news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perang Paling 'Membagongkan' dalam Sejarah, 10.000 Nyawa Mati Sia-sia

6 Juli 2022 7:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Perang Foto: Dok.  IndoCropCircles
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perang Foto: Dok. IndoCropCircles
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarah umat manusia, kita sepakat bahwa perang banyak menyisakan kehancuran dan kesedihan. Jutaan nyawa hilang meninggalkan orang-orang yang dicintai.
ADVERTISEMENT
Penyebab perang bisa jadi bermacam-macam dan umumnya terjadi karena persoalan serius. Terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand dari Austria misalnya, peristiwa ini mengawali meletusnya Perang Dunia I tahun 1914.
Terlepas dari persoalan serius itu, tahukah kamu di dunia ini pernah ada peperangan yang disebabkan oleh hal yang sepele? Tentu kisah di bawah ini tak banyak diajarkan di bangku sekolah maupun buku pelajaran sejarah.

Perang Pastry (1838-1839)

Di Meksiko, pernah ada pertempuran yang dijuluki Perang Roti (Pastry War) tahun 1838. Dari namanya, pasti kamu langsung menebak apa penyebabnya bukan? Kalau kamu pikir perang gara-gara rebutan roti, sayang sekali tebakanmu belum tepat.
Perang Roti terjadi antara Prancis dan Meksiko. Nama ini diambil dari konflik seorang juru masak roti Prancis yang tinggal di Tacubaya, dekat Mexico City dengan tentara Meksiko.
ADVERTISEMENT
Monsieur Remontel si pemilik toko protes menuntut ganti rugi sebesar 600.000 peso atas harta bendanya yang hilang gara-gara beberapa perwira tentara Meksiko menjarah, merusak dan menghancurkan lapaknya.
Singkat cerita, permintaan ganti rugi tersebut tak dipenuhi. Sebagai akibatnya, pada bulan November 1838, armada militer Prancis menyerang dan menduduki Veracruz.
Pertempuran berhasil mereda melalui mediasi Inggris dan perdamaian tercapai. Kesepakatannya, Meksiko setuju membayar ganti rugi 600.000 peso atas kerusakan toko roti orang Prancis tersebut secara tunai. Perang ini berlangsung singkat selama 3 bulan.

Perang Karánsebes (21-22 September 1788)

Kalau kamu pikir Perang Roti adalah yang paling sepele dalam sejarah, tunggu dulu. Ada lagi perang lain yang penyebabnya tak kalah konyol. Konflik ini terjadi di masa perang Austro-Turki (1787-1791).
ADVERTISEMENT
Alkisah di gelapnya malam pada 21-22 September 1788, para tentara koalisi Austria berjumlah 100.000 orang dan para jenderal mendirikan kemah di sekitaran tepi Sungai Timiş.
Di malam yang gelap tanpa sinar rembulan itu, para jenderal merencanakan strategi perang untuk menyerang Turki. Selagi para petinggi menyusun strategi, sebuah pasukan hussar (tentara berkuda) berbaris berjalan menyeberangi Sungai Timiş di Rumania untuk mengintai apakah ada pergerakan pasukan Turki Utsmani (Ottoman).
Pasukan Hussar saat itu boleh bernapas lega dan tak perlu khawatir-khawatir amat. Mereka tak menangkap tanda-tanda kehadiran Tentara Utsmani. Mereka kemudian melakukan pawai lalu berhenti di dekat Karánsebes untuk beristirahat.
Saat istirahat seorang perwira kavaleri haus dan membeli schnapps alias miras untuk melepas dahaganya. Miras itu dibeli dari sekelompok orang Rom yang ditemui di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Seperti kebiasaan para bos, perwira itu tak lupa menraktir para pasukannya untuk minum-minum bareng, menurut laporan Livescience. Di malam itu juga, ada beberapa pasukan infanteri yang kemudian menyusul para hussar menyeberangi sungai. Mereka melihat "wah ada pesta miras" berlangsung dan memutuskan untuk meminta miras dari pasukan hussar.
Namun, para hussar itu menolak berbagi. Kesal tak diberi miras, tentara itu kemudian 'usil.' Mereka lalu menakut-nakuti para hussar dengan berteriak "Turci! Turci!" (Turci: Turki -red) agar mereka ketakutan.
Hal itu dilakukan agar para hussar kabur dan pasukan infanteri bisa mengambil miras mereka dengan mudah. Karena ada sebagian dari infanteri juga yang mabuk, mereka ikut mengira pasukan Turki benar-benar datang. Beberapa pasukan infanteri lain juga ikut kabur karena itu.
Ilustrasi Pasukan Turki Utsmani. Foto: m.o.arvas/Shutterstock
Dokumen "Zur Kriegsgeschichte" Real Zeitung serta literatur Politisches Journal: nebst Anzeige von gelehrten und andern Sachen mengisahkan, saat itu terjadi pertengkaran sengit antara pasukan infanteri dan kavaleri, sampai pada akhirnya seorang tentara melepas sebuah tembakan.
ADVERTISEMENT
Sekelompok tentara yang bertengkar itu tergabung dari berbagai wilayah seperti Austria, Serbia, Kroasia, orang Italia dari Lombardia serta etnis minoritas lain. Hal tersebut membuat para tentara tak memahami bahasa satu sama lain.

Tentara mabuk, senjata makan tuan

Salah seorang petugas berniat melerai pasukan yang bertikai. Dalam dokumen itu diceritakan, petugas berteriak "Halt! Halt!" (Hentikan!). Namun sayangnya teriakan itu disalahpahami oleh tentara yang tidak bisa bahasa Jerman sebagai "Allah! Allah!"
Gelapnya malam, mabuk ditambah tak mengerti bahasa satu sama lain bikin situasi makin runyam. Beberapa prajurit kavaleri hussar memutuskan untuk melarikan diri dan kembali ke arah kamp.
Entah 'apa yang merasuki' pasukan di kamp. Bukannya dipersilakan masuk, mereka malah mengira pasukan berkuda itu adalah tentara Ottoman yang datang menyerang. Para pasukan di kamp pun mulai menembakkan artileri ke arah rekannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Mendengar suara tembakan, prajurit di seluruh kamp pun kaget dan terbangun. Mereka keluar dan melarikan diri. Karena pandangan begitu gelap, pasukan di luar mengira temannya adalah tentara Turki dan mulai menembaki hampir semua orang.
Dilansir Daily Sabah, seorang komandan, yang melihat kekacauan dari jauh, mengira bahwa Turki benar-benar datang dan memberi perintah untuk menembakkan meriam.
Beberapa tentara Austria juga memperparah situasi berteriak "Turki! Orang Turki! Lindungi dirimu sendiri." Padahal itu temannya sendiri. Kaisar Joseph II yang ada di lokasi sampai jatuh dari kudanya ke sungai. Agar tak ditangkap Turki, ia merangkak ke sebuah rumah di dekatnya.
Selang dua hari kemudian, Ottoman tiba di tempat kejadian. Mereka menemukan sekitar 10.000 tentara Austria tewas atau terluka. Tentu ini membuat orang-orang Turki Utsmani dapat dengan mudah menaklukan Karánsebes tanpa perlawanan berarti.
ADVERTISEMENT
". . . itu jelas sebuah lelucon di mata tentara (aliansi Austria), barisan tentara di belakang mendengar teriakan dan tembakan dalam kegelapan di depan dan menganggap (itu adalah hal) yang terburuk," tulis sejarawan Charles Kirke, dosen antropologi militer Univ. Cranfield di Inggris, dalam buku “ Fratricide in Battle: (Un)Friendly Fire” (Bloomsbury Academic, 2014).