Pakar soal Tabrakan di Bahu Jalan Tol: Bukti Pengemudi Indonesia Tak Empati

8 Mei 2024 6:00 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
Fortuner berpelat Polri 7 - VIII yang menyebabkan kecelakaan di Tol MBZ usai ngebut di bahu jalan.  Foto: Dok: Instagram @dashcam_owners_indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Fortuner berpelat Polri 7 - VIII yang menyebabkan kecelakaan di Tol MBZ usai ngebut di bahu jalan. Foto: Dok: Instagram @dashcam_owners_indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendiri sekaligus pakar Instruktur Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC) Jusri Pulubuhu menyoroti kasus kecelakaan Toyota Fortuner yang dikemudikan anggota polisi akibat melintas di bahu jalan tol layang MBZ dengan kecepatan tinggi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kasus kecelakaan yang kerap terjadi di bahu jalan tol hanya semakin memperkuat bukti bahwa banyak pengemudi di Indonesia tidak kompeten hingga nirempati.
"Tetapi pada dasarnya perilaku penggunaan bahu jalan sebagai lajur cepat ini sudah seperti suatu budaya saya rasa, karena peristiwa seperti ini tidak terjadi satu dua kali. Banyak yang melakukannya," buka Jusri dihubungi kumparan, Selasa (7/5).
Jusri menambahkan, selama ini persepsi masyarakat Indonesia soal mengemudi adalah mengedepankan aspek keterampilan saja. Padahal, masih ada aspek lainnya yang perlu diperhatikan dan diterapkan.
Sejumlah kendaraan pemudik melintas di Jalan Tol Jakarta-Cikampek di Kabupaten Karawang , Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
"Berbicara konteks mengemudi ada yang namanya keterampilan, kemudian legalitas, lalu pengetahuan, dan keempat adalah kemampuan empati. Keempat ini dibutuhkan secara bersamaan," imbuhnya.
Bila salah satu aspek tersebut tidak diterapkan, Jusri bilang jangan heran kalau tak sedikit pengendara mobil di dalam negeri yang bertindak arogan atau melakukan bentuk pelanggaran aturan lalu lintas lainnya.
ADVERTISEMENT
"Pertama, menurut saya tidak mungkin para pengemudi ini tidak tahu mengenai larangan menggunakan bahu jalan, semuanya pasti tahu. Orang yang melakukan ini juga tidak memandang status atau profil, dari masyarakat sipil hingga aparatur negara," paparnya.
Sebab, mahir berkendara dalam hal ini keterampilan, terkadang tidak disertai dengan pengetahuan tentang aturan lalu lintas hingga rasa empati seperti mengukur potensi dampak yang bisa ditimbulkan bila berkendara secara tidak tepat.
"Pengemudi di Indonesia itu hampir semua hanya sebatas tahu itu dilarang. Tetapi tidak pernah paham apa yang menjadikan jalur itu atau sesuatu hal menjadi dilarang atau tidak boleh dilakukan. Mereka tahu, tapi tidak paham. Ini kan menjadi indikator bahwasanya pemahaman tentang tata tertib berlalu lintas itu tidak dimiliki sebagian besar masyarakat kita, ini fakta," kata Jusri.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, Jusri mengungkapkan, karakter mengemudi seperti yang dijelaskannya, tidak melulu terjadi di masyarakat biasa atau sipil. Melainkan, bisa dilakukan oleh anggota atau aparat instansi tertentu seperti kepolisian seperti pada kasus yang baru-baru ini terjadi.
"Artinya, ternyata biarpun itu anggota (polisi) tidak jaminan mengerti dan paham (mengemudi dengan benar). Ironis karena mereka yang harusnya punya peran mensosialisasi dan menegakkan aturan, tapi oknumnya sendiri tidak terjaga," pungkasnya.
***