Rusia Bantah Lakukan Serangan ke Pelabuhan Odessa
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Empat buah rudal mengarah ke Pelabuhan Odessa, Ukraina. Dua di antaranya berhasil dilumpuhkan, dua lainnya menghantam pelabuhan tersebut, Sabtu (23/7).
ADVERTISEMENT
Pihak Ukraina menyebut serangan itu dilakukan oleh Rusia. Namun di sisi lain, Rusia membantahnya.
Melalui Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar, pihak Moskow mengaku tak ada kaitannya dengan serangan tersebut.
"Rusia mengatakan kepada kami bahwa mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan serangan ini dan mereka melihat masalah ini dengan sangat cermat," kata Hulusi Akar, tetapi Rusia belum berkomentar secara resmi, dikutip dari AFP, Minggu (24/7).
Meski demikian, Akar menyebut kejadian itu membuat pihak Turki prihatin. Sebab, peristiwa terjadi sehari usai Ukraina dan Rusia menandatangani kesepakatan di hadapan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Sekjen PBB Antonio Guterres.
ADVERTISEMENT
"Benar-benar membuat kami prihatin," kata Akar dalam komentarnya kepada kantor berita negara Anadolu.
"Kami akan terus memenuhi tanggung jawab kami berdasarkan kesepakatan yang kami capai kemarin," tambahnya.
Kementerian Luar Negeri Ukraina mengecam laporan serangan Rusia di Odessa. Ukraina menggarisbawahi, Rusia harus bertanggung jawab atas krisis pangan yang kian menjulang. Sebab, kesepakatan ekspor gandum itu berisiko runtuh usai serangan Rusia tersebut.
"[Serangan] Rudal Rusia adalah [Presiden Rusia] Vladimir Putin meludahi wajah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Presiden Turki Recep [Tayyip] Erdogan, yang melakukan upaya besar untuk mencapai kesepakatan," tegas Juru Bicara Kemlu Ukraina, Oleg Nikolenko.
"Bila kesepakatan yang dicapai tidak terpenuhi, Rusia akan bertanggung jawab penuh untuk memperdalam krisis pangan global," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Adapun perjanjian yang dimaksud yakni membuka koridor aman untuk ekspor biji-bijian dari pelabuhan Ukraina di Laut Hitam. Sejak awal invasi, Rusia telah memblokade pelabuhan-pelabuhan Ukraina.
Akibatnya, puluhan juta ton biji-bijian terjebak di negara itu. Kondisi tersebut memperburuk kemacetan rantai pasokan global, sehingga memicu inflasi harga makanan dan energi.