Paralimpik: Melangkah Lebih Jauh, Mempersetankan Rintangan

4 Oktober 2018 11:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atlet National Paralympic Committee (NPC) cabang olahraga Atletik Balap Kursi Roda Jaenal Aripin mengikuti pelatnas Asian Para Games 2018 di Stadion Sriwedari, Solo. (Foto: ANTARA/Muhammad Ayudha)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet National Paralympic Committee (NPC) cabang olahraga Atletik Balap Kursi Roda Jaenal Aripin mengikuti pelatnas Asian Para Games 2018 di Stadion Sriwedari, Solo. (Foto: ANTARA/Muhammad Ayudha)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Olahraga, entah bagaimana caranya, tak pernah kehilangan tempat dalam kehidupan orang-orang.
ADVERTISEMENT
Lamat-lamat, olahraga menyusup dalam darah dan daging, menjadi alasan bagi sebagian orang untuk tetap bertahan hidup. Ia menjadi metronom bagi sejumlah orang untuk menutup telinga dan tetap mengayunkan kaki, melangkah lebih jauh, mempersetankan rintangan, menghajar kegagalan, menolak tunduk pada kekalahan dan ketidakberdayaan.
Lantas, di waktu-waktu paling liris, saat dunia mengaduh dahsyat menanggung duka Perang Dunia II, olahraga datang dalam wujudnya yang paling berani: paralimpik.
Jalan Kesatria Dokter Ludwig Guttmann
Pada mulanya adalah perang, pada akhirnya adalah paralimpik. Dalam keterpurukannya adalah korban, dalam kebangkitannya adalah penyintas.
Kejahatan Perang Dunia II bertambah hebat, karena ia tak sekadar membunuh, tapi membiarkan orang-orang hidup dalam luka seumur hidup.
Mereka yang hidup dengan kehilangan anggota-anggota tubuh tertentu dipaksa mengenyam hari-hari menyaksikan tatapan heran dari orang lain. Mereka yang pada akhirnya menjadi difabel dipaksa membentengi diri dari laku dan raut iba orang lain.
ADVERTISEMENT
Maka, bersyukurlah karena Dokter Ludwig Guttmann pernah hidup di dunia.
Guttmann adalah satu dari sekian orang Yahudi yang selamat dari kekejaman NAZI. Council for At-Risk Academics (CARA) mensponsorinya untuk hidup dan bekerja di Inggris.
Guttmann adalah neurologis —bahasa sederhananya, ahli saraf. Orang kelahiran Jerman ini memfokuskan penelitian dan pekerjaannya pada cedera tulang belakang (spinal injury). Ke depannya, ialah yang disebut sebagai pemrakarsa paralimpik, kompetisi olahraga yang ditujukan bagi para difabel.
Untuk menyaksikan kisah hidup Guttmann dengan cara yang menyenangkan sehingga dapat memahami apa yang menggelinjang dalam benaknya, kita hanya perlu menyaksikan film berjudul 'The Best of Men'. Film yang bisa disebut sebagai biografi sinematis Guttmann ini tayang di televisi Inggris pada 2012. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukannya dengan mesin pencari internet.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Guttmann dipromosikan CARA untuk bekerja di Rumah Sakit Stoke Mandeville. Tugasnya berat bukan main, mendirikan National Spinal Injuries Centre. Di unit itu, kebanyakan pasiennya merupakan tentara-tentara Inggris yang menjadi korban Perang Dunia II.
Ludwig Guttmann dan atlet paralimpik di tahun 1968. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ludwig Guttmann dan atlet paralimpik di tahun 1968. (Foto: Wikimedia Commons)
Dibandingkan dengan dokter, perawat, dan staf lainnya, Guttmann punya pemikiran berbeda. Jika para pesohor rumah sakit itu kukuh pada pendiriannya untuk merehabilitasi pasien dengan berdiam diri, membatasi gerak mereka sedapat-dapatnya, Guttmann punya cara pandang sendiri menyoal rehabilitasi.
Dalam benaknya, rehabilitasi bukan mengasingkan para pasien dari dunia luar. Yang berkecamuk dalam alam pikirnya, rehabilitasi tak sama dengan mengistirahatkan tubuh para pasien itu secara permanen. Apalah artinya selamat dari kematian dan kekejaman perang, bila mereka hidup terasing, menjadi seonggok alien yang tak punya tempat dalam kehidupan masyarakat?
ADVERTISEMENT
“Apa yang kalian lakukan di sini? Apa tujuan rumah sakit dan pusat rehabilitasi ini? Untuk menyembunyikan anak-anak muda yang tak bisa bergerak bebas, tapi penuh senyuman dari dunia? Untuk menjadi tempat sunyi yang dipenuhi dengan orang-orang yang terlupakan, orang-orang yang harus diurus setiap saat? Untuk menjadi tempat yang dipenuhi oleh staf yang begitu waswas dengan anak-anak muda ini?”
Guttmann tak mengucapkan jejalin kalimat itu dengan tenang. Ia berbicara dengan vokal, berapi-api, di hadapan para petinggi rumah sakit yang kelewat takut untuk membawa pasien-pasien itu kembali ke kehidupan nyata.
Lantas, yang dilakukan Guttmann adalah menggiring pasien-pasien itu dalam kehidupan bermasyarakat. Caranya? Olahraga.
Guttmann ‘memaksa’ pasien-pasiennya untuk bermain hoki, memanah, dan bermain tenis. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diajak ke bar-bar lokal. Bukan untuk mabuk-mabukan, tapi untuk beradu panco dengan para pengunjung lainnya.
ADVERTISEMENT
Lewat kegilaannya itu, Guttmann ingin menegaskan, memangnya kenapa kalau seseorang menjadi difabel?
Pada 28 Juli 1948 Stoke Mandeville untuk pertama kalinya menggelar kompetisi olahraga untuk difabel. Ini menjadi turnamen paralimpik pertama di dunia. Jangan mengharapkan gelaran megah ala Olimpiade karena hanya ada satu cabang olahraga yang diperlombakan, memanah. Itu pun diikuti oleh 14 orang pria dan dua wanita.
Namun, bukan berapa banyak cabor atau peserta yang penting. Yang utama adalah visi Guttmann yang enggan mengasingkan para difabel. Sadar atau tidak sadar, gelaran ini sengaja diadakan bersamaan dengan Olimpiade Musim Panas 1948 di London. Tujuannya? Keadilan.
Yang menggembirakan, turnamen ini tak hanya diadakan pada 1948, tapi menjadi kompetisi tahunan. Bahkan pada 1952, turnamen ini naik level ke skala internasional karena mengundang peserta dari Belanda. Untuk cabornya pun mengalami perkembangan: panahan, tenis meja, dan snooker (biliar Inggris).
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah tentang difabel sering menggambarkan batin yang terluka, yang dihayati dengan muram dan kerap menjadi pantulan luka yang dierami sehingga menjadi duka yang beranak-cucu. Namun, Guttmann membuktikan bahwa disabilitas tak menjadi alasan bagi para difabel untuk berdiri kikuk di hadapan orang lain, disabilitas tak perlu membuat mereka canggung meraih ruang dalam kehidupan sosial.
Dengan segala keberaniannya untuk mewujudkan ide gila ini, pada 1966, sang Ratu menyematkan gelar kesatria itu di depan nama Guttmann
Jalan Panjang Asian Para Games
Perkembangan adalah bagian dari mereka yang hidup. Karena turnamen paralimpik tetap hidup, maka ia mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Delapan tahun setelah gelaran paralimpik pertama itu, Roma menjadi kota penyelenggara pertama di luar Stoke Mandeville. Namun, baru sejak gelaran di Tokyo pada 1964-lah, istilah Paralimpiade digunakan.
ADVERTISEMENT
Tabel Paralimpik. (Foto: Paralympic Games)
zoom-in-whitePerbesar
Tabel Paralimpik. (Foto: Paralympic Games)
Bila dirunut, dari 1960 hingga 1984, hanya dua Paralimpiade  yang diadakan di kota yang sama dengan Olimpiade: Roma 1960 dan Tokyo 1964. Namun, belum ada hubungan formal antara panitia penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade.
Lantas, sejak 1988, Paralimpiade mulai rutin dilaksanakan berdampingan dengan Olimpiade dengan mengambil tempat di kota yang sama dengan gelaran Olimpiade di tahun tersebut.
Praktik ini juga diberlakukan pada 1992 untuk perhelatan Paralimpiade Musim Dingin, dan menjadi kebijakan resmi Komite Olimpiade Internasional dan Komite Paralimpiade Internasional sejak 19 Juni 2001.
Bila dirinci, Paralimpiade bakal dihelat tiga minggu sejak gelaran Olimpiade, di kota tuan rumah yang sama dan menggunakan fasilitas yang sama pula. Artinya, kota-kota yang mencalonkan diri untuk menjadi tuan rumah Olimpiade harus mengikutsertakan Paralimpiade dalam proposal mereka.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, atlet-atlet difabel Asia tak hanya perantauan, tapi menemukan rumahnya sendiri di Asian Para Games. Serupa Paralimpiade yang memiliki perjalanan panjang, Asian Para Games pun demikian.
Embrio dari penyelenggaraan Asian Para Games adalah FESPIC Games (Far East and South Pacific Games for the Disabled), sebuah multievent bagi atlet difabel yang pertama kali digelar pada 1975 di Oita, Jepang.
Secara sederhana, yang menjadi tujuan penyelenggaraan FESPIC Games adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas melalui partisipasi dalam ajang olahraga, memperdalam nilai pengertian dan persahabatan antar-penyandang disabilitas, dan mendukung rehabilitasi bagi penyandang disabilitas melalui aktivitas olahraga. Sebenarnya, Indonesia sudah pernah menjadi tuan rumah gelaran FESPIC Games pada 1986. Hanya, kala itu Surakarta-lah yang dipilih sebagai tempat penyelenggaraan.
ADVERTISEMENT
Namun, FESPIC Games IX yang dihelat di Malaysia pada 2006 menjadi FESPIC Games terakhir. Sebagai tindak lanjutnya, Asian Paralympic Committee yang mengambil alih tanggung jawab sebagai wadah organisasi pun menyelenggarakan Asian Para Games pertama pada 2010 di Guangzhou, China.
Tak Sekadar Riuh, Bukan Pesta Olahraga Semata
Asian Para Games hanya akan menjadi riuh tanpa arti jika tidak bisa bersuara lantang. Maka dari itu, Asian Para Games harus memiliki nilai-nilai yang disuarakan dalam setiap gelarannya. Mengacu pada handbook Asian Para Games 2018, gelaran ini bertujuan untuk menjadi titik mula bagi para difabel untuk merengkuh kesempatan melakoni kehidupan dengan kualitas yang sama di setiap lapisan masyarakat.
Dalam handbook tersebut juga dijelaskan keempat nilai yang menjadi dasar gelaran Asian Para Games itu sendiri. Yang pertama adalah determinasi. Maksudnya, Asian Para Games 2018 ini dapat menyuarakan determinasi atlet difabel untuk menghadapi setiap tantangan baik secara fisik dan mental di sepanjang perjalanan mereka untuk mencapai kehidupan terbaik. Jadi, tak hanya bicara soal prestasi dan raihan medali, tapi apa  yang dilakukan untuk mencapainya dan apa yang dilakukan setelah gelaran ini usai.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, keberanian. Gelaran Asian Para Games edisi ketiga ini menjadi corong untuk menyuarakan keberanian dan kepercayaan atlet difabel dalam menghadapi setiap tantangan, apa pun bentuknya.
Yang ketiga, kesetaraan. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, setara berarti sama, imbang. Artinya, difabel ataupun tak difabel, semuanya memiliki kesempatan yang setara untuk memiliki kualitas hidup terbaik. Dengan keberadaan Asian Para Games ini, atlet-atlet difabel pun memiliki kesempatan untuk berkompetisi dan berprestasi serta mendapat perlakuan yang setara.
Yang keempat, inspirasi. Artinya, sepak-terjang dan segala perjuangan yang dilakukan oleh atlet difabel di kompetisi ini dapat menginspirasi teman-teman difabel lainnya. Bahwa lewat perjuangan mereka, difabel dapat memahami bahwa mereka pun memiliki ruang di ranah apa pun yang mereka geluti.
ADVERTISEMENT
M Fadli (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
M Fadli (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Yang menarik, Asian Para Games tidak hanya menjadi pesta untuk atlet difabel, tapi difabel secara keseluruhan. Kabar baiknya, ini tak hanya menjadi slogan, tapi mulai mewujud secara nyata. Apa  yang muncul di puncak Pawai Obor Asian Para Games 2018, misalnya. Digelar di Jakarta pada Minggu (30/9), pawai ini tak hanya diramaikan oleh para atlet dan pegiat-pegiat olahraga, tapi difabel yang juga tidak berkecimpung di bidang olahraga.
Adalah Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang ikut ambil bagian dalam kirab obor itu. Ketika diwawancarai kumparanSPORT, salah seorang anggota komunitas, Erwin, menjelaskan apa yang akan dilakukannya dalam gelaran Asian Para Games 2018 nanti.
Dalam wawancaranya tersebut, Erwin bertutur bahwa ia akan ambil bagian di pesta olahraga difabel se-Asia itu. Jangan menyangka bahwa Erwin adalah seorang atlet. Bila ditarik mundur, Erwin adalah satu dari sekian difabel yang menggunakan motor roda tiga sebagai transportasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Dengan kendaraan itu, ia memastikan bahwa disabilitas tak membuatnya menjadi sosok yang tak mandiri. Lantas, yang akan dilakukannya nanti adalah menjaring teman-temannya yang juga menggunakan motor roda tiga untuk menjadi ‘ojek’ para penonton yang juga menggunakan kursi roda dari pintu masuk menuju venue-venue pertandingan.
“Saya cari sampingan jemput penonton di pintu masuk trotoar Senayan ke semua venue GBK. Nanti ada 50 motor, dari Jakarta dan dari Yogyakarta," ucap Erwin kepada kumparanSPORT, saat mengikuti agenda Pawai Obor Asian Para Games 2018, Minggu (30/9/2018).
"Yang pasti saya senang bisa berikan kontribusi langsung dan tentu kegiatan ini bisa menambah pemasukan kami," kata Erwin mengimbuhkan.
Salah satu perwakilan dari PPDI Jakarta, Aulia Amin, pun mengamini pentingnya kontribusi ril ini. Dari penjelasannya, ia pun merasa kerepotan bila harus melipat kursi roda untuk berpindah tempat. Sementara dengan motor kursi roda, pengguna nantinya tinggal masuk ke area angkut dan duduk manis sambil diantar ke tempat yang dituju.
ADVERTISEMENT
"Ini kesempatan, momen langka bagaimana penyandang disabilitas tak hanya atlet, bisa merasa keberadaannya diakui oleh negara. Ada implementasi undang-undang disabilitas, yakni partisipasi aktif," ucap Amin kepada kumparanSPORT.
Atlet renang berlatih untuk mempersiapkan Asian Para Games 2018. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet renang berlatih untuk mempersiapkan Asian Para Games 2018. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
“Kami siap memastikan ada sense dari kami, yang tidak terpikirkan oleh bukan disabilitas. Kami tak ingin hanya peramai, kami ingin berperan aktif. Jadi, kami ingin buktikan bukan hanya penerima manfaat, tapi diakui kemampuannya.”
"Harus dipastikan juga teman-teman disabilitas dari berbagai negara Asia lain merasa atmosfer seperti di rumah sendiri. Bukan sebagai tamu, bukan sekadar dilayani. Kami ingin pastikan mereka bergembira. Ini saatnya merayakan keberagaman di Asian Para Games," jelas Amin.
Atas segala hal yang melatarbelakangi dan nilai-nilai yang dikandungnya, Asian Para Games tak pantas untuk dipandang sekadar sebagai gelaran yang dipenuhi oleh kisah haru. Cerita di dalamnya ada cerita perjuangan, kisah yang hidup di dalamnya adalah perjalanan para kesatria.
ADVERTISEMENT
Dan yang terpenting, apa yang akan dilakukan setelahnya. Karena bagaimanapun, setiap epos hanya akan menjadi cerita masa lampau jika tak diikuti dengan kegigihan dan daya tahan untuk merawat apa yang sudah diperjuangkan.
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel”.