Mudik Ternyata Sudah Ada Sejak Kerajaan Majapahit, Ini Sejarahnya

26 April 2022 3:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemudik terjebak macet di Tol Jakarta-Cikampek. Foto:  ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Pemudik terjebak macet di Tol Jakarta-Cikampek. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, umat Muslim di Indonesia atau bahkan dunia berbondong-bondong melakukan mudik alias pulang kampung. Apalagi bagi anak rantau, mudik sudah seperti ritual wajib setahun sekali.
ADVERTISEMENT
Saat pandemi corona, tradisi mudik di Indonesia sempat dilarang. Kini masyarakat sudah diperbolehkan mudik kendati dengan syarat-syarat tertentu, salah satunya wajib vaksin booster.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya kapan tradisi mudik ini ada dan berkembang di Indonesia?
Faktanya, tradisi mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit atau sekitar tahun 1200-an. Waktu itu, Indonesia masih disebut sebagai Nusantara. Istilah mudik juga belum digunakan dalam tradisi pulang kampung tersebut.
Dahulu kala, aktivitas mobilisasi pulang kampung dilakukan oleh beberapa pejabat Majapahit yang berkuasa di luar pusat kerajaan Majapahit. Mereka kembali mengunjungi pusat kerajaan untuk menghadap raja. Momen ini juga dimanfaatkan mereka untuk mengunjungi kampung halaman. Fenomena inilah yang kemudian menjadi cikal bakal mudik.
ADVERTISEMENT
Agus Aris Munandar, Arkeolog Universitas Indonesia menjelaskan, mudik hari raya Idul Fitri juga dilakukan oleh pejabat kerajaan ketika kerajaan Mataram Islam berkuasa pada 1500-an. Mereka sengaja pulang kampung saat lebaran tiba dan mengunjungi keluarga di kampung halaman.
Bangunan kuno Candi Brahu dari kerajaan Majapahit. Foto: Puspa Mawarni168/shutterstock
Istilah mudik baru populer dan digunakan di tahun 1950-an. Masyarakat Jawa mengenal istilah mudik yang berasal dari kata "mulih disik", artinya pulang sejenak atau pulang dulu. Menurut buku berjudul Pertanian dan Kemiskinan di Jawa (2002), tradisi mudik lekat kaitannya dengan kebiasaan petani Jawa yang mengunjungi tanah kelahirannya untuk berziarah ke makam para leluhur.
Bagi mereka, mengunjungi makam leluhur menjadi aspek spiritual penting yang harus dilakukan. Mendoakan leluhur adalah sebuah kewajiban yang perlu mereka tunaikan. Meskipun tradisi berziarah di sini harus dipisahkan dalam kondisi ruang geografis yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Agus, budaya ziarah yang dimiliki masyarakat Jawa itu sebelumnya berasal dari upacara sraddha atau dikenal dengan nyandran. Ini dilakukan pada masa Majapahit setahun sekali di mana orang-orang datang ke candi pendarmaan raja untuk melakukan ritual.
Upacara sraddha inilah menjadi cikal bakal ziarah yang dilakukan masyarakat Jawa di berbagai daerah. Nyandran yang berasal dari upacara tersebut menjadi tradisi pembersihan makam yang dilakukan di pedesaan.
Ilustrasi mudik. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Masyarakat Jawa akhirnya rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk menunaikan kewajiban mereka, yakni mendoakan dan membersihkan makam leluhurnya. Dan dari sini lah istilah 'mulih disik' atau mudik menjadi tradisi di kalangan masyarakat Jawa.
Eksisnya tradisi mudik juga dipengaruhi oleh perpindahan ibukota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Perpindahan ibukota yang diikuti dengan pembangunan besar-besaran, membuat masyarakat ramai melakukan urbanisasi.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, berdasarkan laporan statistik kependudukan tahun 1948-1949, jumlah penduduk Jakarta saat itu hanya berada di angka 800.000 jiwa dan melonjak 1,4 juta jiwa pada tahun 1950-an.
Lonjakan jumlah penduduk ini terjadi karena banyak masyarakat yang memiliki mimpi dan angan-angan besar terhadap kota Jakarta. Mereka berpikir punya proyeksi masa depan yang lebih cerah saat ada di ibukota. Ketika banyak orang yang pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, terdapat momen di mana mereka rindu dengan keluarganya di kampung. Saat itu lah mereka akan melakukan aktivitas mudik.
Seiring berjalannya waktu dan pertumbuhan penduduk di Indonesia makin banyak, maka orang-orang yang melakukan mudik juga makin bertambah. Bahkan, pada 1960-an, pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius pada kegiatan mudik ini. Salah satunya dengan mengaktifkan kembali jalur kereta api pada masa kolonial untuk menampung para pemudik.
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun 1980-an, opsi kendaraan umum untuk mudik semakin bervariatif. Mulai dari pesawat terbang, kereta api, bus, hingga kendaraan pribadi. Daerah-daerah kampung halaman yang jaraknya jauh, tak lagi menjadi masalah besar bagi para pemudik yang berasal dari Jakarta.