The New Normal is Not Normal

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 12:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dok: Wikimedia Commons.
Sudah beberapa pekan ini kita terus disuguhi dengan istilah new normal atau era normal yang baru. Istilah ini berkaitan dengan gambaran situasi selama dan pasca pandemi Covid-19. Saya sendiri mulai mengenal istilah the new normal melalui tulisan milik Yuval Noah Harari yang berjudul The World After Coronavirus.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa setelah pandemi usai, kehidupan umat manusia akan kembali seperti sedia kala. Sebagian lagi beranggapan pandemi Covid-19 sudah membentuk tatanan peradaban baru dalam keberlangsungan kehidupan manusia.
Di penghujung bulan Ramadhan yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman seputar gambaran bagaimana kira-kira kehidupan umat manusia setelah pandemi selesai. Obrolan kami dimulai ketika ada seorang teman yang mengeluh betapa repotnya harus selalu menggunakan masker ketika bepergian keluar dari rumah.
Judul tulisan ini juga saya dapatkan dari celetukan seorang teman di kesempatan berbeda yang mengutarakan kegundahannya seputar suasana normal baru. “Bang, menurut aku the new normal is not normal.” Begitu katanya.
Meski menunjukkan respons yang berlagak sok cool, saya cukup tertegun mendengar penyataan tersebut. Ia benar, skenario the new normal yang saat ini sedang dipersiapkan bukanlah sebuah kondisi normal seperti yang kita pikirkan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu seberapa lama alam bawah sadar kita akan merasakan era normal yang baru sebagai sebuah kondisi yang sebenarnya tidak normal. Kita akan terbiasa melihat mayoritas orang bepergian dengan menggunakan masker, minimnya interaksi yang melibatkan sentuhan fisik, ketatnya SOP kegiatan yang melibatkan keramaian, hingga berubahnya pola kebiasaan fundamental umat manusia merupakan sekelumit contoh tetek bengek kehidupan yang akan kita hadapi nantinya.
Lalu bagaimana dengan imbauan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa kita harus berdamai dengan virus corona? Meski saya tidak sepenuhnya setuju, namun imbauan tersebut juga tidak sepenuhnya salah.
Kebijakan lockdown, karantina wilayah, penerapan jam malam, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) semuanya bersifat temporer. Kebijakan tersebut hanya berdampak untuk memperlambat laju penyebaran virus dan memberikan kesempatan kepada fasilitas kesehatan untuk sedikit bernafas. Hampir seluruh negara di dunia tidak akan sanggup membatasi ruang gerak rakyatnya dalam jangka waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah masih memiliki beberapa pilihan alternatif seperti contact tracing ketat dan mengoptimalkan tes secara massal, namun hal tersebut tentu tidak akan membuat virus corona musnah sepenuhnya dari muka bumi, apalagi dalam waktu yang relatif singkat. Belum lagi menyangkut permasalahan di mana negara berkembang mengalami kesulitan menerapkan serangkaian kebijakan tersebut.
Oleh sebab itu, selama vaksin dan obat-obatan spesifik untuk penanganan Covid-19 belum ditemukan, umat manusia dituntut untuk mampu beradaptasi dan hidup berdampingan dengan virus corona. Kenyataan pahit ini yang mendorong banyak orang agar secara naluriah lebih bersifat defensif demi keberlangsungan hidupnya. Inilah gambaran fase the new normal yang harus kita hadapi.
Di daerah yang memiliki transmisi lokal virus corona, masyarakat akan menganggap orang yang tidak menggunakan masker ketika bepergian adalah orang yang abai dengan masalah kesehatan dan dapat merugikan orang lain sehingga berpotensi mendapatkan stigma negatif karena dianggap egois.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia yang terkenal gemar berkumpul dan senang berinteraksi secara fisik mau tidak mau harus mengubah kebiasaan tersebut. Kegiatan yang melibatkan keramaian seperti pernikahan, aqiqah, dan upacara adat lainnya tidak akan berlangsung sama seperti sebelum pandemi, setidaknya sampai vaksin Covid-19 ditemukan.
Lain lagi halnya jika kita berbicara tentang proses digitalisasi. Pandemi Covid-19 seolah memaksa sektor-sektor yang dalam situasi normal sulit untuk ditembus oleh pembaharuan teknologi dan digitalisasi, namun di situasi yang tidak normal ini mau tidak mau harus mampu menyesuaikan diri. Mulai dari pertemuan-pertemuan sakral kenegaraan yang tidak lagi diselenggarakan dengan tatap muka secara langsung hingga proses belajar mengajar yang diselenggarakan secara virtual.
Saya juga menilai dengan adanya era normal yang baru akan menjadi fase seleksi alam bagi para penyelenggara negara. Yang dapat mempertahankan kepercayaan rakyatnya adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan situasi sulit dan memiliki metode penanganan krisis yang fleksibel serta mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Para politisi yang ingin dipilih oleh konstituennya juga harus rela meninggalkan jargon-jargon normatif nan populis yang biasanya laris di musim pemilu sebelum pandemi. Di era normal yang baru, mereka harus mampu merumuskan solusi konkrit dan menawarkan kemudahan yang dapat mengakomodir kehidupan masyarakat.
Umat manusia di seluruh penjuru dunia akan digiring menuju gerbang di mana kesadaran kolektif terhadap hadirnya virus mematikan di sekitar kita akan tumbuh. Saya sepakat jika ada yang mengatakan bahwa di era normal yang baru nanti, selama vaksin dan obat-obatan spesifik untuk Covid-19 belum ditemukan, umat manusia akan menjalani kehidupan sebagai seorang sandera. Tidak peduli sebesar apa upaya pemerintah untuk menjaga kita, kita tetap tidak sepenuhnya menjalani kehidupan sebagai manusia merdeka.
ADVERTISEMENT
Yuval Noah Harari kembali mengingatkan kita betapa pentingnya menumbuhkan solidaritas global di masa sulit seperti sekarang. Krisis yang menghantam dunia memang akan selalu berpotensi melahirkan dua hal; tumbuhnya solidaritas global atau meruncingnya konflik universal.
Solidaritas global menumbuhkan harapan bagi umat manusia akan kehidupan yang lebih baik meski dihadapi dengan tatanan dunia yang baru. Sementara konflik universal hanya akan memperkeruh krisis yang saat ini sedang dihadapi, bahkan berpotensi melahirkan krisis-krisis yang baru. Permasalahan global tentu membutuhkan penanganan dengan skala global.
Solidaritas tidak dapat diartikan sebagai kemampuan menjadikan sebuah hastag trending di media sosial. Solidaritas berarti memupuk empati, sehingga kita bisa saling menguatkan dan membahagiakan.
Bisa saja kita menjalani era normal yang baru dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun, atau mungkin selamanya. Sedikit atau banyak pandemi Covid-19 telah mengubah perspektif manusia dalam memandang nilai-nilai kehidupan. Setiap keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan bagaimana kehidupan kita di masa mendatang. “This storm will pass. But the choices we make now could change our lives for years to come.”
ADVERTISEMENT