Masyarakat Kelas Menengah - Si Cerewet yang Diperhitungkan

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
16 April 2024 15:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Film Korea Selatan, Parasite. Foto: Facebook/@CJENMMOVIE
zoom-in-whitePerbesar
Film Korea Selatan, Parasite. Foto: Facebook/@CJENMMOVIE
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggalan dialog sinis tersebut diungkapkan Kim Ki-taek kepada Ki-woo, tokoh pengeluh sekaligus cerewet yang berasal dari keluarga miskin dalam sebuah film berjudul Parasite. Film ini bercerita tentang kontrasnya kesenjangan ekonomi dan sosial di kawasan urban Korea Selatan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, sering kali parade menuju kemajuan tidak dimotori oleh barisan konglomerat melainkan kelompok kelas menengah. Dalam dua dekade terakhir, kelas menengah Indonesia terus mengalami perkembangan signifikan. Jumlah kelas menengah terus bertambah seiring dengan naiknya pendapatan per kapita nasional. Dengan demikian, kehadiran kelompok menengah memberikan warna baru terhadap wajah demografi di tanah air.
Kelas menengah juga telah bertransformasi menjadi salah satu sumber kekuatan politik dan ekonomi baru. Dibekali dengan kekuatan finansial yang cukup dan latar belakang pendidikan di atas rata-rata, membuat kelompok menengah menjadi komunitas yang melek terhadap arah kebijakan dan peka terhadap gejala perubahan sosial di masyarat. Kelompok menengah dikenal cukup kritis, rewel, vokal dan cenderung banyak mengeluh terhadap berbagai ketidaknyamanan yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, kelompok menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak lagi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan hidup di atas garis kemiskinan, tetapi masih rentan terperosok jika sewaktu-waktu terjadi turbulensi yang mengganggu stabilitas ekonomi. Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk ”Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class” yang dirilis pada Januari 2020 menyimpulkan, satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelompok kelas menengah. Bank Dunia juga mengidentifikasi lima kelas masyarakat yang didasari pada perilaku konsumsi yang berbeda di Indonesia. Terdiri dari kelompok miskin, rentan, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik nasional, tahun 1980 kerap ditandai sebagai titik balik permbangunan fondasi perekonomian. Sejak saat itu, negara kita mulai menyongsong paradigma ekonomi baru yang lebih terbuka terhadap pasar global dan melakukan deregulasi di berbagai sektor. Perubahan arah kebijakan ini telah membangun orientasi baru terhadap siklus perekonomian bangsa dan menumbuhkan perilaku konsumerisme akibat pengaruh derasnya arus globalisasi.
ADVERTISEMENT
Transisi perubahan arah kebijakan secara berjenjang telah merangsang tumbuhnya lapangan pekerjaan baru dan menghasilkan perbaikan penghasilan yang berdampak terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat. Fenomena inilah yang menyebabkan jumlah kelompok kelas menengah meningkat hingga sekarang.

Kelas Menengah yang Banyak Menuntut

Merujuk pada teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, kelas menengah memiliki gambaran umum sebagai individu ataupun komunitas yang ingin dihargai. Sehingga kelompok ini kerap kali berkorban agar dapat merasakan bagaimana mencintai dan dicintai, mendapatkan pengakuan, dan mencapai tahap aktualisasi diri. Perilaku inilah yang mendorong kelas menengah menjadi gemar untuk saling terhubung. Biasanya kelas menengah saling terhubung ke dalam komunitas-komunitas kecil berbasis hobi dan berbagai kesamaan lainnya. Di era digital, keterhubungan dapat dijalin melalui media sosial. Kelas menengah kerap menggunakan platform media sosial untuk sekedar bersosialisasi, memperoleh pengakuan, bahkan memperluas pengaruh.
ADVERTISEMENT
Kemampuan mendapatkan akses internet dan informasi secara luas juga membuat kelas menengah dapat mengikuti informasi terkini seputar perkembangan zaman. Bahkan tak jarang mereka juga kerap berpartisipasi pada berbagai isu yang sedang berkembang, baik untuk terlibat langsung maupun hanya sekedar untuk mengisi waktu luang dengan nimbrung di kolom komentar.
Meskipun demikian, kelas menengah cenderung pemilih dalam menyuarakan suatu tuntutan. Mereka bisa saja abai dengan isu anjloknya nilai rupiah terhadap dolar, ataupun tidak peduli jika pemerintah mencabut subsidi BBM. Namun akan menjadi sangat cerewet dalam menuntut ketersediaan gerbong kereta api khusus perempuan, atau konsisten menggaungkan narasi persamaan hak-hak disabilitas di dalam dunia kerja hingga menjadi trending topic pada lini masa media sosial.
ADVERTISEMENT
Hadirnya gerbong kereta api khusus perempuan dan terbukanya peluang bagi kaum disabilitas untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor formal merupakan contoh sederhana bagaimana negara kita sangat membutuhkan gagasan-gagasan yang terkadang kurang populer dari kelas menengah. Tuntutan tersebut tentu tidak bisa kita harapkan hadir dari kelompok masyarakat kelas bawah yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer ataupun dari kelompok atas yang hampir tidak pernah merasakan bagaimana gerahnya desak-desakan di sarana transportasi umum.
Cerewetnya kelas menengah berhasil menyeret perhatian publik kepada kebijakan-kebijakan kecil namun fundamental, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut berubah menjadi diskursus yang bersifat reformis di tengah masyarakat. Letupan perang gagasan kerap terjadi karena kelas menengah cenderung lebih ekspresif dan rapi dalam menyuarakan pendapatnya. Hal ini memberikan dampak positif terhadap kemajuan bangsa karena kehadiran kelas menengah mampu menjadi alternatif checks and balances di tengah gencarnya kompromi kekuatan politik di negara kita.
ADVERTISEMENT
Pengampu kebijakan tidak lagi dibiarkan fokus pada ketersediaan akses semata, namun juga harus diimbangi dengan kehadiran kualitas. Kebijakan seadanya yang bisa saja dulu dianggap sepele, saat ini dengan mudah bisa menjadi isu politis yang dapat memberikan citra negatif terhadap suatu entitas. Semuanya berkat dari kecerewetan kaum menengah.
Dalam sebuah tulisan tentang kelas menengah, Muhammad Chatib Basri ekonom sekaligus eks Menteri Keuangan Republik Indonesia menjuluki kelas menengah sebagai pengeluh profesional (professional complainer). Rasanya sebutan tersebut tidak berlebihan sekaligus dapat dianggap sebagai sebuah pujian – jika tidak ingin dianggap sebagai sebuah ejekan – mengingat betapa besarnya peran kelas menengah dalam memengaruhi arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Banyak pemerintah yang berkuasa di negara maju sangat memerhatikan kepentingan kelas menengah. Tidak jarang yang terlihat seolah standar kebutuhan kelas menengah menjadi panduan umum dalam mengelola suatu negara. Sebagai kelompok mayoritas, sebuah kebijakan akan tampak ideal jika dapat mengakomodir aspirasi kelas menengah. Namun hal tersebut masih jarang ditemui di negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT

Mengantisipiasi The Chilean Paradox

Sudah menjadi hal lumrah jika berbagai kebijakan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) yang dikucurkan oleh pemerintah terfokus pada kelompok masyarakat rentan. Namun di tengah gemuruh tuntutan kelas menengah serta ancaman inflasi dan krisis yang bisa terjadi kapan saja, sudah selayaknya negara juga hadir dalam menjamin taraf hidup kelas menengah.
The Chilean Paradox adalah istilah yang dipopulerkan oleh ekonom Sebastian Edwards yang merujuk pada fenomena krisis politik dan ekonomi di Chile. Di era Presiden Michelle Bachelet, catatan ekonomi Chile terbilang sangat impresif dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Hingga tahun 2017, kemiskinan turun dari 53% menjadi 6%. Selain pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Chile juga merupakan yang terbaik di Amerika Selatan.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata, kemajuan tersebut menyimpan sebuah paradox; Tahun 2019 kerusuhan pecah di Ibu Kota Santiago, merembet ke sebagian besar wilayah negara sehingga berujung pada revolusi. Kelas menengah menjadi dalang dibalik fenomena politik di Chile. Pemerintah Chile berusaha mengatasi kemiskinan dengan berorientasi kepada kelompok rentan, namun mengesampingkan kesejahteraan kelas menengah. Chile maju, namun kemajuannya justru menimbulkan gejolak. Pemerintahan yang sebelumnya dianggap berhasil, pada akhirnya runtuh.
Fenomena ini setidaknya menjadi pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia dan banyak negara berekembang lainnya. Kelas menengah cenderung menghabiskan dana tabungan untuk mengakomodir perilaku konsumerisme tanpa kepastian bagaimana nasib mereka di hari tua kelak.
Jangan sampai pemerintah terjebak pada bubble kesejahteraan semu dengan hanya berfokus kepada upaya mengurangi kelompok rentan dengan menumpuk jumlah kelas menengah tanpa rencana ketahanan finansial yang utuh. Pemerintah harus memerhatikan kelas menengah, sebab mereka sudah dan akan terus cerewet untuk mengawal arah kebijakan otoritas negara demi meningkatkan taraf hidupnya.
ADVERTISEMENT
Selain mengakomodir aspirasi dalam bentuk kebijakan yang berorientasi kepada layanan publik, kesejahteraan dan jaminan kesehatan fiskal juga penting untuk diperhatikan, mengingat sangat banyak kelompok masyarakat kelas menengah yang masih rentan terjerembab ke dalam jurang kemiskinan jika stabilitas ekonomi nasional terganggu.
Seperti sebuah kutipan yang pernah diutarakan oleh George Bernard Shaw dalam karya berjudul Pygmalion, “I have to live for others and not for myself: that's middle-class morality.” Selamat kembali ke meja kerja, kelas menengah!