makanya kita sayang.
Ajaib, simpel, dan masuk akal, ‘kan?
ADVERTISEMENT
Jika anda mau penjelasan yang terdengar lebih puitis dan filosofis, simak video pendek (dan klik penjelasannya) yang saya temukan beberapa waktu lalu. Saya terkejut sekaligus terpesona, karena pesannya sejalan dengan isi artikel pendek ini.
Untuk semakin memperkaya pemahaman anda, saya berikan tugas kecil: sebelum menutup mata malam nanti, izinkan pikiran anda melayang bebas ke sekian banyak memori di masa lampau.
Biarkan otak anda berkembang menyadari bagaimana prinsip baru ini sangat beralasan dalam berbagai kekeliruan dan kegagalan anda berhubungan, baik semasa PDKT, berpacaran, atau pun berumah tangga.
Keesokan harinya, anda pasti akan terbangun melihat dunia dengan pandangan yang berbeda. Anda seperti Neo yang bisa dengan jelas melihat kode-kode matrix di balik hubungan percintaan orang di sekeliling anda.
ADVERTISEMENT
Relationships will never look the same anymore.
Sekian pelajaran hari ini, sampai jumpa dalam kelas berikutnya.
REFERENSI:
ADVERTISEMENT