Pandemi Virus Corona: Ketika Dunia Abaikan Riset Ilmuwan

26 Maret 2020 9:15 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Italia berjalan sambil menggunakan masker di tengah ancaman virus corona. Foto: REUTERS/Manuel Silvestri
zoom-in-whitePerbesar
Warga Italia berjalan sambil menggunakan masker di tengah ancaman virus corona. Foto: REUTERS/Manuel Silvestri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Virus corona (SARS-CoV-2) merupakan masalah baru bagi peradaban manusia. Sejauh ini, belum ada vaksin untuk virus yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini, begitu pula dengan obatnya.
ADVERTISEMENT
Meski baru menjadi masalah sejak akhir 2019 lalu, virus corona ternyata telah diprediksi oleh ilmuwan sejak hampir 13 tahun lalu. Tepatnya pada Oktober 2007, ketika penelitian sekelompok ilmuwan dari University of Hong Kong memperingatkan bahwa virus corona (SARS-CoV) yang menyebabkan penyakit SARS pada 2003 lalu, sangat mungkin muncul kembali dengan bentuk baru di masa depan.
Penelitian mereka, yang berjudul "Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus as an Agent of Emerging and Reemerging Infection", dipublikasikan oleh Clinical Microbiology Reviews.
Penelitian ini membahas soal kemungkinan munculnya virus corona jenis baru, yang tampak seperti ramalan yang benar di tahun 2020. Mereka juga meninjau biologi virus dalam kaitannya dengan epidemiologi, presentasi klinis, patogenesis, diagnosis laboratorium, model hewan atau inang, dan pilihan untuk perawatan, imunisasi, dan pengendalian infeksi.
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
Para peneliti menyebut bahwa, pada dasarnya, komunitas medis dan ilmiah telah menunjukkan upaya luar biasa dalam memahami dan mengendalikan SARS dalam waktu singkat. Mereka menyebut bahwa pada saat laporan mereka dibuat, telah ada lebih dari 4.000 publikasi tersedia secara online.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, pada bagian akhir laporan, mereka menaruh satu sub-bab khusus berisi evaluasi kritis dengan judul “Should we be ready for the reemergence of SARS?”. Di bagian tersebut, mereka memaparkan bahwa pengetahuan manusia terhadap virus SARS masih memiliki kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) seperti penularan virus, penyakit yang ditimbulkan pada manusia, hingga prosedur pengendalian infeksi untuk perawatan pasien.
Para peneliti yang terdiri dari Vincent Cheng, Susanna Lau, Patrick Woo dan Kwok Yung Yuen, juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat di China telah menyebabkan meningkatnya permintaan protein hewani, termasuk hewan eksotis. Hewan-hewan liar ini dijual di pasar basah dan sering disimpan di kandang yang terlalu padat, yang memungkinkan virus baru untuk berpindah dari hewan ke manusia.
ADVERTISEMENT
“Virus corona dikenal untuk menjalani rekombinasi genetik, yang dapat menyebabkan genotipe dan wabah baru. Kehadiran reservoir besar virus mirip SARS-CoV pada kelelawar tapal kuda, bersama dengan budaya makan mamalia eksotik di China selatan, adalah bom waktu,” kata mereka.
Suasana di sekitar Rumah Sakit Jinyintan, tempat pasien virus corona di Wuhan, China Foto: REUTERS/Stringer
“Kemungkinan timbulnya kembali SARS dan virus baru lainnya dari hewan atau laboratorium dan karena itu kebutuhan untuk kesiapsiagaan tidak boleh diabaikan,” pungkas kelompok peneliti tersebut.
Sayangnya, apa yang dikhawatirkan peneliti benar terjadi. Bom waktu itu telah meledak pada akhir 2019 lalu, dan sekarang jenis baru dari coronavirus telah menjadi pandemi.
Virus corona sendiri berasal dari Wuhan, China, pada Desember tahun lalu. Sebagian ahli menduga bahwa virus ini muncul dari pasar hewan Wuhan.
ADVERTISEMENT

Dunia setelah virus corona: Saatnya mendengarkan ilmuwan?

Setelah virus corona merebak, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita renungkan: apakah sudah waktunya kita mendengarkan ilmuwan?
Kembali pada Februari 2020, sekelompok peneliti dari  Harvard T.H. Chan School of Public Health membuat sebuah laporan yang berjudul 'Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases'. Dalam laporan tersebut, mereka hendak memprediksi keberadaan virus corona di negara-negara yang belum melaporkan kasus virus corona meski berpotensi telah ada, termasuk Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menggunakan metode penelitian melalui estimasi volume antara Wuhan dengan lokasi di 26 negara lain menggunakan model regresi linier umum. Hasilnya, mereka memprediksi bahwa Indonesia seharusnya telah memiliki kasus virus corona.
ADVERTISEMENT
"Indonesia belum melaporkan satu kasus pun (penularan virus Corona) dan menurut kami, seharusnya sekarang sudah ada beberapa kasus," kata Marc Lipsitch, yang terlibat dalam penelitian, kepada ABC pada Februari 2020.
Indonesia sebelumnya memiliki sejumlah penerbangan dari dan ke Wuhan pada awal Januari lalu. Penelitian mengasumsikan, makin banyak penumpang dari dan ke Wuhan, maka kemungkinan kasus infeksi novel coronavirus bisa terjadi. 
Setelah laporan dari Harvard T.H. Chan School of Public Health mencuat di publik, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun memberikan tanggapannya. Namun, tanggapan yang dia berikan tidak berfokus pada metode penelitian yang digunakan, sebagaimana mestinya laporan ilmiah ditinjau, melainkan menganggap bahwa penelitian tersebut adalah penghinaan.
"Itu namanya menghina itu. Wong peralatan kita kemarin difokuskan dengan Duta Besar AS. Kita menggunakan dari AS," kata Terawan, pada 11 Februari 2020.  "Intinya adalah apa yang sudah kita kerjakan sesuai standar International. Semua sudah dicek."
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto saat forum pimpinan Redaksi terkait isu aktual di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Indonesia sendiri hingga Rabu (25/3), telah melaporkan 790 kasus positif virus corona COVID-19 sejak pertama kali diumumkan pada 2 Maret. Sebanyak 58 orang meninggal, dengan hanya 31 orang yang berhasil sembuh.
ADVERTISEMENT
Catatan tersebut membuat Indonesia memiliki tingkat kematian akibat COVID-19, penyakit akibat virus corona, sebesar 7,34 persen. Catatan itu u ebih besar ketimbang tingkat kematian COVID-19 secara internasional yang berjumlah 4,3 persen.
Menurut laporan Asia Times, sejumlah ahli menganggap bahwa tingkat kematian COVID-19 di Indonesia bisa lebih tinggi dari laporan resmi yang diberikan, mengingat tes yang masih sedikit dilakukan. Indonesia baru memeriksa 3.332 orang terkait virus corona, menurut laporan terbaru dari Kemenkes.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!