Vonis Pinangki Sirna Malasari, Misteri King Maker, dan Tumpulnya Peran KPK

13 Desember 2021 17:20 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jaksa Pinangki. Foto: Instagram/@ani2medy
zoom-in-whitePerbesar
Jaksa Pinangki. Foto: Instagram/@ani2medy
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari kini sudah mendekam di lapas karena kasusnya telah inkrah. Namun, perkaranya tersebut masih menyisakan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab.
ADVERTISEMENT
Pinangki ialah jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Mulai dari terima suap USD 500 ribu dari buronan Djoko Tjandra; pencucian uang USD 444.900 atau sekitar Rp 6.219.380.900; hingga pemufakatan jahat menyuap pejabat Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Meski perbuatannya berlapis, Pinangki hanya dituntut 4 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum. Padahal, ancaman maksimal bisa mencapai 20 tahun penjara.
Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Pinangki jauh lebih berat dibanding tuntutan, yakni 10 tahun penjara. Belakangan Pengadilan Tinggi DKI justru memotong hukuman Pinangki itu sebanyak 6 tahun penjara.
Terdakwa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Alhasil, hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara. Sama seperti keinginan jaksa. Sehingga, jaksa tidak mengajukan kasasi yang membuat perkara berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kontroversi pemotongan hukuman tersebut, masih ada yang belum terjawab dalam perkara Pinangki. Yakni terkait sosok King Maker.
Sosok King Maker disebut-sebut terkait dengan pengurusan fatwa untuk membebaskan Djoko Tjandra dari kasus hukum. Pengurusan fatwa itu berujung suap kepada Pinangki. Namun hingga kasus inkrah, sosok itu tidak terungkap.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sempat menggali sosok tersebut. Istilah King Maker itu sempat disebut dalam percakapan antara Pinangki dan Anita Kolopaking serta disinggung dalam percakapan di kantor Djoko Tjandra di Malaysia.
"Namun tetap tidak terungkap di persidangan," kata Dosen Fakultas Hukum UNPAR Nefa Claudia Meliala dalam keterangan tertulis yang dibagikan ICW, Senin (13/12).
Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H., yang merupakan dosen pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung sejak tahun 2013. Ia menjadi salah satu pemateri dalam eksaminasi putusan Pinangki Sirna Malasari yang digelar ICW.
ADVERTISEMENT
Sementara Fachrizal Afandi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, mempertanyakan jaksa penuntut umum yang dinilai tidak menggali sosok King Maker. Pendalaman soal siapa King Maker itu justru dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Majelis hakim malah yang berupaya menggali keterlibatan pihak lain di Kejaksaan yang disebut sebagai King Maker yang diduga memiliki peran sentral dalam kasus suap yang diterima oleh Pinangki dari Joko Tjandra yang sayangnya tidak berusaha digali oleh jaksa penuntut umum," kata Fachrizal yang juga pemateri eksaminasi perkara Pinangki.

Konflik Kepentingan di Kejaksaan Agung

Jaksa Pinangki. Foto: Instagram/@ani2medy
Fachrizal berpendapat bahwa banyak informasi dalam perkara Pinangki yang tidak digali lebih lanjut. Baik oleh penuntut umum maupun penyidik, bahkan juga pemeriksaan etik di Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
Kasus Pinangki mencuat ketika fotonya bersama Djoko Tjandra beredar di media sosial. Padahal, Djoko Tjandra ialah buronan Kejaksaan Agung yang sudah hampir 11 tahun kabur.
Belakangan, terungkap pernah ada pertemuan Pinangki dan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019. Tak hanya bertemu, Pinangki merencanakan skenario Djoko Tjandra lepas dari kasus hak tagih Bank Bali. Tentunya dengan imbalan uang.
Pinangki bahkan kemudian mendapat USD 500 ribu dari Djoko Tjandra sebagai uang muka rencana itu. Meski uang muka sudah diberikan, belakangan rencana itu tak jadi dilaksanakan.
Pada saat itu, Jaksa Pinangki menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II (Kasubag Pemantauan dan Evaluasi II) pada Biro Perencanaan Kejaksaan Agung. Ia tidak memiliki kewenangan sedikit pun terkait dengan penanganan perkara Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, atasan langsung Pinangki adalah Kepala Bagian Pemantauan Evaluasi di bawah tanggung jawab Kepala Biro Perencanaan dan juga Jaksa Agung Muda Pembinaan.
"Tidak mungkin Joko Tjandra secara mudah memberikan uang dalam jumlah besar kepada jaksa yang tidak memiliki jabatan penting untuk mengurus Fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung. Ini yang nampaknya tidak didalami oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dan seolah-olah percaya saja bahwa ini adalah ulah seorang jaksa Pinangki saja tanpa ada keterlibatan jaksa lain di Kejaksaan Agung," papar Fachrizal.
Pinangki Sirna Malasari. Foto: Instagram/@pinangkit
Hal lainnya ialah terkait kepergian Pinangki ke Malaysia beberapa kali bertemu Djoko Tjandra. Fachrizal mempertanyakan pengawasan internal Kejaksaan Agung lantaran Pinangki bisa ke luar negeri tanpa izin.
ADVERTISEMENT
"Berarti ada kesalahan manajemen disiplin kepegawaian yang cukup fatal di Kejaksaan Agung yang memungkinkan pejabat eselon IV dapat bolos tidak masuk ke kantor berhari-hari tanpa ada teguran ataupun sanksi dari pimpinan Kejaksaan," kata Fachrizal.
"Sayangnya baik dalam inspeksi pengawasan fungsional yang dilakukan Jaksa Agung Muda Pengawasan tidak satu pun atasan Pinangki yang dimintai keterangan atau bahkan dikenai sanksi," sambungnya.
Penyidikan kasus Pinangki pun dipandang tidak maksimal. Salah satu contohnya ialah terkait Action Plan yang memuat nama Burhanuddin.
Action Plan ialah skenario pengajuan fatwa dari Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung demi melepaskan Djoko Tjandra dari jerat hukum kasus Bank Bali. Dalam skenario itu, tercantum sejumlah inisial, termasuk BR yang merujuk ke Jaksa Agung ST Burhanuddin dan HA selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.
ADVERTISEMENT
"Di sinilah terlihat konflik kepentingan begitu terang dalam proses pemeriksaan internal Kejaksaan Agung," kata Fachrizal.
"Dalam proses pemeriksaan ini nampak penyidik sama sekali tidak berusaha mengklarifikasi siapa yang dimaksud dengan Burhanuddin ini dan juga memastikan kenapa Joko Tjandra mempercayai Pinangki dan mau memberikan uang yang cukup besar terlepas jabatan Pinangki yang secara struktural dan fungsional tidak memiliki kewenangan untuk membantu kasusnya. Penyidik Kejaksaan bahkan tidak berusaha menggali keterangan Joko Tjandra terkait kemungkinan ada jaksa lain yang terlibat dalam kasus dugaan suap ini," sambungnya.
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Menurut dia, penyidik maupun jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung malah kemudian fokus pada pencucian uang Pinangki. Ia menyebut mayoritas saksi dalam persidangan menjelaskan soal penggunaan uang suap yang diterima Pinangki.
ADVERTISEMENT
"Sedikit sekali saksi yang dihadirkan yang mampu menjelaskan tindak pidana suap yang dilakukan Pinangki sebagai seorang Jaksa," kata Fachrizal.
"Sama dengan pemeriksaan di penyidikan, jaksa penuntut umum nampak juga tidak berusaha menggali lebih lanjut kenapa Joko Tjandra bisa begitu saja percaya kepada Pinangki dan memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit tanpa ada garansi bahwa Pinangki dapat meyakinkan pejabat Kejaksaan untuk mengeluarkan surat permohonan fatwa ke Mahkamah Agung," imbuhnya.
Ia menilai hal tersebut menunjukkan adanya konflik kepentingan yang dialami oleh jaksa penuntut umum.
"Lagi-lagi ini menunjukkan adanya konflik kepentingan yang dialami oleh jaksa penuntut umum saat menangani perkara yang kemungkinan melibatkan pimpinan mereka di Kejaksaan," pungkas dia.

Tumpulnya Peran KPK

Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Peran KPK terkait perkara Pinangki pun tak terlepas dari sorotan. Sebab, supervisi dari KPK dinilai harusnya bisa membuat penanganan perkara lebih maksimal.
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, menyebut bahwa KPK merupakan institusi yang mempunyai kewenangan paling besar dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan dapat mengambil alih perkara dari Kejaksaan atau Kepolisian.
Terkait King Maker, Fatahillah menilai sosok itu tidak diulas secara mendalam. Selain itu, Pinangki merupakan kasus terkait penegak hukum yang layak ditangani KPK.
Atas hal tersebut, ia menilai bahwa seharusnya KPK mengambil alih perkara Pinangki.
"Dalam perkara PSM (Pinangki Sirna Malasari), seharusnya KPK melakukan pengambilalihan perkara yang ditangani kejaksaan," ujar Fatahillah.
***
ICW menginisiasi eksaminasi karena perkara Pinangki Sirna Malasari dinilai sempat menjadi perhatian publik. Khususnya terkait pemotongan hukuman hingga 6 tahun penjara.
Padahal, kejahatan yang Pinangki lakukan dinilai sangat kompleks dan melibatkan buronan korupsi Joko S Tjandra. Menurut ICW, perkara ini layak dieksaminasi lantaran kontroversial, memiliki pengaruh atau dampak sosial bagi masyarakat, dan ada indikasi mafia peradilan (judicial corruption).
ADVERTISEMENT
ICW mengatakan tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk menilai kualitas putusan hakim dalam suatu persidangan. Baik dalam konteks materiil maupun prosedur hukum acaranya atau formil.
Tidak hanya itu, ICW menyebut eksaminasi dapat pula sebagai medium untuk melihat kualitas penegak hukum. Misalnya dalam pembuatan surat dakwaan, proses pembuktian, hingga tuntutan kepada terdakwa.
Eksaminasi dilakukan oleh tiga akademisi. Pertama, Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.. Ia merupakan seorang akademisi di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung sejak tahun 2013.
Ia mengajar beberapa mata kuliah, di antaranya, Hukum Pidana, Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Kriminologi, Sistem Peradilan Pidana, dan Pengantar Hukum Indonesia. Selain sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR. Gelar sarjana hukumnya didapatkan dari UNPAR pada tahun 2008. Kemudian, studi S-2 nya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Kedua, Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M.. Ia merupakan seorang akademisi di Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ia mengajar beberapa mata kuliah, seperti, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana Internasional, dan Hukum Pidana Khusus. Jenjang studinya ditempuh pada tahun 2011 di Fakultas Hukum UGM, lalu melanjutkan untuk meraih gelar Master of Laws dari Adelaide Law School, The University of Adelaide pada tahun 2013. Saat ini ia pun tercatat sebagai kandidat doktor di UGM.
Ketiga, Dr. Fachrizal Afandi, S.PSi., S.H., M.H.. Ia merupakan seorang akademisi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, sejak tahun 2014.
Ia mengajar beberapa mata kuliah, di antaranya, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Praktik Peradilan Pidana, Kriminologi, Hukum Pidana Khusus, dan Antropologi Hukum. Selain sebagai akademisi, ia juga aktif sebagai peneliti di beberapa lembaga kajian seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, dan Pusat Pengembangan Studi Sosio Legal (PPSL) Universitas Brawijaya.
ADVERTISEMENT
Gelar sarjana hukum dan program magisternya diraih di Universitas Brawijaya. Kemudian, ia melanjutkan studi doktoralnya dan meraih gelar Ph.D pada tahun 2021 di Universiteit Leiden, Belanda, dengan fokus isu Sistem Peradilan Pidana.