SQ- Ilustrasi corona - Cover Story

Dokter Ungkap Obat yang Dipakai Rawat Pasien Positif Corona di Indonesia

23 Maret 2020 7:01 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim medis mengevakuasi pasien menuju Ruang Isolasi Khusus RSUP Dr. Kariadi Semarang saat simulasi penanganan wabah corona. Foto: ANTARA/Aji Styawan
zoom-in-whitePerbesar
Tim medis mengevakuasi pasien menuju Ruang Isolasi Khusus RSUP Dr. Kariadi Semarang saat simulasi penanganan wabah corona. Foto: ANTARA/Aji Styawan
Para ilmuwan kesehatan masih berjibaku menemukan vaksin dan obat untuk mengakhiri wabah virus corona. Begitu pula para tenaga medis yang sedang berjuang menyembuhkan para pasien yang terpapar virus corona jenis baru penyebab penyakit COVID-19 yang menyerang sistem pernapasan itu.
Dari penuturan seorang dokter spesialis penyakit paru yang juga terlibat dalam penanganan pasien positif coronavirus, terungkap bagaimana perawatan COVID-19 di Indonesia yang diberikan oleh tenaga medis selama ini.
Prof. Dr. dr. Faisal Yunus, Sp.P (K), FCCP yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menjelaskan, ada beberapa treatment atau jenis perawatan yang diberikan kepada pasien COVID-19.
Faisal mengaku, salah satu tindakan suportif yang dilakukan tim medis adalah pemberian obat yang dulunya pernah digunakan untuk menangani wabah penyakit sebelum kemunculan SARS-CoV-2.
“Kita memberikan oseltamivir, obat yang juga digunakan untuk kasus flu burung,” ujarnya saat dihubungi kumparanSAINS, Minggu (22/3).
Sebagaimana diketahui, perhatian dunia kesehatan juga pernah tersita dengan merebaknya wabah flu burung yang disebabkan virus influenza H5N1. Penyakit itu menghampiri Indonesia pada 2005 silam.
Oseltamivir (tamiflu) merupakan jenis obat antiviral yang dipakai dalam pengobatan influenza. Dalam riset berjudul Avian Influenza A (H5N1): Patogenesis, Pencegahan dan Penyebaran pada Manusia, peneliti Maksum Radji menjelaskan bahwa oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase yang gunanya untuk menghentikan replikasi virus.
Tim medis mengevakuasi pasien saat simulasi penanganan wabah corona di Semarang Kamis (30/1). Foto: ANTARA/Aji Styawan
Juru bicara penanganan virus corona di Indonesia, Achmad Yurianto, pernah memaparkan beberapa gejala klinis dialami para pasien COVID-19 di Indonesia. Gejala awal yang timbul umumnya meliputi demam, batuk dan pilek.
Yurianto mengimbuhkan, apabila gejala klinis yang ringan tersebut terlambat ditangani, maka akan berkembang menjadi berat karena pasien mengalami kesulitan bernapas, yakni ditandai dengan munculnya pneumonia.
Pneumonia, seperti yang dijelaskan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), merupakan infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur, pajanan bahan kimia, atau kerusakan fisik paru.
Beda Gejala Corona, Influenza, dan Selesma. Foto: Andrifarifin/kumparan.
Menurut penjelasan Faisal, untuk para pasien COVID-19 yang menderita pneumonia, intervensi medis yang dilakukan ialah dengan memberikan antibiotik. Selain oseltamivir dan antibiotik, pasien COVID-19 juga mengonsumsi vitamin C dosis tinggi dengan pengawasan dokter.
“Kita juga memberikan obat-obat lain kalau diperlukan. Misalnya kalau ada gangguan hati, kita berikan hepatoprotector,” imbuhnya.
Dari situs resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diketahui bahwa hepatoprotektor merupakan suatu senyawa obat yang dapat memberikan perlindungan pada hati dari kerusakan yang ditimbulkan oleh racun, obat atau virus.
Coronavirus. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan

Terapi menggunakan klorokuin juga dilakukan

Yang menarik, Faisal mengungkapkan bahwa penggunaan obat klorokuin yang sempat mengundang kontroversi itu juga telah diterapkan tim medis di Indonesia untuk merawat pasien positif coronavirus.
“Kita juga menggunakan klorokuin,” kata Faisal.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi telah membocorkan bahwa akan ada dua obat yang disiapkan untuk mengobati pasien COVID-19, yakni avigan dan klorokuin.
Klorokuin. Foto: Shutterstock
Klorokuin sendiri dikenal sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit malaria. Penggunaan obat yang telah teruji aman secara klinis ini tetap harus dengan resep dan pengawasan dari dokter.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran, Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt. menjelaskan bahwa di dunia medis, obat yang sedianya diproduksi untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu, bisa pula digunakan sebagai terapi untuk jenis penyakit lain. Hal itu, menurutnya, sudah jamak dijumpai dan dikenal dengan istilah repurposing drug.
Di dunia internasional, penggunaan klorokuin untuk mengatasi COVID-19 mendapat sorotan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA). FDA menyatakan klorokuin belum disetujui untuk mengobati virus corona.
Pada akhirnya penggunaan klorokuin secara legal tetap diizinkan apabila pasien virus corona memang menghendakinya. Hanya saja, menurut FDA, belum ada bukti yang mengungkap soal keamanan dan keefektifan klorokuin menangkal coronavirus.
Di sisi lain, Faisal menjelaskan alasan di balik penggunaan klorokuin dalam pengobatan COVID-19. “Karena klorokuin ini ada beberapa percobaan yang memberikan hasil jadi kita coba,” sebut dokter berusia 67 tahun itu.
Menyinggung soal pernyataan Faisal terkait beberapa riset ilmiah tentang efektivitas klorokuin, memang tak sedikit literasi medis yang sudah membahasnya.
Salah satunya bisa dijumpai dari hasil penelitian terbatas yang digarap oleh peneliti di Prancis terhadap 24 pasien positif COVID-19. Dalam riset klorokuin diklaim dapat mempercepat proses pemulihan.
Selanjutnya, hasil riset awal dari Korea Selatan dan China juga menunjukkan efektivitas klorokuin dalam penanganan virus corona COVID-19.
Ada pula penelitian diinisiasi oleh Manli Wang, ahli virologi dari Chinese Academy of Sciences. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klorokuin berhasil menghentikan penyebaran virus corona COVID-19 dalam sel manusia.
Sementara hasil sebuah riset yang dipublikasikan dalam Jurnal BioScience Trends menemukan bahwa pemberian klorokuin mampu meredakan pneumonia, meningkatkan fungsi paru, mempercepat konversi negatif infeksi virus, dan mempersingkat waktu gejala infeksi. Studi ini telah dilangsungkan di 10 rumah sakit yang tersebar di beberapa kota di China, termasuk Wuhan, Jingzhou, Guangzhou, Beijing, Shanghai, dan Chongqing.
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock

Tingkat keberhasilan klorokuin bergantung pada kondisi pasien

Berdasarkan pengalamannya dalam menangani pasien positif virus corona menggunakan terapi klorokuin, Faisal menyebut tingkat keberhasilan obat tersebut sangat bergantung pada kondisi sang pasien.
“Ada yang baik, ada juga yang tidak memberikan hasil,” paparnya. Yang dimaksud Faisal apabila seorang pasien terinfeksi virus corona dengan gejala klinis yang ringan, terpai klorokuin yang diberikan bisa bekerja dengan baik untuk pemulihan.
Sebaliknya, apabila si pasien datang dengan gejala klinis yang berat, kecil kemungkinan obat tersebut bisa menunjukkan efektivitasnya.
Faisal memperjelas, kondisi pasien dengan gejala ringan merujuk pada seseorang yang tidak menderita sesak napas, dirawat dalam kondisi paru yang baik dan si pasien masih dalam keadaan sadar.
“Tapi kalau flek parunya sudah luas, orangnya udah enggak sadar, pergerakannya juga terbatas nah itu berat,” ujarnya.
Terhitung sejak Presiden Jokowi mengumumkan pasien pertama yang terinfeksi virus corona pada 2 Maret 2020 lalu, saat itu pula Indonesia menjadi salah satu dari 156 negara yang dilanda wabah COVID-19. Kurang dari sebulan, wabah mematikan itu telah merenggut 48 korban jiwa di Tanah Air.
Berdasarkan rilis resmi dari Kemenkes per Minggu (22/3), virus corona jenis baru yang diberi nama SARS-CoV-2 itu telah menjangkiti 514 orang. Dari mereka, ada 29 orang yang berhasil menaklukkannya dan dinyatakan pulih.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten