Paradoks Kesadaran, Guru, dan Upaya Mengenal Tuhan

Ahmad Dahri
Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaa (SKK) Ahmad Syafii Maarif. Saat ini menjadi bagian dari Pengajar dan Peneliti di STIT Ibnu Sina Malang dan Yayasan Wangsa Satria Wijaya Mulya Malang
Konten dari Pengguna
28 Maret 2024 14:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mengenal Tuhan, Sumber Gambar: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mengenal Tuhan, Sumber Gambar: Pixabay
ADVERTISEMENT
Ada perseteruan mendasar dalam batin saya saat menemui persoalan tentang agama, tentang sumber ajaran menjalani perintah Tuhan dan Nabi Muhammad, terlebih mengenal Tuhan. Seolah sudah tercampur aduk antara personal yang menjalani agama dengan perintah guru untuk menjalani perintah agama. Masalahnya bukan pada ajarannya tetapi pada sikap dan doktrinnya.
ADVERTISEMENT
Semisal, Anda ingin tahu dan mengenal Tuhan, maka harus ada guru yang mengantarkan untuk proses mengenal dan tahu kepada Tuhan. Saya menemui beberapa “guru” dengan persepsi yang macam-macam.
Ada guru yang meminta saya untuk membaca wirid sebanyak-banyaknya, ada juga guru yang memberi masukan kepada saya agar setiap selesai salat maghrib keluar rumah lalu menghadap selatan sambil membaca salah satu surat di dalam Al-Quran. Pada intinya, guru-guru dengan pola dan proses seperti itu erat kaitannya dengan tirakat (berlatih menyadari bahwa diri kit aini hamba).
Namun ada salah satu bahkan salah dua guru yang memberikan arahan untuk mengenal Tuhan melalui kesadaran bahwa tidak aka nada pepohonan kalau tidak ada yang menciptakan. Begitu juga dengan mengenal Tuhan dari keberagaman yang ada di sekitar, bahwa segala gerak-gerik yang kita temui bahkan kita lakukan sendiri kalau bukan dari kehendakNya lantas dari siapa?
ADVERTISEMENT
Kesadaran seperti ini yang justru dibangun dan dibentuk oleh sebagian guru dengan pendekatan filsafat (causa prima), dengan memadukan ilmu pengetahuan. Karena pengalaman spiritual antara yang satu dengan yang lain pasti berbeda. Oleh sebab itu, pola yang dibangun adalah pola ilmu pengetahuan dan kesadaran.
Bukan berarti guru dengan prinsip tirakat (membaca wirid, puasa, istiqamahan, dll.) lebih baik dari guru yang menggunakan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya lebih baik guru yang menggunakan ilmu pengetahuan dari pada yang tirakatan, tidak. Keduanya memiliki karakteristik dan keutamaan masing-masing. Karena keberagaman manusia sebagai kuncinya. Ada yang memiliki kecenderungan terhadap pola tirakat, ada yang lebih mengena dengan ilmu pengetahuan.
Sayangnya, problem yang kerap saya temui lebih mengarah kepada saling membenarkan diri sendiri, tanpa ada saling konfirmasi antara satu dengan yang lain. Bahkan jika sudah mengarah kepada pengultusan, maka anggapan tentang kebenaran hanya terletak pada satu guru saja, sedangkan guru yang lain dianggap salah. Hal ini tentu membingungkan umat, terlebih saya dengan keawaman dan segala kekurangannya.
ADVERTISEMENT
Jika kita kembalikan terhadap pandangan bahwa semua yang menggerakkan adalah Tuhan, maka akan muncul kebijaksanaan dalam menerima perbedaan, bukan memilih dan mempertahankan kebenaran. Karena prinsip kebenaran ada bermacam-macam, ada benar yang memang benar dan kebenaran, ada benar yang untuk sebagian kelompok, dan ada benar yang untuk dirinya sendiri.
Sehingga tidak bisa ketika perlakuannya adalah mengenaralisasi kebenaran diri sendiri untuk sebagian kelompok atau semua, pun sebaliknya. Karena prinsip kebenaran berlaku bagi siapa pun yang mau menyadari kebenaran itu, kemudian melakukannya. Bukan hanya memperdebatkan lalu diam. Dengan kata lain, apakah problem yang saya temui memang menjadi perbedaan sebagai porsi-porsi keguruan? Atau ada kondisi ego masing-masing yang melatar belakangi sehingga perbedaan itu menjadi keharusan.
ADVERTISEMENT
Dari sini, saya berusaha untuk mencari jawaban, agar tidak ada prasangka dan sikap yang dinilai merendahkan salah satu atau – bahkan semua, sehingga muncul kebijkasaan dalam berpikir dan berjalan mengenal Tuhan.