14.000 Ilmuwan: Krisis Iklim di Depan Mata, Jangan Abai Jika Tak Mau Celaka

29 Juli 2021 13:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Unjuk rasa perubahan iklim dunia di Jenewa, Swiss. Foto:  REUTERS/Denis Balibouse
zoom-in-whitePerbesar
Unjuk rasa perubahan iklim dunia di Jenewa, Swiss. Foto: REUTERS/Denis Balibouse
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 boleh jadi masalah yang cukup pelik bagi masyarakat global saat ini. Namun jangan lupa, ada ribuan ilmuwan mencoba mengingatkan, bahwa ada masalah lain yang lebih besar menanti di depan mata kita: krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Pada Rabu (28/7), lebih dari 14.000 ilmuwan di seluruh dunia menandatangani artikel di jurnal BioScience yang menyatakan bahwa Bumi sedang mengalami darurat perubahan iklim. Mereka mengingatkan bahwa “penderitaan yang tak terhingga” menanti jika kita terus-terusan gagal mencegah “eksploitasi Bumi secara berlebihan.”
Para peneliti sebenarnya telah mencatat lonjakan bencana terkait krisis iklim “yang belum pernah terjadi sebelumnya” sejak 2019. Bencana-bencana ini termasuk banjir di Amerika Selatan dan Asia Tenggara, rekor gelombang panas dan kebakaran hutan di Australia dan AS, dan angin topan yang menghancurkan di Afrika dan Asia Selatan.
Dalam penelitian mereka, para ilmuwan mengandalkan "tanda-tanda vital" untuk mengukur kesehatan Bumi, termasuk deforestasi, emisi gas rumah kaca, ketebalan gletser dan luasan es laut, dan deforestasi. Dari 31 tanda tersebut, mereka menemukan bahwa 18 diantaranya telah mencapai rekor tertinggi atau terendah.
Kekeringan akibat perubahan iklim di Danau Poopo, Departemen Oruro, Bolivia. Foto: Reuters/David Mercado
Salah satu contoh tanda vital krisis iklim yang disampaikan peneliti adalah peningkatan polusi di Bumi. Meskipun ada penurunan polusi terkait dengan pandemi COVID-19, tingkat karbon dioksida dan metana di atmosfer Bumi mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Para peneliti juga mencatat bahwa Greenland dan Antartika baru-baru ini menunjukkan tingkat massa es yang rendah sepanjang masa. Gletser di sana mencair 31 persen lebih cepat daripada yang terjadi hanya 15 tahun yang lalu, kata para penulis. Suhu dan permukaan laut global pun mencatat rekor baru sejak 2019.
Para ilmuwan juga mencatat bahwa tingkat deforestasi tahunan di Amazon, Brasil mencapai level tertinggi selama 12 tahun terakhir pada 2020. Para peneliti mengatakan hilangnya hutan secara besar-besaran ini terkait dengan kebakaran, kekeringan dan penebangan.
Pada gilirannya, kerusakan hutan ini menyebabkan Amazon sekarang bertindak sebagai sumber karbon, alih-alih menyerap gas dari atmosfer.
Es Gletser Thwaites Antartika Foto: International Thwaites Glacier Collaboration

Akar masalah krisis iklim Bumi

Dalam laporannya, para peneliti mengatakan ada “bukti yang meningkat bahwa kita sedang mendekati atau telah melewati” sejumlah titik kritis iklim. Ini termasuk pencairan lapisan es Greenland dan Antartika Barat, yang sekarang mungkin tidak dapat diubah dalam waktu berabad-abad ke depan, terlepas dari bagaimana atau jika umat manusia memangkas emisinya.
ADVERTISEMENT
Peneliti mengatakan bahwa peningkatan deoksigenasi laut dan pemanasan air mengancam terumbu karang air hangat, di mana setengah miliar orang bergantung untuk makanan, pendapatan dan perlindungan badai.
Menurut peneliti, akar masalah dari krisis iklim yang tengah kita hadapi ini adalah “eksploitasi Bumi secara berlebihan.”
“Kita perlu menanggapi bukti bahwa kita mencapai titik kritis iklim dengan tindakan yang sama mendesaknya untuk mendekarbonisasi ekonomi global dan mulai memulihkan alih-alih merusak alam,” kata Tim Lenton, direktur Global Systems Institute University of Exeter sekaligus anggota penulis studi, dikutip AlJazeera.
“Mengingat perkembangan yang mengkhawatirkan ini, kami membutuhkan pembaruan singkat, sering, dan mudah diakses tentang darurat iklim.”
Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Para ilmuwan mengulangi saran yang telah mereka sampaikan sebelumnya agar kita melakukan perubahan transformatif di enam bidang, yakni: menghilangkan bahan bakar fosil, memangkas polutan, memulihkan ekosistem, beralih ke pola makan nabati, menjauh dari model pertumbuhan tak terbatas dan menstabilkan populasi manusia.
ADVERTISEMENT
Mereka juga menyerukan pendidikan perubahan iklim untuk dimasukkan dalam kurikulum inti di sekolah secara global untuk meningkatkan kesadaran akan masalah krisis iklim.
“Kita perlu berhenti memperlakukan darurat iklim sebagai masalah yang berdiri sendiri – pemanasan global bukanlah satu-satunya gejala dari sistem Bumi kita yang tertekan,” tegas William Ripple, profesor ekologi terkemuka di College of Forestry Oregon State University sekaligus penulis utama studi.
“Kebijakan untuk memerangi krisis iklim atau gejala lainnya harus mengatasi akar penyebabnya: eksploitasi berlebihan manusia terhadap planet ini. Kita perlu dengan cepat mengubah cara kita melakukan sesuatu, dan kebijakan iklim baru harus menjadi bagian dari rencana pemulihan COVID-19 sedapat mungkin.”