Terungkap! Suap Penyidik KPK terkait 5 Kasus: Tanjungbalai, Cimahi, hingga Kukar

3 September 2021 13:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju digiring petugas untuk mengikuti konferensi pers usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju digiring petugas untuk mengikuti konferensi pers usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Praktik suap penyidik KPK terungkap. Ada sejumlah perkara yang diduga menjadi objek pengurusan kasus.
ADVERTISEMENT
Penyidik yang dimaksud ialah AKP Stepanus Robin Pattuju. Saat ini, penyidik asal Polri itu sudah dipecat dari KPK.
Robin diangkat menjadi penyidik KPK pada Agustus 2019. Sementara perbuatan suapnya diduga terjadi dalam rentang bulan Juli 2020 sampai dengan April 2021.
Robin diduga menerima suap yang nilainya hingga Rp 11 miliar. Diduga, suap terkait pengurusan lima perkara.
Hal itu termuat dalam potongan dakwaan yang diunggah di situs Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Robin saat ini sedang menunggu jadwal persidangan.
Tersangka Penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju (kiri) berjalan usai menjalani pemeriksaan perdana di Gedung KPK, Jakarta, Senin (26/4/2021). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
"Agar Terdakwa dan Maskur Husain membantu mereka terkait kasus/perkara di KPK, yang bertentangan dengan kewajibannya,' bunyi dakwaan dikutip dari situs pengadilan, Jumat (3/9).
Maskur Husain ialah advokat yang diduga bersama-sama Robin menerima suap. Sementara pihak pemberi suap disebutkan ada lima orang, yakni:
ADVERTISEMENT
Dalam petikan dakwaan di situs pengadilan, tidak tercantum detail maksud pemberian uang itu. Namun, mereka diduga merupakan pihak yang berperkara di KPK.
Terkait perkara-perkara itu, Dewas KPK sempat mengungkapkannya dalam sidang vonis etik Robin pada Juni 2021. Berikut penjelasannya:

Wali Kota Tanjungbalai, Syahrial

Wali Kota Tanjungbalai H.M Syahrial. Foto: Pemkot Tanjungbalai
Kasus ini menjadi awal terbongkarnya praktik suap Robin terkait pengurusan perkara di KPK. Berawal saat KPK menangani kasus suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai yang melibatkan Syahrial.
ADVERTISEMENT
Syahrial diduga menyuap Robin agar mengamankan perkara jual beli jabatan itu tidak naik tahap penyidikan. Dalam dakwaan, disebutkan suap yang diberikan sebesar Rp 1,695 miliar.
Perkara ini berawal ketika Syahrial berkunjung ke rumah dinas Wakil Ketua DPR yang juga merupakan petinggi Partai Golkar Azis Syamsudin pada akhir 2020. Ia meminta dukungan Azis Syamsuddin dalam mengikuti Pilkada Tanjungbalai 2021-2026 sekaligus bercerita soal kasusnya di KPK.
Syahrial lalu dikenalkan kepada Robin selaku penyidik KPK oleh Azis Syamsudin. Robin disebut sering datang ke rumah dinas Azis Syamsuddin.
Robin bersama dengan Maskur Husein setuju membantu Syahrial dengan imbal uang. Syahrial lalu memberikan uang secara bertahap dengan total sejumlah Rp 1,695 miliar kepada Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain.
ADVERTISEMENT
Namun, kasus suap jual beli jabatan tetap berjalan di KPK. Syahrial sudah dijerat sebagai tersangka karena menerima suap dari Yusmada yang ingin menjadi Sekda Tanjungbalai.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Syahrial bersama Robin dan Maskur Husain pun dijerat sebagai tersangka suap pengurusan perkara itu. Dalam perkara ini, turut pula mencuat dugaan keterlibatan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Lili Pintauli membocorkan soal kasus jual beli jabatan itu kepada Syahrial. Namun, Lili Pintauli baru dijerat secara etik. Padahal, perbuatannya dapat tergolong pidana.

Azis Syamsuddin

Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Azis Syamsuddin. Foto: DPR RI
Dugaan keterlibatan Azis Syamsuddin dengan Robin juga sempat disinggung Dewas KPK. Yakni diduga terkait kasus korupsi di Lampung Tengah. Uang diduga agar penyidik KPK asal Polri itu mengawasi suatu kasus yang melibatkan kader Golkar.
ADVERTISEMENT
Dalam paparannya, Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris menyebut Azis Syamsuddin pernah memberikan uang sebesar Rp 3,15 miliar. Diduga ada kaitannya dengan perkara pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah. Kader Golkar yang dimaksud diduga terlibat dalam kasus itu ialah Aliza Gunado.
Aliza merupakan direksi BUMD di Lampung. Ia merupakan mantan Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Partai yang sama dengan Azis Syamsuddin.
"Terperiksa juga menerima uang dari saksi Azis Syamsuddin yang pada awalnya hanya bersifat pinjaman karena saksi Maskur Husain membutuhkan modal sebesar Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar," papar Syamsuddin Haris.
Tersangka Pengacara Maskur Husain bersiap menjalani pemeriksaan perdana di Gedung KPK, Jakarta, Senin (26/4/2021). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Maskur Husain merupakan seorang advokat yang kini sudah dijerat sebagai tersangka suap pengurusan perkara Tanjungbalai bersama AKP Robin. Tak dirinci modal apa yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Saat itu saksi Azis Syamsuddin memberikan uang sejumlah Rp 2 miliar, dan meminta untuk memantau kasus yang melibatkan kader Partai Golkar atas nama Aliza Gunado," imbuh Haris.
Permintaan itu kemudian dipahami AKP Robin karena dirinya merupakan penyidik KPK. Ia tercatat bergabung di KPK pada Agustus 2019.
Pemberian uang dari Azis Syamsuddin yang terealisasi diduga berjumlah sekitar Rp 3,15 miliar. Sebesar Rp 2,55 miliar di antaranya diberikan kepada Maskur Husain. Sementara AKP Robin menerima Rp 600 juta.
Diduga, uang itu untuk mengamankan keterlibatan Azis Syamsuddin dalam kasus Lampung Tengah. Azis Syamsuddin selaku Ketua Banggar DPR disebut pernah meminta fee 8% terkait pengurusan Dana Alokasi Khusus untuk Lampung Tengah.
Politikus Golkar itu sudah membantah soal permintaan fee dalam kasus tersebut. Menurut Dewas KPK, Azis Syamsuddin pun membantah pernah memberikan uang kepada AKP Robin.
ADVERTISEMENT
"Dibantah oleh saksi Azis Syamsuddin yang menyatakan tidak pernah memberikan sejumlah uang kepada terperiksa," ucap Albertina, Senin (31/5).

Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna

Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Foto: Instagram/@ajaympriatna
Ajay Muhammad Priatna terjerat kasus dugaan penerimaan suap Rp 1,6 miliar terkait izin rumah sakit. Ia terjaring OTT KPK pada November 2020.
Dalam persidangan Ajay yang digelar di Pengadilan Tipikor Bandung pada April 2021, sempat muncul bahwa ia pernah memberikan uang kepada penyidik KPK.
Saat itu, Sekda Pemkot Cimahi, Dikdik Suratno Nugrahawan, menyebut Ajay sempat dimintai uang senilai Rp 1 miliar oleh seseorang yang mengaku dari KPK, sebelum kena OTT pada 27 November 2020. Dikdik menyatakan, permintaan itu kemudian disampaikan Ajay kepadanya dan para SKPD.
Sedangkan Ajay menyebut 'orang KPK' yang memerasnya bernama Roni. Ketika bertemu, kata Ajay, orang tersebut sempat menunjukkan identitas diri. Dia tak menyebut secara rinci waktu dan lokasi pertemuan.
ADVERTISEMENT
Ajay menyatakan sempat terjadi negosiasi mengenai nominal uang yang diminta. Berbeda dengan Dikdik yang menyebut Rp 1 miliar, Ajay menyatakan 'orang KPK' pada awalnya meminta Rp 500 juta. Namun ia hanya bisa mengumpulkan Rp 200 juta. Uang yang dikumpulkan diserahkan ke Roni melalui karyawan perusahaan milik Ajay bernama Yanti.
Belakangan, penyidik yang dimaksud terungkap ialah Robin. Berdasarkan sidang Dewas KPK, Ajay memberikan uang ratusan juta rupiah kepada Robin bersama Maskur Husain.
"Dalam perkara terkait dengan Ajay M Priatna selaku Wali Kota Cimahi, Terperiksa menerima uang secara bertahap yang seluruhnya Rp 505 juta yang sebagian diserahkan kepada Maskur Husain sejumlah Rp 425 juta dan terperiksa mendapat sejumlah Rp 80 juta," kata Albertina Ho.
ADVERTISEMENT
Untuk Ajay, ia sudah menjalani sidang vonis terkait kasusnya. Ia dihukum 2 tahun penjara.

Usman Effendi

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung. Foto: Bagus Ahmad Rizaldi/ANTARA
Usman Effendi merupakan Direktur PT. Tenjo Jaya yang terjerat kasus korupsi hak penggunaan lahan di Kecamatan Tenjojaya, Sukabumi, Jawa Barat. Ia divonis 6 tahun penjara terkait kasus tersebut dan kemudian di Lapas Sukamiskin Bandung.
Pada saat menjalani penahanan itu, nama Usman diduga kembali terseret kasus di KPK. Usman diduga memberikan sebuah mobil Toyota Land Cruiser Hardtop Tahun 1991 kepada mantan Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, yang diproses KPK.
Diduga, uang diberikan agar Robin memantau nama Usman dalam perkara itu.
"Dalam perkara terkait Saudara Usman Effendi, Terperiksa menerima uang secara bertahap dengan jumlah seluruhnya Rp 525 juta yang sebagian diserahkan kepada saksi Maskur Husain Rp 272.500.000 dan terperiksa mendapat sejumlah Rp 272.500.000," kata Albertina Ho.
ADVERTISEMENT
Belum ada pernyataan dari pihak Usman Effendi mengenai dugaan pemberian uang ini.

Mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari

Bupati Kukar Rita Widyasari di KPK Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Dewas KPK mengatakan bahwa Robin secara bertahap menerima Rp 5,1 miliar dari mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari. Dari jumlah tersebut, Rp 4,88 miliar diserahkan kepada Maskur Husain. Sementara Robin menerima Rp 220 juta.
"Dalam perkara Rita Widyasari terkait pembuatan memori Peninjauan Kembali," kata Albertina Ho.
Rita Widyasari merupakan terpidana kasus suap dan gratifikasi. Dalam kasus suap, Rita terbukti menerima suap dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima (SGP), Hery Susanto Gun alias Abun, sebesar Rp 6 miliar.
Suap diberikan agar Rita memberikan izin lokasi kepada PT SGP di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kukar, seluas 16 hektare. Lokasi itu rencananya akan digunakan untuk perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam kasus gratifikasi, Rita dinilai terbukti menerima gratifikasi bersama Komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin.
Rita dan Khairudin dinilai terbukti menerima gratifikasi dari para pemohon izin dan kontraktor sebesar Rp 110.720.440.000. Uang itu Rita terima selama menjabat sebagai bupati, dalam kurun Juni 2010 hingga Agustus 2017.
Rita Widyasari Foto: Facebook Rita Widyasari
Rita dalam kasus tersebut divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Hak politik Rita juga dicabut selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok.
Atas hukuman itu, Rita menerimanya dan tidak mengajukan banding. Setelah inkrah, Rita pun menjalani hukumannya di Lapas Pondok Bambu, Jakarta Timur. Namun setelah lebih dari satu tahun menjalani hukuman, Rita mengajukan PK. Meski demikian, tidak dijelaskan upaya yang dilakukan Robin dan Maskur Husain dalam pengurusan PK itu.
ADVERTISEMENT
Belum ada pernyataan dari pihak Rita Widyasari mengenai dugaan pemberian uang ini.