To the Point ABAH CIJEUNGJING dan RITA

Wawancara Abah Cijeungjing: Di Balik Video Viral Menikah Diantar Istri Pertama

18 Februari 2020 17:23 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Media sosial seketika gaduh menyusul viralnya video istri pertama yang mengantarkan suaminya menikah lagi. Peristiwa itu lantas menimbulkan banyak tanya, istri mana yang memiliki hati sebesar itu hingga mampu mengizinkan--bahkan mencarikan--istri kedua untuk suaminya.
ADVERTISEMENT
Belakangan diketahui bahwa sang istri bernama Emas Putri Yani, yang disapa Umma. Ia mencarikan istri untuk suaminya yakni Hafi Muhammad Kafi Firdaus alias Abah Cijeungjing. Nengmas diketahui mengantar Abah Cijeungjing untuk menikah dengan Rita Adriani Mustofa di Jombang pada 2 Februari lalu.
Seperti poligami pada umumnya, pernikahan Abah Cijeungjing dengan Rita pun menjadi sorotan. Abah Cijeungjing mengaku sempat terganggu dengan viralnya video yang diunggah oleh kerabat dekatnya itu.
“Karena saya memegang pesantren, saya wajib menjaga nama baik pesantren dan majelis. Karena komentar netizen dari hari pertama sampai hari kedua itu 80% jelek semua, ke sini mungkin agak bagus ya. Ada kekhawatiran dari saya, mungkin akan mempengaruhi,” ujar Abah Cijeungjing.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana cerita di balik video viral tersebut? Faktor apa yang membuat Rita akhirnya mau menerima pinangan Abah Cijeungjing? Simak wawancara khusus kumparan dengan Abah Cijeungjing dan istri keduanya, Rita, berikut ini.
To the Point Abah Cijeungjing dan Rita. Foto: Sejati Nugroho/kumparan dan Anggoro Fajar Purnomo/kumparan
Terkait dengan video viral Abah diantar menikah istri pertama, bagaimana ceritanya?
Abah: Sebenarnya yang kenalin bukan Umma, tapi kakaknya Teh Rita, karena sudah setahun sebelum menikah, keluarga Teh Ria sering ngaji ke saya, rutin selama seminggu. Keluarga Teh Rita tahu saya lagi cari calon, dari situ, karena Teh Rita baru sebulan tinggal di Tasik, jadi dalam dua tahun mencari, baru terlihat sebulan lalu, di situ ada pembahasan ‘ini ada calon’, karena kategori yang saya cari itu memang susah.
ADVERTISEMENT
Apa saja persyaratannya?
Abah: Pertama, jangan mencari gadis. Kenapa enggak mencari gadis? Karena ini bukan tujuan saya pribadi, karena untuk bantu Umma. Kedua, kenapa cari bukan gadis? Karena gadis mentalnya enggak akan kuat. Banyak yang ngasih calon usia 18 tahun, begitu saya lihat, bukannya enggak terpakai, tapi kami memang tidak butuh itu. Waktu ketemu Teteh (Rita), kebetulan ada meeting waktu itu, saya ngobrol sama kakaknya, dan sangat menyarankan, baru saya ngobrol ke Umma, dari Umma baru ngobrol dengan teteh. Jadi, yang melamar itu Umma tapi saya kasih tahu dulu, ini masuk kategori.
Waktu Umma minta ke Teh Rita untuk menikah dengan Abah, apakah langsung menerima?
Rita: Saya cerita dari awal ya, saya datang dari Pesantren Thariqat Shiddiqiyyah di Ploso, Jombang, karena disuruh oleh guru saya untuk ke Tasikmalaya membesarkan perusahaannya beliau. Dari situ kan saya masih bolak-balik, terus saya bilang ke kakak saya, Mas Jamil, bahwa saya ikut pengajian. Terus, Mas Jamil datang ke saya bilang bahwa Pesantren Cijeungjing, Abahnya lagi cari istri kedua. Terus saya tanya maksudnya apa, dan saya langsung bilang ‘tidak’, saya enggak mau. Karena, memang saya sudah berikrar pada diri saya sendiri, tidak akan menikah lagi, dan anak saya yang paling besar tidak mau saya menikah lagi. Tapi, tiba-tiba Umma mau menelepon saya. Memang, sebelumnya, saya sempat ketemu Abah waktu meeting, dan Abah cuma nanya-nanya saja soal pekerjaan. Duduknya pun berjauhan, enggak berdekatan.
Abah Cijeungjing dan istrinya Teh Rita. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Umma waktu telepon bilang,”Teteh, saya boleh kenalan enggak? Ini saya Umma, istrinya Abah, saya mau tanya-tanya dari mana background teteh.” Saya jawab saya bekerja, karena saya sempat tinggal di luar negeri pindah ke Malang di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang sepak bola, lalu pindah ke Tasikmalaya. Dari situ, Umma menawarkan ke saya apakah mau menikah lagi, tapi saya bilang tidak mau. Tapi, mindset yang akhirnya berubah. Saya dulu pernah ikut organisasi pemuda Shiddiqiyyah di mana saya diajarkan tentang segala macam pengorbanan untuk tidak cinta kepada dunia, melainkan hanya cinta kepada Allah. Semua nyawa, tenaga dan pikiran itu hanya untuk Allah.
ADVERTISEMENT
Orang yang mengubah mindset saya adalah mursyid (guru) saya di Thariqat Shiddiqiyyah, saya datang kepada beliau, saya berubah. Makanya, ketika Umma datang kepada saya, saya tidak kaget lagi, dalam arti saya sudah mengetahui, bahwa ini untuk perjuangan umat. Tapi, saya tidak mau bicara karena saya tidak mau jadi istri kedua.
Apa yang akhirnya membuat Teh Rita mantap menerima pinangan Abah?
Rita: Pertama, ketika saya melihat visi dan misi Abah. Hampir tiap hari Abah dan Umma ke rumah saya, saya bilang ‘pikir dulu’. Ada juga santri-santrinya dan kakak-kakak saya. Waktu itu, saya sempat berdebat, karena memang saya enggak mau jadi istri kedua. Saya coba buat salat istikharah dan sowan ke guru saya. Kalau misalkan hasil istikharah dan sowan, terutama sowan ya, karena bagi saya apa yang beliau ridhoi saya akan lakukan tapi ketika bilang tidak, saya tidak akan lakukan. Ketika saya datang ke sana, saya sampaikan saya dilamar tetapi jadi istri kedua, lalu saya diberikan wejangan kalau mau mengikhlaskan untuk syiar Islam, saya diridhoi. Tetapi, saya diminta untuk jadi istri kedua yang selalu menghormati istri pertama, karena ridho saya ada di istri pertama. Kalau sembunyi-sembunyi atau tidak diridhoi, maka tidak akan disetujui. Dari situ, saya bilang kalau memang guru saya meridhoi, saya akan menerima. Saya lalu kembali ke Abah, saya kasih buku dari guru saya ke Abah sebagai tanda menerima pinangan. Memang, visi dan misi untuk perjuangan Islam, untuk membesarkan pesantren, itu yang membuat saya tertarik.
ADVERTISEMENT
Ketika Abah sudah mantap menikah dengan Teh Rita, apakah ada perjanjian yang dibahas antara Abah, Umma, dan Teh Rita?
Abah: Kalau perjanjiannya sudah ada, karena jauh sebelum saya nikah sudah dipersiapkan, karena persiapannya kan sudah dua tahun sama Umma. Disepakati sebelum dan sesudah menikah akan seperti apa, jadi bukan dadakan. Kalau orang bilang kami pengin viral, tapi kami memang enggak tahu. Ini takdir Allah.
Dengan viralnya video pernikahan, apakah sampai mengganggu aktivitas Abah, terutama dalam berdakwah?
Abah: Kalau mengganggu sih enggak, karena memang dari awal viral, media-media mengejar saya, tapi saya enggak layani, karena saya enggak mau, enggak mau viral dan masuk TV. Sampai dikejar ke pesantren, baru saya terima. Saya 4 hari di Jakarta, banyak media mengejar, sampai nunggu 3 hari saya enggak buka pintu. Dan, kenapa saya mau diwawancara kemarin? Karena buat saya, kalau siapa pun sudah bertamu ke rumah, saya pasti hormati. Di situ pun, hati tetap enggak nerima. Saya ditanya kenapa enggak mau diwawancara atau masuk TV. Kebetulan, di pesantren saya kan enggak ada TV, lucu saja enggak punya TV tapi masuk TV he he he...Karena saya sebenarnya benar-benar enggak mau.
Abah Cijeungjing dan istrinya Teh Rita. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bagaimana dengan Teh Rita, apakah merasa terganggu?
ADVERTISEMENT
Rita: Secara aktivitas sih enggak menggangu, tapi pikiran terganggu. Karena saya kan malu, di media sosial. Yang paling tidak mau diwawancara kan saya, karena saya malu. Yang bikin saya malu juga karena kan ada video-video di Ploso Jombang di rumahnya Ndalem (guru)...Salah satu syarat saya mau menikah dengan Abah sayang ingin Abah menjadi ikhwan di Thariqat saya, makanya Abah dibaiat, Abah menikah secara Shiddiqiyyah dengan saya. Di rumah Ndalem kan priviasi, saya sedang pakai baju organisasi. Karena itu, saya juga ingin minta maaf kepada keluarga Ndalem, saya tidak tahu tidak menjadi viral. Karena saya izin susah karena beliau sedang sakit. Saya datang ke sana dengan izin berbagai macam, ketika datang di-upload dan ada keluarga Ndalem. Saya minta maaf dalam keadaan guru saya sedang sakit, malah ramai seperti ini. Kalau untuk netizen saya enggak begitu peduli, tapi ketika menyangkut nama pesantren saya, saya tergugah. Karena saya tidak mengizinkan seorang pun berkata tidak baik kepada pesantren saya, guru-guru saya tentang Thariqat Shiddiqiyyah. Karena kan komentar bermacam-macam tentang pesantren saya, itu saya tidak terima.
ADVERTISEMENT
Dengan viralnya video ini, apakah tidak khawatir tentang reputasi atau citra Abah?
Abah: Pas nikah kan hari Minggu, Senin ramai, dan Selasa sudah masuk TV. Itu kan hitungan per detik. Dari hari pertama, Senin sampai Selasa, ada kekhawatiran. Karena saya memegang pesantren saya wajib menjaga nama baik pesantren dan majelis, karena komentar netizen dari hari pertama sampai hari kedua itu 80% jelek semua, ke sini mungkin agak bagus ya. Ada kekhawatiran dari saya, mungkin akan mempengaruhi. Tapi, setelah saya berpikir lebih jauh, ini semua bukan settingan kami, yang memviralkan pun bukan kami, tidak ada niat untuk viral, bahkan saya sangat enggak mau karena ini privasi kami sebenarnya. Urusan pernikahan itu bukan urusan umat, apalagi poligami. Sebenarnya, dengan kondisi ini saya pengin marah tapi karena saya meyakini bahwa Allah sudah memainkan skenarionya sedemikian rupa, maka saya tidak berhak untuk marah. Saya meyakini semua, kami pasrahkan kepada Allah. Andaikan (jemaah) pengajian saya sampai terkikis habis, saya pasrahkan, yang penting Allah meridhoi kami. Tapi, alhamdulillah, sejauh ini tidak ada.
Teh Rita, istri Abah Cijeungjing. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Hingga saat ini, poligami masih menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Bagaimana Abah menyikapinya?
ADVERTISEMENT
Abah: Sebenarnya ini adalah dinamika kehidupan ya, sangat wajar mereka yang kontra pun sangat wajar. Terutama untuk perempuan, mereka anti untuk urusan ini. Untuk saya pribadi, meskipun dibilang ini karena nafsu dan sebagainya...Kita bahas sedikit tentang nafsu ya, nafsu itu memang ditanamkan oleh Allah untuk kepribadian manusia, semua manusia punya nafsu. Makhluk yang tidak dikasih nafsu itu namanya malaikat makanya enggak perlu makan. Kalau kita enggak pakai nafsu, enggak bakal makan dan minum. Kalau enggak dikasih nafsu enggak bakal pengin punya rumah. Nah, karena itulah, perintah Allah yakni untuk mengendalikan nafsu, bukan menghilangkan nafsu. Tidak ada perintah Allah atau perintah agama satu pun yang menghilangkan nafsu, tapi mengendalikan nafsu.
ADVERTISEMENT
Fitrahnya manusia itu lelaki menyukai wanita dan sebaliknya, nah ini harus disalurkan. Maka, turun perintah dalam bentuk syariat dalam urusan fiqih dan usul fiqih, dalam berdagang atau menikah ada aturannya, selama masih mengikuti perintah Allah...Kalau saya mengatakan pernikahan ini dilangsungkan secara terbuka, saya meminta istri saya sendiri, yang meridhoi ibu kandung saya dan mertua ikut mengantar, itu kan sesuai syariat. Selama itu dijalankan, seluruh dunia membenci, itu enggak jadi masalah, karena kita beribadah kepada Allah bukan kepada manusia. Kalau sudah niat ibadah, jangan dengarkan manusia, karena kita mengikuti perintah Allah, bukan perintah manusia. Netizen kan manusia, entah apa pun asumsinya. Kecuali dagang, kita harus dengarkan konsumen. Kecuali bisnis, kita harus dengarkan pekerja. Tapi, kalau urusan ibadah, maka harus mengikuti apa kata Allah. Nikah itu ibadah, bukan soal nafsu-nafsuan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pembagian tugas untuk mengurus pesantren atau bisnis antara Umma dan Teh Rita?
Abah: Di dalam pernikahan, enggak ada jadwal pasti, saya fokus di umat, membawa umat untuk lebih mengenalkan umat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW dan mencintai shalawat. Kenapa Teh Rita ditugaskan mengurus bisnis, saya kan mengurus yayasan, dalam perjalanan ini...Secara pribadi, saya dari kecil mencetak diri untuk cuek terhadap urusan dunia, terutama harta. Karena ketika saya mendalami agama, Rasulullah mengatakan ‘cinta terhadap dunia itu pangkal dari segala kejahatan’. Makanya, saya hindari hal itu, saya bentengi diri, saya tidak punya ATM, enggak pernah pegang duit, malah yang tahu duit saya itu sopir saya. Dengan kecuekan saya seperti ini, ada duit masukin ke Baitul Mal, untuk saya mungkin ini bagus, tapi untuk urusan bisnis ini kan tidak bagus. Ada orang datang ke pesantren saya, saya tahu orang ini mau menipu, cuma karena hati saya judulnya mau mengurus umat, karena agama itu kan garis besarnya mengasihi semua makhluk, saya berpikir orang menipu pun harus saya kasihani. Makanya, banyak yang datang ke saya buat menipu, akhirnya uang perusahaan banyak yang hilang, untuk itu harus ada yang mengontrol. Dicarilah orang yang bisa mengatur bisnis, bisa me-manage keuangan biar usaha jalan, agama jalan. Kalau saya mengubah diri sebagai pebisnis, lalu bagaimana saya bersyiar dan bershalawat, dan itu juga bukan kepribadian saya.
Abah Cijeungjing saat ceramah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Mungkin banyak juga yang penasaran, dengan usia masih di bawah 30 tahun, tapi mempunyai nama panggilan ‘Abah’. Apakah ada alasan tertentu?
ADVERTISEMENT
Abah: Sejarahnya, karena sebelum saya nikah, keluarga saya kan keluarga besar, panggilan Abi dan Ummi, Ayah dan Bunda itu semua sudah ada, jadi saya pengin ada perbedaan. Karena keluarga lagi ngumpul, panggil ‘Ummi’ bisa semua nengok kan. Jadi, saya sudah persiapkan sebelum nikah, saya pengin manggil istri dengan Umma, tapi buat saya belum. Waktu itu mau disandingkan dengan Abati, tapi saya pikirkan lagi Umma dengan Abati enggak cocok, maka sama ‘Abah’ saja. Yang kedua, wasiat pesantren itu sudah 100 tahun karen berdiri 1912, saya berpikir dengan kondisi pesantren yang setua ini, seolah saya sedang mobil bus meskipun saya berbadan kecil tapi kan saya harus bersikap seperti segede badan bus, jadi panggilan abah sebagai reminder sebagai pribadi. Saya lahir di Ciamis, kalau di sana Abah itu kakek-kakek, kalau kiai atau ustaz kan pangkat, itu berat karena harus berilmu dan sebagainya. Kalau Abah itu bebas, enggak ada pangkat, memang saya pengin mindset seperti orang tua.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten