Turast dan Titik Temu Dinamika Sosial Pesantren

Ahmad Dahri
Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaa (SKK) Ahmad Syafii Maarif. Saat ini menjadi bagian dari Pengajar dan Peneliti di STIT Ibnu Sina Malang dan Yayasan Wangsa Satria Wijaya Mulya Malang
Konten dari Pengguna
24 Maret 2024 10:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pesantren selalu identik dengan pengajaran kitab-kitab klasik, dalam hal ini dikenal dengan istilah turast (Kitab Kuning). Sebagaimana diketahui, kitab-kitab klasik dikenal dengan sebutan kitab klasik Islam berwarna kuning, lantas bagaimana pesantren dapat mengkaji kitab-kitab tersebut, bahkan mengenal turast sedemikian dalamnya?
ADVERTISEMENT
Jika pada masa-masa awal munculnya lembaga pendidikan pesantren lebih banyak mengajarkan kitab-kitab yang ditulis dan beraliran pemikiran Syafi’i, maka pada milenium ini kitab-kitab yang dipelajari cenderung sangat beragam.
Tujuan pengajaran kitab-kitab Syafi'i pada masa itu adalah untuk mendidik para calon ulama. Sehingga pengertian ulama dalam hal ini ibarat guru pada lembaga formal, namun mempunyai spesialisasi dalam bidang agama dan keberagamaan.
Pesantren pada masa kolonial menyampaikan kajian jihad fi sabilillah, hal ini menjadi sangat wajar karena situasi dan gerakan sosial yang melatarbelakanginya. Maka tidak aneh, jika di masa yang hiruk pikuk dengan berbagai kemajuan teknologi, akses informasi yang sangat mudah, nyatanya di pesantren banyak bermunculan kajian-kajian tentang tasawuf dan Tauhid.
Dengan pemilahan gerakan sosial, kajian pesantren, dan luaran yang akan dilahirkan, pesantren dan kitab-kitab kuning klasiknya sungguh memberikan ruang yang fleksibel terhadap dinamika sosial yang ada.
ADVERTISEMENT
Artinya pesantren berhak mendapatkan munasib fi kullizzaman, sesuai dengan perkembangan sosial dari masa ke masa. Hal ini dapat kita lihat pada kurikulum yang hampir sama antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Kitab-kitab yang diajarkan hampir sama: dimulai dari kitab-kitab yang berkaitan dengan nash, kemudian ushul, kemudian fiqh dan kemudian dikembangkan dengan tasawwuf dan tauhid.
Hal ini dikemukakan oleh Zamakhsyari Dlofier bahwa kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran mengakibatkan adanya homogenitas pandangan dunia, budaya, dan praktik keagamaan di kalangan kyai dan santri di seluruh nusantara. Karena homogenitas ini dibangun pada tingkat tinggi di Makkah dan Madinah. (Zamakhsyari D.2015:88)
Karena pendiriannya yang sudah lama berdiri, pesantren pasti sedikit banyak terkena dampak dari pola kaderisasi atau pergerakan pengajaran kitab-kitab dan ilmu pengetahuan dari Timur Tengah. Perlu kita sepakati bahwa Timur Tengah pernah mengalami masa puncak keemasan dan renaissance yang sangat mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, baik Islam secara nilai maupun dogma.
ADVERTISEMENT
Meskipun turast sebagai teks sudah mati, namun tetap hidup maknanya. Di mana tafsir selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu selalu berfungsi dengan baik dalam penataan mental dan moral para santri. Turast dapat berkembang makna dan penafsirannya, sehingga tidak statis dan konservatif dalam satu pemahaman.
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Homogenitas hanya terdapat pada sistem pengajaran dan jenis buku, sedangkan heterogenitas terdapat pada sudut pandang kontekstualisasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Fazlurrahman bahwa, kondisi tefasir suatu teks dapat berkembang dan berbeda-beda tergantung objek, waktu dan tempat, oleh karena itu teks dalam penafsirannya sangat fleksibel (Fazlurrhman, 1995: 135).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, jika selama ini ada singgungan terhadap pendapat tradisionalisme dan sistem pengajaran pesantren yang statis, maka pandangan tersebut terbantahkan oleh Zamakhsyari, menurut penelitiannya, Pesantren dalam pengajarannya tidak sekedar berbicara tentang wujud (form) dengan melupakan. isi ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab yang diajarkan, namun juga memberikan pandangan pribadi (Interpretasi), baik mengenai isi maupun pola kebahasaan dalam teks tersebut. (Zamakhsyari D.2015: 87-88).
Dengan demikian, kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren pastilah mengalami penafsiran melalui interaksionisme simbolik akibat perkembangan zaman. Karena gerakan sosial selalu berputar seiring dengan perubahan dan kemajuan zaman, serta hal-hal yang menyertainya.[]