Pasien Sembuh Corona Bisa Kehilangan Indera Penciuman Permanen? Ini Kata Ahli

27 November 2020 17:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tak bisa mencium bau makanan Foto: Dok.Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tak bisa mencium bau makanan Foto: Dok.Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Infeksi virus corona dapat merusak sistem saraf manusia, menurut para ahli. Salah satu gejala yang akan dialami pasien COVID-19 adalah rusaknya indera penciuman dalam tingkat yang cukup parah.
ADVERTISEMENT
Dilansir The Wall Street Journal, ilmuwan sebenarnya sudah mengetahui hal ini sejak awal pandemi terjadi. Namun, ilmuwan masih belum bisa menemukan alasan di balik gejala tersebut.
Sebuah penelitian yang dipublikasi di jurnal Chemical Senses, memberikan data yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 7 persen dari 4.000 pasien COVID-19 dilaporkan mengalami masalah indera penciuman. Beberapa memperoleh kembali kemampuan penciumannya dalam beberapa pekan saja, namun ada beberapa pasien lain yang kurang beruntung.
Bahkan, beberapa di antara pasien tersebut dilaporkan tidak memperoleh kembali indera penciumannya secara normal meski telah sembuh dari infeksi. Kondisi ini disebut ilmuwan sebagai parosmia.
Menurut penelitian tersebut, pasien sembuh corona yang mengidap parosmia dapat kehilangan indera penciuman secara permanen. Salah satu pasien melaporkan bahwa kentang goreng memiliki bau seperti daging busuk dan cokelat.
ADVERTISEMENT
Ellen Glynn (46), seorang guru SMA di Amerika Serikat, menjadi pasien sembuh corona yang kurang beruntung tersebut. Kepada WSJ ia mengungkapkan bahwa kopi dingin baginya memiliki bau “seperti seseorang telah meninggalkan ayam mentah di bawah sofa selama beberapa pekan.”
Sementara itu, seorang dokter penyakit menular di Emory University, Jennifer Spices, juga mengutarakan hal yang serupa. Kepada The Washington, ia menyatakan bahwa anggur merah terasa “seperti bensin” saat dikonsumsi olehnya.
Hingga saat ini, ilmuwan masih mencoba mencari alasan utama hal ini bisa terjadi. Salah satu spekulasi yang dibuat adalah sebuah sensor penciuman yang ada bagian atas hidung terganggu akibat infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Ilustrasi Menutup Hidung Foto: Shutterstock
Namun, ilmuwan telah memastikan bahwa virus corona tidak menyerang sel neuron pada bagian tersebut. Meski begitu, ada kemungkinan virus SARS-CoV-2 dapat menyerang sel sustentacular yang berfungsi untuk mendeteksi sebuah bau sebelum diteruskan oleh sel neuron ke otak.
ADVERTISEMENT
“Pertanyaan besarnya adalah apakah virus corona secara langsung menyerang dan membunuh (sel) neuron,” ujar ahli biologi saraf Harvard University, Sandeep Datta, kepada WSJ.
“Tersebar luasnya parosmia merefleksikan fakta bahwa pada beberapa pasien, (sel-sel) neuoran mereka benar-benar mati,” lanjutnya. “Alasan yang paling mungkin adalah (sel-sel) neuron ini dibunuh melalui mekanisme tidak langsung.”
Datta mengungkapkan bahwa tidak dibutuhkan banyak sel yang mati untuk merusak sistem penciuman manusia. Sekitar 350 jenis sel saja yang mati, otak manusia sudah dapat salah mendeteksi bau.
Hingga hari ini, masih banyak pertanyaan yang melingkupi gejala parosmia pada pasien sembuh infeksi corona. Beberapa ilmuwan bahwa mengungkap potensi bahwa parosmia hanyalah sebuah gejala kecil dari sebuah kerusakan sistem saraf yang lebih masif.
ADVERTISEMENT
Ada juga kemungkinan bahwa parosmia justru merupakan pertanda baik bagi pasien corona. Pasien yang mengalami parosmia bisa saja tengah berangsur-angsur sembuh dari SARS-CoV-2.
“Dalam banyak cara, mengidap parosmia dalam kondisi (positif) COVID-19, atau infeksi virus lain pada saluran pernapasan yang dapat menyebabkan kehilangan indera penciuman, sebenarnya adalah sebuah pertanda baik,” kata direktur medis dari University Medical Center, Justin Turner, kepada The Washington Post.
“Karena hal tersebut menunjukkan bahwa (indera penciuman) Anda tengah membuat koneksi-koneksi baru dan Anda tengah memperoleh regenerasi dari jaringan penciuman untuk kembali normal.”
(EDR)