5 Fakta Sarah Gilbert, Ilmuwan Perempuan Inspiratif Penemu Vaksin AstraZeneca

20 Juli 2021 19:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dame Sarah Catherine Gilbert. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Dame Sarah Catherine Gilbert. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sosok ilmuwan asal Inggris, Dame Sarah Catherine Gilbert, belum lama ini menjadi sorotan di media sosial. Ia menjadi sorotan setelah videonya di turnamen tenis Wimbledon 2021 viral di jagad maya.
ADVERTISEMENT
Dalam video itu, terlihat Gilbert dibanjiri tepukan dari ribuan penonton yang menghadiri pertandingan antara petenis Novak Djokovic dan Jack Draper. Bahkan ia juga mendapatkan standing ovation dari beberapa penonton yang hadir. Mendapatkan reaksi tak terduga, Gilbert yang memakai setelan jas merah dan atasan putih terlihat tersipu malu. Ekspresi wajah Gilbert itu pun akhirnya mencuri perhatian netizen.
Diketahui, saat itu, Gilbert termasuk salah satu penonton spesial yang diundang untuk menyaksikan pertandingan hari pertama Wimbledon, pada Senin 28 Juni 2021. Undangan itu diberikan sebagai penghormatan tinggi atas jasa dan kontribusinya dalam penanganan COVID-19.
Ya, Dame Sarah Gilbert sendiri dinilai sebagai sosok yang berjasa dalam penanganan COVID-19. Ia merupakan seorang ahli vaksin Inggris dan Profesor Vaksinologi di Universitas Oxford. Selain itu, ia juga salah satu ilmuwan yang memimpin pengembangan vaksin Oxford/AstraZeneca yang kini banyak dipakai orang di berbagai penjuru.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa sebenarnya Dame Sarah Catherine Gilbert? Berikut kumparanWOMAN rangkum beberapa faktanya seperti dikutip dari berbagai sumber.

1. Dikenal cerdas sejak kecil

Sarah Gilbert, Profesor vaksinologi di Institut Jenner Oxford. Foto: Reuters
Mengutip BBC, Sarah Gilbert lahir di Kettering, sebuah kota kecil di Northamptonshire pada April 1962. Ayahnya bekerja di bisnis sepatu, sementara ibunya adalah seorang guru bahasa Inggris dan anggota masyarakat opera amatir lokal. Konon, Gilbert sudah menyadari bahwa ia ingin menjadi ilmuwan ketika masih sekolah.
Menurut laporan The Northamptonshire Telegraph, Gilbert pernah menempuh pendidikan di Kettering High School for Girls pada 1973. Saat bersekolah di sana, ia digambarkan sebagai seorang siswa yang pendiam, pekerja keras, dan sangat cerdas. Bahkan, saking pintarnya, ia memperoleh sembilan O-Level (sertifikat pendidikan) dengan enam nilai A.
ADVERTISEMENT
“Ia (Gilbert) benar-benar berdedikasi di sekolah dan selalu bekerja sangat keras. Ia sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Kami sangat bangga dan senang bahwa ia pada akhirnya bisa membantu menyelamatkan dunia (dari pandemi COVID-19),” kata teman sekolah Gilbert, Michele Stock, saat diwawancarai The Northamptonshire Telegraph.

2. Pendiri perusahaan bioteknologi Vaccitech

Profesor Vaksinologi Universitas Oxford ini menjadi salah satu ahli vaksin Inggris ternama. Ia sendiri berspesialisasi dalam mengembangkan vaksin melawan influenza dan patogen virus yang baru muncul, demikian menurut laporan BBC.
Selain itu, ia juga tercatat menjadi salah satu pendiri Vaccitech, atau sebuah perusahaan bioteknologi yang mengkhususkan diri dalam pengembangan vaksin dan imunoterapi untuk penyakit menular, kanker, hepatitis B, HPV, hingga kanker prostat.
ADVERTISEMENT

3. Pernah memimpin uji coba vaksin Ebola hingga MERS

Dame Sarah Catherine Gilbert. Foto: Getty Images
Gilbert kabarnya sudah berpengalaman dalam menangani wabah, bukan hanya COVID-19. Ia sempat memimpin uji coba pertama vaksin Ebola, wabah yang sempat memburuk di Afrika pada 2014. Selain itu, ia juga memiliki peran yang sama pada wabah MERS, sindrom pernapasan yang sempat merebak di wilayah Timur Tengah.

4. Hampir berhenti dari sains

Dalam sebuah wawancara, Gilbert mengaku bahwa dirinya pernah berpikir untuk menyerah pada karier di bidang sains dan ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Ia mengatakan bahwa keputusan itu sempat terpikir olehnya, karena ia tak tahan harus bekerja sendirian.
“Ada beberapa ilmuwan yang senang hati bekerja sendiri dalam waktu yang lama. Tapi saya tidak seperti itu, saya tidak suka cara bekerja seperti itu,” kata Gilbert saat diwawancarai BBC Radio 4.
ADVERTISEMENT
Namun pada akhirnya, Sarah memutuskan untuk bertahan di bidang tersebut karena ia membutuhkan penghasilan.

5. Tidak ingin mengambil keuntungan dari pembuatan vaksin COVID-19

Ilustrasi vaksin corona AstraZeneca. Foto: Massimo Pinca/REUTERS
Sebagai penemu vaksin yang sangat dibutuhkan saat ini, Gilbert sebetulnya bisa mendulang banyak keuntungan. Namun, ia dilaporkan menolak kemungkinan itu dengan enggan mengambil secara penuh hak paten vaksin yang ia rancang bersama timnya. Konon, itu semua dilakukan agar vaksinya bisa dijual dengan harga murah.
“Sejak awal, kami melihatnya sebagai perlombaan melawan virus, bukan perlombaan melawan pengembang vaksin lain. Kami adalah universitas dan kami tidak berada di sini untuk menghasilkan uang. Saya ingin buang-buang jauh gagasan itu (mengambil hak paten penuh), agar kita bisa berbagi kekayaan intelektual dan siapa pun bisa membuat vaksin mereka sendiri,” kata Gilbert seperti dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu pun akhirnya berdampak pada harga vaksin Oxford/AstraZeneca yang lebih murah dari vaksin-vaksin buatan pengembang Barat lainnya, seperti Johnson & Johnson, Pfizer, hingga Moderna.