Cerita Staf Pos Pengamatan Anak Krakatau di Malam Tsunami Selat Sunda

29 Desember 2018 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Windi Cahya Untung, Staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG. (Foto: Sayid Mulki Razqa/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Windi Cahya Untung, Staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG. (Foto: Sayid Mulki Razqa/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Mendengar gelombangnya itu sangat seram. Kalau tinggi gelombangnya tidak begitu tinggi di sini."
ADVERTISEMENT
Begitulah penuturan Windi Cahya Untung, Staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG, yang bertugas mengawasi dan mengamati Gunung Anak Krakatau di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau Pasauran, Banten, saat terjadinya tsunami yang menerjang kawasan Anyer, Sabtu (22/12).
Ia bercerita, saat itu ia tidak sendiri, ada seorang tukang bangunan di tempatnya bertugas yang sedang mengerjakan renovasi.
Windi mengatakan pada malam itu, setelah kejadian tsunami, pos yang berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai itu mendadak ramai oleh beberapa mobil dan pengendaranya yang berusaha menyelamatkan diri.
"Waktu itu air cuma sampai ke jalan di depan tidak sampai ke sini (pos). Kebetulan waktu itu banyak yang lewat dan Alhamdulillah di sini memang tidak besar (gelombang) jadi mereka langsung pada naik ke sini. Ada beberapa mobil, pokoknya parkir sampai panjang ke bawah lah," kata Windi, saat ditemui kumparan, Jumat (28/12).
Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Serang, Banten (Foto: Sayid Mulki/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Serang, Banten (Foto: Sayid Mulki/kumparan)
Keberadaan pos yang berada di ketinggian sekitar 30 meter di atas permukaan laut itu mudah diakses dari Jalan Raya Anyer-Sirih sehingga membuat banyak orang yang memilih ke sana untuk menanti situasi menjadi lebih tenang dan aman.
ADVERTISEMENT
"Sampai jam 5 pagi mereka menunggu di sini. Ada juga orang yang mobilnya terbalik karena gelombang yang mengungsi ke sini," tutur Windi.
Uniknya setelah tsunami terjadi, cuaca cerah di daerah pos pemantauan itu mendadak berubah menjadi berawan, diikuti oleh hujan dan angin cukup kencang. Padahal, Windi menjelaskan, sebelum kejadian cuaca di sana cukup kondusif.
"Sebelum kejadian tsunami cuacanya cerah juga Bulannya kelihatan indah, pokoknya cocok untuk jalan-jalan lah," kata Windi. "Heran kita yang tadinya cuaca cerah bisa berubah drastis begitu."
Windi menjelaskan bahwa berdasarkan rekaman seismogram di pos, sejak September sampai di hari kejadian, tidak ada yang mencurigakan. Namun sejak Jumat (21/12), suara dentuman dari Gunung Anak Krakatau sudah mulai terdengar.
Papan penunjuk jalan ke Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Serang, Banten (Foto: Sayid Mulki/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Papan penunjuk jalan ke Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Serang, Banten (Foto: Sayid Mulki/kumparan)
"Sejak hari Jumat sore tanggal 21 Desember, ada peningkatan untuk tremornya Anak Gunung Krakatau dengan amplitudo maksimal 15 sampai 20 mili. Di hari Sabtu-nya dari sejak pagi sampai malam itu Anak Krakatau sudah tremor menerus," kata Windi.
ADVERTISEMENT
Selain suara dentuman erupsi Gunung Anak Krakatau, Windi mengaku mendengar suara datangnya gelombang tsunami pada Sbatu (22/12) malam. Menurutnya suara gelombang tsunami yang datang itu mirip gemuruh yang kencang.
Sepanjang malam itu dia tidak tidur. Windi berbincang dengan para tamunya sambil mengamati aktivitas Gunung Anak Krakatau. Saat Matahari terbit ia mengamati wilayah sekeliling sambil terus berkomunikasi dengan timnya.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Jumat (28/12), jumlah korban meninggal akibat tsunami Selat Sunda mencapai 426 orang, sementara untuk korban luka-luka 7.202 orang, dan 23 orang masih dinyatakan hilang.