Cerita Mirna, Pengusaha Papan Selancar: Ditinggali Karyawan hingga Utang Rp 6 M

1 Februari 2024 17:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Selancar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Selancar. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Surfing atau berselancar merupakan salah satu olahraga dan kegiatan wisata yang banyak digandrungi wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman). Selain kegiatannya yang memicu adrenalin, Indonesia juga dianugerahi pantai dengan ombak yang menantang.
ADVERTISEMENT
Bicara soal surfing, wisatawan tentu tahu kalau kita memerlukan surf board atau papan selancar untuk olahraga tersebut. Di Surabaya misalnya, Primal Surf International atau PSI Surfboards diketahui sebagai salah satu produsen atau perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan papan selancar.
Menariknya, perusahaan yang sudah ada sejak tahun 2010 ini menjadi satu-satunya perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang blanks manufacture.
Mirna An Nissa, Direktur PSI (Primal Surf International) Surfboard. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
"PSI Surfboards itu sebenarnya blanks manufacture, surfboard manufacture juga. Kalau blanks manufacture di dunia cuma ada delapan. So far, kita salah satunya. Lalu, kalau di finish boards-nya di sini (Indonesia) kita bisa dibilang pionirnya, karena kita mulai dari 2010 kan," ujar Direktur PSI, Mirna An Nissa, saat ditemui kumparan di sela-sela acara final confference Diplomat Success Challenge (DSC) Season 11 yang digelar di TULUM Jakarta, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Nene itu mengatakan bahwa perusahaannya bergerak di bidang pembuatan bahan baku surfboards atau yang disebut dengan blanks.
"Jadi bahan baku kita adalah polyurethane foam atau pu. Memang ada beberapa macam sih, ada kayu, pu, ada epoksi juga. Kita spesialis di polyurethane foam, ini blanks-nya kita distribusi ke teman-teman di Bali, Jawa, Sumatera, gitu-gitu sih, dan kalau ekspornya kita main ke Australia, 80 persen kita main ke Aussie," ungkap Mirna.
Berbeda dengan perusahan lainnya, perusahaan surfboards miliknya berfokus pada pembuatan blanks dengan bahan polyurethane foam. Bahan ini dikatakan dia lebih kuat jika dibandingkan dengan kayu atau bahan pembuatan papan selancar lainnya.
"Kalau perbedaannya kalau dari teman-teman, saya sendiri sebenarnya belum coba kayu. Tapi, jujur kalau kayu, kalau dia patah rangkanya akan terbuka dan kalau pu itu tidak tajam, dia juga susah patah kalau dibandingkan pu foam, kayu, epoksi, dia yang paling kuat," tuturnya.
Warga membersihkan papan selancar untuk disewakan kepada wisatawan di kawasan wisata Pantai Batu Bolong, Canggu, Badung, Bali, Senin (7/2/2022). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA FOTO
Saat ini, perusahaannya diketahui menjadi supplier papan selancar di luar negeri. Namun, tak hanya itu, ia juga berfokus pada pasar lokal yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk pasar lokal sendiri, perusahaan Mirna memproduksi blanks untuk studio-studio lokal, studio selancar, hingga sekolah selancar.
"Sebenarnya kalau untuk pemasarannya sendiri kita main memang masuknya sudah ke Aussie, mayoritas 80 persen kita ke Australia, kita di sana ada 8 shop. Lalu, kalau di lokal kita kerja samanya sama lokal studio, surfs studio gitu, surfs school gitu-gitu sih kalau teman-teman yang di lokal kayak Pacitan, Bali, Banyuwangi, itu mereka kayak punya homestay kayak surfs school yang di sana kayak mereka yang ambil blanks-nya," paparnya.
Setiap harinya, perusahaannya sendiri diketahui bisa memproduksi hingga 40 pieces blanks atau papan selancar.
"Kapasitas produksi sehari bisa 40 pieces sekarang. Jadi, misalkan dihitung 40 dikali 21 hari itu. Biasanya kalau ekspor 2-3 minggu sekali dan demand-nya di Aussie sebanyak itu," lanjut Mirna.
ADVERTISEMENT
Untuk harga blanks atau surfboards-nya sendiri dibanderol sekitar 200-350 dolar Amerika Serikat, atau sekitar Rp (3,1 juta-Rp 5,5 juta).
Meski saat, ini pembatasan pandemi sudah dicabut dan industri perjalanan hingga pariwisata sudah mulai pulih kembali. Ia tak menampik perusahaannya mengalami dinamika yang cukup besar saat pandemi melanda beberapa tahun lalu.

Pandemi Terhadap Industri Selancar

Ilustrasi bermain selancar di pantai St Ives, Inggris. Foto: VisitBritain
Ketika pandemi, Mirna mengatakan bahwa perusahaannya mengalami pasang surut, khususnya dalam hal pemesanan.
"Kalau penurunan sih pasti, karena kebetulan ini kan olahraga air," ujarnya.
Meski begitu, bukan berarti pandemi tidak bisa memberikan berkah. Buktinya di tengah lesunya pasar internasional, Mirna mengatakan bahwa perusahaannya tetap menerima pemesanan produk papan selancar dari berbagai kota di Indonesia, tak terkecuali Bali.
ADVERTISEMENT
"Kita malah supply ke Bali waktu pandemi itu gede dan malah kita hidup lewat lokal malah. Karena waktu itu ekspor biayanya sampai 3 kali lipat pas pandemi. Sekarang ada kenaikan dikit sih, tapi enggak signifikan kayak pandemi yang naik sampai 3 hingga 4 kali lipat untuk membiayai ke sana (ekspor)," tutur Mirna.
Namun, tak hanya itu, ia juga bercerita bahwa perusahaannya sempat diterpa 'badai' yang cukup kencang. Hal itu bermula ketika ia ditinggalkan oleh para founder (pendiri) perusahaan.
"Sebenarnya kalau aku sendiri datang ke PSI Surfboard as operational manager aja pegawai biasa aja sebenarnya. Saya enggak pernah tahu tentang surfboards waktu itu, tapi founder saya hilang satu-satu. Terus 2,5 tahun yang lalu udah nih enggak ada semuanya banget nih?" katanya.
ADVERTISEMENT
Tidak diketahui secara pasti alasannya, namun yang pasti saat itu ada 60 orang karyawan yang menggantungkan hidupnya di perusahaan tersebut.
"Saya ditinggali sama teman-teman 60 karyawan, ada 60 orang yang ngikut ke perusahaan ini dan menggantungkan hidup sama pabrik kita dan mereka hilang gitu aja. Waktu itu memang posisi tertinggi orang Indonesia itu cuma saya," ungkap Mirna.

Ditinggalkan Utang Rp 6 Miliar

Ilustrasi Selancar. Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Tak hanya harus mempertahankan 60 karyawannya, perusahaan tempatnya bekerja juga harus menanggung hutang yang cukup besar sekitar Rp 6 miliar. Adapun, yang membuatnya tetap bertahan adalah adanya 60 orang yang menggantungkan hidup di perusahaan yang dijalankannya.
"Jadi, sebetulnya founder saya itu New Zealand dan Australian dan orang Indonesianya satu-satunya cuma saya. 2,5 tahun ini pabrik mau digimanain nih, dan 60 orang ini gimana dan akhirnya melanjutkan," ujar Mirna.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, Mirna akhirnya tetap terus maju dan beberapa bulan setelahnya ia berhasil melunasi hutang tersebut.
"Melanjutkan dengan ditinggalin hutang yang sebanyak itu ada sekitar Rp 6 miliar dan saya berhasil melunasi, menyelesaikan itu dalam waktu 8 bulan," katanya.

Industri Surfing Seperti Apa?

Pantai G Land Banyuwangi. Foto: Kemenparekraf
Saat ditanyai mengenai tren surfing, Mirna optimistis bahwa sektor ini akan bisa terus meningkat. Sebab, saat ini ada banyak event surfing yang digelar di Indonesia.
"Semakin naik, sangat-sangat naik, jadi bisa dipastikan bisa di googling event surfing itu semakin banyak diadakan di Indonesia. Terakhir, Nias Pro, Double World Surf League, kalau sebelumnya 2022 itu di Banyuwangi. 2024 ini kan PON-nya di Aceh. Bahkan, Aceh itu rujukan surf untuk PON Indonesia 2024," ujar Mirna.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, menurut Mirna, masih banyak pantai di Indonesia yang ternyata memiliki ombak besar, bahkan menyandang 'one of the best waves' di seluruh dunia.
"Pantai G Land itu lokal jarang banget mainnya. Mereka akan mainnya di Pulau Merah. Padahal untuk ombaknya sebagus itu di G Land. Itu adalah one of the best waves di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia aja," pungkasnya.