Perubahan Iklim Sebabkan Indonesia Lebih Sering Dilanda Bencana

30 April 2019 20:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara kendaraan melintasi kawasan terdampak banjir di Pinggiran Sungai Bengkulu, Bengkulu, Sabtu (27/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/David Muharmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara kendaraan melintasi kawasan terdampak banjir di Pinggiran Sungai Bengkulu, Bengkulu, Sabtu (27/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/David Muharmansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perubahan iklim menyebabkan Indonesia jadi lebih sering dilanda bencana. Hal itu disampaikan oleh Ari Mochamad, Climate Adaptation Governance Advisor program Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) yang digagas oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
ADVERTISEMENT
“Intensitas dan frekuensi iklim ekstrem menimbulkan dampak dan ancaman terhadap agenda pembangunan. Bencana-bencana seperti banjir, longsor, kekeringan, angin puting beliung menimbulkan kerugian materi, korban jiwa, lingkungan, kehidupan sosial dan ekonomi,” kata Ari dalam acara diskusi media bertajuk ‘Adaptasi Perubahan Iklim, Kebencanaan, dan Pembangunan di Indonesia’ di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (30/4).
Oleh karena itu, menurutnya, adaptasi perubahan iklim patut menjadi agenda para pemangku kepentingan untuk membangun ketangguhan masyarakat dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Adaptasi perubahan iklim yang dimaksud adalah upaya-upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim melalui strategi antisipasi, penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi untuk meminimalkan kerusakan lebih lanjut, dan pemanfaatan kesempatan yang ada.
Ari Mochamad, Climate Adaptation Governance Advisor USAID APIK. Foto: Utomo/kumparan
Pentingnya upaya adaptasi terhadap perubahan iklim ini diamini pula oleh perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) serta perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang hadir dalam diskusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, punya data faktual soal kenaikan jumlah bencana di Indonesia dari tahun ke tahun. Data yang ia paparkan dalam diskusi menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2003 “hanya” ada 403 kejadian bencana di Indonesia. Namun sepanjang tahun 2017, ada 2.372 kejadian bencana di negeri ini.
Hal ini menunjukkan adanya kenaikan jumlah bencana yang sangat besar di wilayah Indonesia. Selain itu, Tantri juga menyampaikan, lebih dari 90 persen bencana yang terjadi antara tahun 2003 sampai 2017 itu adalah kejadian bencana yang terkait dengan perubahan iklim.
Jumlah bencana di Indonesia per tahunnya. Foto: Utomo/kumparan
Oleh karenanya, adaptasi perubahan iklim adalah sebuah keharusan. “Strategi yang dilakukan KLHK untuk adaptasi adalah pengarusutamaan kebijakan, peningkatan kapasitas, kegiatan di tingkat masyarakat, memperkuat kemitraan, dan pengembangan sistem pengelolaan pengetahuan,” kata Tantri.
ADVERTISEMENT
Perempuan lulusan Biologi Institut Teknologi Bandung dan Rensselaer Polytechnic Institute di Amerika Serikat itu memberi catatan, yang menjadi tantangan dalam upaya adaptasi perubahan iklim ini adalah koordinasi. Sebab, perubahan iklim adalah isu yang sangat lintas sektoral.
Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK. Foto: Utomo/kumparan
Berton Panjaitan, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, menambahkan bahwa adaptasi perubahan iklim (API) juga erat kaitannya dengan pengurangan risiko bencana (PRB) karena perhatian yang serupa untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana hidrometeorologi (terkait cuaca) yang jumlahnya diperkirakan bakal semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Berton mengatakan, konvergensi atau penggabungan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana adalah keharusan. “Langkah konkrit dari semua pemangku kepentingan perlu diaplikasikan sejak dalam perencanaan, koordinasi, pelaksanaan hingga pengendalian kebijakan dan program berbasis konvergensi API-PRB,” ujar pemilik gelar PhD di bidang manajemen risiko dan bencana dari University of Canterbury di Selandia Baru itu.
ADVERTISEMENT
Arif Budi Rahman, peneliti di Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, punya perspektif ekonomi mengenai dampak perubahan iklim ini. “Tanpa langkah mitigasi dan adaptasi yang tepat, maka Indonesia berpotensi menanggung kerugian yang mencapai 6,7 persen dari Gross Domestic Product pada tahun 2100,” kata Arif.
Arif Budi Rahman, peneliti di Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (tengah). Foto: Utomo/kumparan
Mengingat upaya adaptasi perubahan iklim ini saling terkait dengan agenda pembangunan umum, Arif mengatakan, maka untuk mendanai perlu dilakukan “pengarusutamaan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.”
Arif mencontohkan, dahulu pemerintah sempat berfokus pada program Keluarga Berencana (KB) sehingga semua lintas sektoral kemudian menjalankan program-program yang terkait dengan isu pengendalian jumlah penduduk tersebut.
“Sekarang kita mau fokus pada program adaptasi perubahan iklim. Maka isu yang harus terus kita angkat bersama adalah soal Jakarta tenggelam, misalnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Yang perlu diketahui oleh masyarakat umum, perubahan iklim bukanlah sekedar fenomena kenaikan suhu di permukaan bumi sehingga menyebabkan es di bumi meleleh, lalu permukaan air laut menjadi naik, dan kemudian sebagian sebagian wilayah pesisir menjadi tenggelam.
Dampak perubahan iklim lebih nyata telah kita rasakan sekarang, yakni berupa sering munculnya fenomena cuaca ekstrem seperti kemarau berkepanjangan yang bisa menyebabkan kekeringan hingga kebakaran lahan, atau hujan yang sangat deras sehingga dalam waktu singkat sudah bisa menyebabkan banjir, longsor, dan sebagainya.
Untuk mencegah semakin ganasnya dampak perubahan iklim dan menekan laju perubahan iklim ini, Tantri mengajak semua lapisan masyarakat untuk mulai melakukan tindakan-tindakan konkret yang bisa dimulai dari sendiri. Tindakan yang dimaksud antara lain mengurangi penggunaan plastik, menanam sebanyak mungkin pohon di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, menghemat penggunaan listrik, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dengan bersepeda atau berjalan kaki, atau juga beralih kendaraan umum, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT