Lipsus- Reshuffle Kabinet Jokowi- Kepala BRIN

Wawancara Eksklusif Kepala BRIN: Kami Tak Beri Uang ke Riset Swasta

3 Mei 2021 9:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Laksana Tri Handoko menyita perhatian publik. Ia dipilih Presiden Jokowi memimpin Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang akhirnya dilepas dari Kemenristek untuk menjadi badan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah dilantik, Laksana menerima kunjungan kumparan di kantor LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Ia bercerita panjang lebar soal visinya untuk BRIN, target prioritas, hingga polemik faktor PDIP di balik kelahiran BRIN.
Berikut wawancara eksklusif kumparan dengan Laksana:
Kapan Anda dipanggil Presiden Jokowi dan diberi tahu menjabat Kepala BRIN?
Dipanggil hari Selasa (27/4) atau sehari sebelum pelantikan. Siang jelang sore, pukul 15.00 WIB, di Istana Merdeka.
Apa yang disampaikan Presiden?
Pak Presiden menyampaikan: “Kamu kami minta untuk menjadi Kepala BRIN.” Beliau kemudian memberikan arahan tentang apa yang kira-kira perlu dilakukan.
Apa saja arahan Presiden?
Pertama, tujuan BRIN konsolidasi lembaga riset pemerintah, khususnya anggaran dan SDM. Kedua, fokus supaya (soal riset larinya) tidak ke mana-mana, menghindari tumpang tindih. Ketiga, fokus ke apa yang kita miliki; (aset kita yang) punya competitiveness lebih tinggi, misalnya riset terkait biodiversity.
ADVERTISEMENT
Biodiversity ini sudah ada local competitiveness-nya. Jadi lebih mudah untuk berkompetisi dan bisa langsung memberi dampak ekonomi. Karena tujuan akhirnya itu—tentu dengan tidak menghilangkan sisi teknologi dan sebagaianya.
Jadi, fokus arahan Presiden itu: riset ujungnya ekonomi; dan salah satu tulang punggungnya biodiversity?
Ya, biodiversity itu yang besar—fokus yang diharapkan menjadi lokomotif. Karena negara kita ini sudah mega-biodiversitas. Di situ, kita tidak hanya melakukan riset dan menghasilkan inovasi, tapi juga nilai ekonomi. Misalnya, Kebun Raya punya platform riset dan juga berdampak ekonomi tinggi.
Anda langsung mengiyakan ketika diminta jadi Kepala BRIN?
Ya, saya cobalah. Sudah tanggung juga, kan. Kita sudah mentransformasi LIPI sedemikian besar tiga tahun terakhir (selama saya di LIPI). Meskipun LIPI (lembaga penelitian) yang paling besar, tapi kalau (manfaatnya) bisa digunakan ke yang lain menurut saya itu bisa menyelesaikan masalah fundamental riset di negara ini dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Jadi, ya saya bilang “bismillah” aja, saya coba.
Bagaimana respons Pak Jokowi?
Katanya, “Ya memang berat, sih (tugasnya).” Ya iya, tapi dengan dukungan Presiden dan menteri-menteri lain—karena ini terkait banyak kementerian dan lembaga—ya mau enggak mau (saya terima amanahnya).
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Apa tugas dan kewenangan BRIN?
Simpelnya, BRIN itu lembaga riset pemerintah. Sudah titik, satu-satunya. Negara itu perlu banyak lembaga riset, tapi lembaga riset pemerintah enggak boleh banyak-banyak (sambil tertawa). Yang banyak itu harus swasta. Itu baru negara maju.
Lembaga riset pemerintah itu nantinya akan fokus untuk fasilitasi. Kemudian melakukan riset-riset yang sifatnya advanced, frontier yang jangka panjang, yang tidak mungkin swasta akan masuk. Tapi itu penting untuk aset pengetahuan negara ini sehingga kita tidak akan terus ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Termasuk riset soal COVID-19?
Ini contoh ya. Kenapa riset COVID kita agak lambat? Karena kan kita aset pengetahuannya kurang dibandingkan negara lain yang sudah siap, yang mereka sudah bolak-balik bikin vaksin misalnya. Kalau bisa, semua bisa. Tapi kalau riset kan tidak hanya cukup bisa, harus excellent.
Itu pentingnya lembaga riset pemerintah. Tapi yang harus lebih banyak itu yang swasta. Jadi swasta ada 1000, pemerintah satu, cukup. Satu tapi dia gede. Di kita yang kurang kan swasta karena memang tidak mudah menjadi industri sekaligus riset, itu bukan hal yang mudah. Riset itu kan lebih jangka panjang begitu, tidak bisa langsung.
Nah di situ peran pemerintah menjadi enabler supaya swasta mudah melakukan riset.
ADVERTISEMENT
Jadi ada riset yang digarap BRIN, ada yang oleh swasta?
Ya kita nggak usah bagi-bagi. Itu akan secara alami terbagi. Karena swasta kan sudah punya apa ya, intinya kita akan membuka fasilitas untuk swasta, habis itu swasta bawa ide apa aja, dia secepatnya, kan enggak masalah ya.
Anggaran riset akan dibiayai negara atau swasta?
Oh tidak. Kalau mekanisme yang saya bangun selama ini itu kita tidak memberikan cash money ke swasta. Yang kita berikan itu fasilitasi. Manusianya, alatnya. Itu yang mahal lho ya. Dan kalau swasta suruh membiayai itu, suruh punya orang sendiri, lab sendiri kan mahal. Karena bayar orang kan bayar tiap bulan, tapi hasilnya belum tentu ada.
Teman-teman periset di BRIN itu akan memiliki dampak yang bagus. Karena dia akan dapat banyak inspirasi dari swasta. Itu yang terjadi di negara lain. Itulah best practises di negara lain.
ADVERTISEMENT
Jadi jangan kasih kasih uang ke swasta. Karena nanti kita enggak tahu swastanya ini mau beneran punya niat riset atau niat cari proyek saja.
Berarti riset COVID-19 yang sudah berjalan sekarang, misalnya Vaksin Merah Putih yang ditangani Kemenkes dan Kemristek, akan diambil alih BRIN?
Ya, otomatis.
BRIN yang menggarap sendiri atau akan melibatkan swasta?
Kalau riset yang sifatnya aplikatif yang sudah dalam product development itu harus ada swasta. Tapi kalau swastanya belum sanggup melakukan sendiri ya bareng-bareng.
Swasta itu membawa insight yang berbeda. Karena dia tahu pasarnya, kalau periset kan mikir-mikir sendiri dari sisi dia. Sehingga itu yang terjadi selama ini. "Kok produk risetnya susah sampai ke swasta, enggak ada swasta yang mau ngambil?" Lha wong mikir-mikir sendiri, karep-karepnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Mana bisa swasta dipaksa suruh ngambil. Kalau itu mau dikomersialisasi, maka harus mengajak yang mau komersialisasi.
Peneliti mengamati ekstrak bahan alam untuk imunomodulator (peningkat imun tubuh) bagi pasien COVID-19 di Laboratorium Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA - ANTARA FOTO
Sistem pembagian keuntungan seperti apa antara BRIN dan swasta?
Kalau mekanisme kita terapkan dan itu di global juga sama. Yang selama ini di LIPI, itu basisnya lisensi. Makanya kalo di LIPI itu clear. Output periset itu clear dan mereka berhenti sampai di situ.
Kalau yang sains murni itu berhenti di jurnal yang memang bereputasi tinggi sehingga memiliki dampak yang luas di ilmu itu. Kalau yang aplikatif misalnya berhenti di paten. Nah, dari paten itulah nanti ada lagi proses yang sama swasta ini. Tapi penelitinya enggak perlu ikut.
Nah nanti ada lisensi. Dari bagian lisensi itu penelitinya dapat royalti. Ya kalau di LIPI selama ini dapat 40%. Misalnya tim yang membuat ventilator, yang LIPI itu, dari tiga bulan penjualan saja hampir dapat Rp1 miliar itu. Dan itu kita berikan hak ke penelitinya.
ADVERTISEMENT
Mekanisme ini akan terjadi di BRIN?
Persis.
Litbang kementerian akan dipusatkan di BRIN?
Ya itu yang saya sampaikan sebagai konsolidasi tadi. Nah itu yang sekarang tim transisi kita akan segera mendiskusikan dalam minggu ini, dan harus segera kita eksekusi bersama dengan tim KemenPANRB dan Kemenkeu.
Litbang kementerian akan pindah atau programnya diambil alih BRIN?
Enggak, sebenarnya mereka tetap di sana saja tak masalah, wong itu juga punya negara kan? Kita juga punya negara, sana juga punya negara. Ya tinggal ganti logo aja.
Litbang kementerian pakai logo BRIN?
Iya. Sama anggaran dan programnya ditarik, gitu saja. Cuma detailnya nanti setelah dengan KemenPANRB.
Usulannya banyak mekanisme. Tapi kurang lebih intinya konsolidasi. Cuma, skema dan mekanisme konsolidasinya seperti apa, nah itu yang masih kami diskusikan.
ADVERTISEMENT
Jadi nanti riset COVID-19 atau pangan nanti ditarik semua ke BRIN?
Ya kalau riset semua di BRIN, otomatis. Karena undang-undangnya menyatakan begitu, jadi kita kan hanya ngikutin aja. Da ya memang itu yang terbaiklah, supaya tidak diecer-ecer. Ini kan problemnya itu, yang selalu Pak Jokowi sampaikan dan Bu Menteri Keuangan juga.
Bagaimana nasib badan lain seperti LIPI dan BPPT?
Kalau sesuai regulasi yang ada, dan juga dari Presiden, ya memang dilebur. Kalau sesuai ininya ya empat itu.
BPPT, LIPI, LAPAN, sama BATAN?
Iya.
Bentuk peleburannya seperti apa? Lembaga ini akan menjadi kedeputian?
Kita masih diskusikan dengan Kementerian PANRB karena kan kita harus melakukan mitigasi juga. Ya, plus-minusnya lah ya, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek itu karena regulasi terkait lembaga pemerintah itu kan ada berbagai aspek ya. Ada regulasi keuangan, ada gaji pegawai, anggaran dari programnya dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Struktur kedeputian BRIN seperti apa?
Kita berusaha untuk tidak terlalu gemuk sebenarnya. Gemuk atau tidak itu tergantung proses bisnis yang mau dibangun.
Jadi kita itu tidak bicara soal organisasinya dulu, tapi bicara proses bisnis. Proses bisnisnya apa sih? Apa yang mau dibangun, model prosesnya itu seperti apa?
Apakah BRIN itu menjadi handling agency yang mengelola APBN untuk didistribusikan berbasis proposal ke para periset, atau BRIN jadi seperti LIPI, BPPT, dan lain-lain sekarang, menjadi pelaksana riset.
Bakal ada berapa deputi?
Ya mungkin hanya tujuh lah. Maksimal tujuh lah, kalau 12 itu kebanyakan. Nanti kebanyakan yang ngatur kan pusing.
Gedung Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia. Foto: Shutter Stock
Basis pembagian deputi apa?
Masih harus kami diskusikan. Itu ada banyak opsi, tetapi bisa juga kita tidak berbasis bidang supaya lebih luas kan. Misalnya deputi riset, deputi inovasi, deputi sumber daya riset. Lalu, yang mengelola infrastruktur. Kalau di LIPI, pusat riset itu enggak punya infrastruktur. Dan itu akan saya lakukan di BRIN karena kalau infrastruktur didistribusikan itu sama dengan ngecer-ngecer sumber daya lagi nanti. Dan mereka tidak akan sanggup mengelola itu.
ADVERTISEMENT
Jadi lebih condong berbasis fungsi?
Yang berbasis fungsi bukan berbasis judul ya, bukan berbasis bidangnya. Karena bidang bisa berubah masalahnya.
Proses transisi badan baru biasanya lama?
Nggak. Tidak bisa itu tiga tahun. Kelamaan. Kalau 4 LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) ini harus tahun ini selesai. Tahun ini selesai itu maksudnya 1 Januari 2022 sudah running dengan anggaran BRIN sendiri. Eksekusi program BRIN sendiri 1 Januari 2022. Karena sesuai periode anggaran kan?
BRIN akan memiliki Dewan Pengarah?
Ya, akan ada Dewan Pengarah.
Apa urgensi Dewan Pengarah BRIN?
Dewan Pengarah itu ada di UU Sisnas Iptek dan di Perpres juga ada. Kalau saya bicara filosofi dasarnya, itu tertulis di Undang-undangnya, bahwa negara ini harus berlandaskan ideologi Pancasila itu semua orang sudah tahu ya.
ADVERTISEMENT
Tapi ada yang paradigma sekarang, tambahannya adalah satu lagi bahwa negara ini sebaiknya juga dikelola, bukan ideologi tapi berbasis pada ilmu pengetahuan. Jadi science-based policy.
Nah, riset dan pengetahuan itu tidak ada batas kan? Bisa ke mana-mana. Bisa ke arah yang sama sekali berbeda. Bisa bikin bom nuklir, bisa bikin kloning manusia. Nah, dalam konteks untuk menjaga supaya pengetahuan ini tidak keluar dari ideologi Pancasila, karena dalam ideologi Pancasila ada masalah Ketuhanan juga, ada norma agama kan, otomatis sebagai berbagai turunannya. Makanya ada Dewan Pengarah.
Yang dalam konteks itu turut menjaga dari sisi eksternal. Kalo peneliti kan suka lupa, misalnya semangat kloning-kloning. Secara teori itu bisa dilakukan masalahnya. Tapi norma kita yang basisnya adalah ideologi tadi, kan mungkin tidak memperbolehkan itu.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Di semua negara tidak ada yang mengatur sains. Tidak mungkin, karena sains itu self-regulated, yang ngatur itu komunitas. Makanya dia diatur oleh etika. Setiap aktivitas riset itu kan ada komisi etik. Komisi etik setiap negara juga ada khususnya yang subjeknya manusia dan makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Nah komisi etik itu sangat subjektif karena berbasis pada norma, tataran hukum, ideologi di setiap negara. Bisa jadi komisi etik di suatu negara meloloskan kloning manusia. Tapi kalau di Indonesia kan tidak mungkin, misalnya.
Itu konteks sebenarnya Dewan Pengarah dalam BRIN itu. Mengapa itu ex officio Dewan Pengarah BPIP.
Mengapa harus ex officio?
Konteksnya itu tadi, yang menjaga ideologi bangsa ini kan secara hukum di negara ini kan BPIP. Jadi ya otomatis, ya sudah ex officio saja. Kira-kira begitu filosofi yang saya pahami ya.
Ketua Dewan Pengarah BPIP akan jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN?
Persis.
Megawati Soekarnoputri?
Ya kalau sekarang. Tapi kan itu bukan orangnya kan, ex officio jabatannya.
Selanjutnya kalau Megawati tak lagi jadi Ketua Dewan Pengarah BPIP, akan ganti orang?
ADVERTISEMENT
Iya, kan tidak ditulis nama.
Pemilihan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN dinilai politis?
Saya bukan orang politik ya. Saya tidak melihatnya begitu. Kalau bahwa itu kebetulannya ada Bu Mega itu hanya dampak sampingan. Karena kebetulan memang Bu Mega Ketua Dewan Pengarah BPIP.
Tetapi kalau ranah politik, partai politik kan membawa ideologi, itu otomatis dong ya. Bahwa ideologi yang dibawa itu bagaimana membawa ide awal dulu, Bung Karno tahun 1960-an yang saya pahami bahwa ya itu tadi, negara ini berlandaskan Pancasila. Dan pada sisi lain, negara ini harus diatur dan dikelola berbasis pada ilmu pengetahuan. Kalau istilah 60-an begitu. Ada bukunya itu. Nah itu yang sebenarnya dibawa oleh teman-teman di PDIP.
ADVERTISEMENT
BRIN dikhawatirkan jadi tempat eksploitasi satu partai?
Lah ini kan lembaga pemerintah biasa, lembaga eksekutif ya. Kita juga bukan underbow partai. Apakah ini dibentuk karena asal muasalnya PDIP yang memiliki ideologi dan semangat untuk memperkuat ideologi Pancasila, memperkuat kebijakan berbasis ilmu pengetahuan, ya itu kan masalah yang lain.
Tapi realitanya sudah diputuskan di UU Sisnas IPTEK, tentu tidak hanya PDIP yang saya pahami ya. Jadi saya tidak melihat itu.
Pernah bertemu Megawati membahas BRIN?
Dalam proses pembentukan BRIN, saya tidak pernah. Kalau bertemu iya, tapi itu membahas ilmu pengetahuan, Kebun Raya. Ibu kan sangat suka, sangat concern dengan tanaman obat. Kebetulan LIPI yang meng-handle semua itu.
Kapan terakhir bertemu Megawati?
ADVERTISEMENT
Sudah cukup lama, ya. Lupa saya. Tahun lalu mungkin.
Pelantikan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/4). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Anda dibilang orang dekat PDIP, tanggapan Anda?
Dalam konteks itu, kalau banyak kolega dan teman meminta pendapat saya, ya saya sampaikan. Saya sampaikan bahwa manajemen riset kita ini ada yang keliru. Dan nanti kalau saya dibilang dekat dengan Bu Mega, saya dibilang dekat dengan Pak Habibie juga. Saya cucu akademisnya Pak Habibi, ya kan? Saya terima Habibie Award lagi. Saya masih di Habibie Center, lebih dekat lagi sama itu.
Jadi bukan masalah kedekatan ya. Kalau dekat saya sama Pak Asman (Asman Abnur) sering jalan kaki di Kebun Raya karena Pak Asman suka. Kan Pak Asman dulu MenPANRB dan orang PAN ya.
ADVERTISEMENT
Apa fokus Anda sebagai Kepala BRIN?
Pertama, konsolidasi. Konsolidasi anggaran dan SDM. Kalau itu nggak dilakukan sama saja kita membiarkan ecer-ecer buang duit tadi. Ini kan duit masyarakat. Yang kedua kita menciptakan ekosistem riset dan inovasi, yang tidak hanya untung orang BRIN-nya tapi juga untuk industri dan juga akademisi.
Kalau yang disampaikan Pak Presiden kan green economy, karena itu masih perlu riset. Tidak mungkin kita membuat sampah berkurang sekaligus itu menimbulkan dampak ekonomi. Padahal ada teknologi masalahnya. Kemudian juga fokus yang tadi, mengeksplorasi biodiversity untuk pemanfaatannya secara ekonomi.
Kita mega biodiversity, punya 30 ribu spesies, tapi yang jadi jamu saja baru 800. Yang jadi obat herbal itu baru sekitar 40-50 dari 800 itu. Yang bisa diresepkan dokter ya baru belasan. Dari 30 ribu. Berarti kan kalau masyarakat menilai kita nggak ngapa-ngapain nggak salah juga.
ADVERTISEMENT
Simak artikel lainnya dalam topik "Utak-atik Kabinet Jokowi" hanya di kumparan+
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten