news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Polemik Draf RUU Pemilu soal Hak Politik Eks HTI & PKI

27 Januari 2021 7:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Surat Suara Foto: Antara/Darwin Fatir
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Foto: Antara/Darwin Fatir
ADVERTISEMENT
RUU Pemilu menjadi salah satu draf undang-undang yang telah disepakati pemerintah dan DPR untuk masuk Prolegnas 2021. RUU Pemilu akan menjadi landasan aturan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2022.
ADVERTISEMENT
Dalam draf tersebut, ada ketentuan mengenai syarat peserta pemilu, baik pileg, pilpres dan pilkada. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 182.
Pada Pasal 182 ayat 2 dijelaskan bahwa eks HTI dan PKI dilarang ikut pemilu, alias tidak boleh berpartisipasi dalam pileg, pilpres dan pilkada.
Larangan bagi eks PKI diatur dalam pasal 182 ayat 2 huruf ii. Berikut bunyinya:
"Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.3O.S/PKI,".
Lalu bunyi ketentuan terkait HTI di poin selanjutnya.
"Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI);".
Kantor DPP HTI Foto: Aprillio Akbar/Antara
Pelarangan bagi eks PKI dan HTI dalam pemilu menimbulkan reaksi masyarakat. Ada yang mendukung, namun ada pula yang menolak.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi II DPR Zulkifar Arse Sadikin menjelaskan kemungkinan proses deteksi eks HTI. Menurutnya, mereka bisa dideteksi dengan melihat data di Kemendagri serta kantor Kesbangpol tiap daerah.
Apalagi, lanjutnya, Kemendagri pasti memiliki data pengurus HTI yang dulu sempat diserahkan sebelum organisasi tersebut dibubarkan.
"Ya paling tidak, yang jelas dari kepengurusan yang mereka sampaikan ke Kemendagri. Dulu kan mereka sempat menyampaikan sebenarnya ke Kesbangpol provinsi dan semacamnya," kata Zulfikar, Selasa (26/1).
Selain itu, anggota DPR Fraksi Golkar ini menilai, eks HTI bisa diketahui melalui rekrutmen parpol. Bisa saja para eks HTI masuk parpol tertentu. Dari proses wawancara bisa diketahui apakah seseorang merupakan eks HTI atau bukan.
"Kedua, nanti parpol juga kan nanti di mereka ada rekrutmen untuk mencalonkan, pasti akan ada wawancara. Itu kan pasti ketahuan pikiran-pikirannya ketahuan," ujarnya.
Ilustrasi suasana saat pencoblosan pemilu 2014. Foto: AFP/ROMEO GACAD
Lebih lanjut, Zulkifar berpendapat usulan tersebut muncul karena setiap pejabat negara harus mengedepankan 4 konsensus Indonesia. Yaitu Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Jadi begini. Ini pertimbangan kita background pemikiran kita di setiap UU yang terkait rekrutmen pejabat publik kan termasuk ASN, TNI, Polri, BUMN termasuk kepala desa dan perangkat desa itu kan ada persyaratan yang harus dipenuhi," tuturnya.
"Selain persyaratan, harus ada janji sumpah yang ditunaikan diucapkan oleh pejabat publik tersebut, persyaratan dan janji itu mereka harus punya komitmen dan kesetiaan pada 4 konsensus dasar bangsa seperti UUD, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI," tambahnya.
Sementara para eks anggota HTI dan PKI tak mengakui 4 konsensus tersebut. Sehingga, sudah selayaknya tidak diperkenankan menjadi peserta pemilu.
"Ini kan fundamental bagi masyarakat berbangsa dan bernegara kita. Dia tidak hanya 4 konsensus bangsa itu tak hanya fondasi tapi juga pilar bahkan itu alam pikiran dan kebatinan seluruh warga bangsa kita yang harus benar benar kita jaga," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Sementara pengurus anggota HTI ini kan bertolak belakang dengan itu semua. Bahkan mereka tidak hanya bertolak belakang, mereka mengingkari dan ingin mengganti 4 konsensus dasar bangsa itu, " lanjutnya.
Sementara Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan secara prinsip PAN menolak RUU Pemilu. Karena itu semua ketentuan merujuk pada UU Pemilu yang sudah berlaku.
"Saya mengatakan tadi, kita menghargai pendapat kawan-kawan. Tetapi kami tidak setuju itu, biar saja ini (UU lama) dipakai dulu. UU ini masih layak, masih bagus, masih bisa 3-4 pemilu lagi," kata Zulhas usai konferensi pers di Ruang Fraksi PAN DPR, Senayan, Jakarta.
Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan memberi sambutan saat acara HUT ke-22 PAN, di DPP PAN, Jakarta, Minggu (23/8). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Zulhas menegaskan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih bisa digunakan untuk penyelenggaraan pemilu yang akan datang. Apalagi, kata dia, pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, dulu kita sepakat ini UU Pemilu ini bisa digunakan tiga sampai empat kali pemilu. Lah ini kan Pak Jokowi pemerintah masih sama, terus kita bertengkar ingin kita ubah lagi," tuturnya.
Zulhas juga menyebut bukan hal yang mudah membahas RUU Pemilu. Sebab ada banyak kepentingan yang harus diakomodir.
"Tentu mengakomodir berbagai kepentingan berbagai kalangan tentu tidak mudah," ujarnya.
Di sisi lain, anggota Komisi II DPR Fraksi PKB, Sukamto, berpandangan hak politik seseorang ditentukan oleh putusan pengadilan.
"Kalau itu dinyatakan terlarang itu kan tidak ada masalah. Tetapi, apakah hak sebagai warga negara itu hilang atau tidak itu nanti tergantung pengadilan," kata Sukamto saat dimintai tanggapan.
ADVERTISEMENT
"Karena biar pun mereka sebagai partai atau ormas terlarang, pada waktu keputusan pengadilannya mereka hilang ndak hak pilih dan memilihnya, dicabut ndak?" sambung Sukamto.
Pandangan yang berbeda disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid. Ia menilai, perlu kajian matang dalam penentuan penghilangan hak politik warga negara.
"Perlu pertimbangan yang matang untuk menghilangkan hak politik warga negara. Namun perlu berikan sanksi pada organisasi/perorangan yang pernah terbukti melakukan pengkhianatan pada negara," kata Gus Jazil, sapaan akrabnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menyampaikan pidatonya usai penandatanganan pakta integritas dan penyerahan form Model B.1-KWK Parpol bagi calon kepala daerah dari PKB di Jakarta, Senin (24/8). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Menurut Wakil Ketua MPR itu, ada sejarah yang berbeda dari kedua organisasi yang dinyatakan terlarang itu. HTI tidak pernah melakukan pemberontakan.
"PKI dan HTI meskipun sama-sama dibubarkan namun sejarahnya berbeda. HTI tidak pernah melakukan pemberontakan kepada negara dengan menggunakan kekerasan dan angkat senjata," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, anggota Komisi II DPR Fraksi PKB Luqman Hakim mengatakan HTI memiliki tujuan politik untuk terciptanya kekuasaan khilafah dunia atau negara Islam internasional. Sehingga, kata dia, tujuan HTI sangat bertentangan dengan NKRI.
"Tujuan politik HTI sama persis dengan komunisme, yakni menciptakan kekuasaan politik internasional yang akan merobohkan bangunan negara-bangsa," kata Luqman.
Anggota Komisi III DPR Luqman Hakim Foto: Dok. Luqman Hakim
Luqman pun mengatakan pemerintah telah resmi membubarkan PKI dan HTI karena bertentangan dengan Pancasila. Karena itu, Luqman berpandangan wajar jika eks anggota PKI dan HTI dilarang maju dalam pemilu.
"Secara resmi pemerintah telah membubarkan dan melarang HTI karena ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai organisasi terlarang, posisi HTI sama dengan PKI yang juga telah dibubarkan dan dilarang hidup di Indonesia," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Karena itu, eks HTI harus dilarang maju pada pileg, pilpres, pilkada, menjadi PNS, TNI, Polri, dan lain-lain. Sama persis perlakuan negara ini terhadap eks PKI," sambung Luqman.
Pendapat berbeda disampaikan PDIP. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang, sebenarnya berdasarkan ketentuan hukum, setiap orang yang hak politiknya tak dicabut maka berhak mengikuti pemilu. Termasuk para eks HTI dalam pemilu atau pilkada.
"Sepanjang keputusan pengadilan yang sudah inkrah, tidak ada menyatakan pencabutan hak-hak politiknya, maka setiap orang berhak untuk mempergunakan bagian politiknya," kata Junimart.
"Apabila telah memenuhi syarat yaitu dewasa, sehat jasmani rohani. Ini menyangkut HAM," sambungnya.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, juga tak setuju dengan aturan tersebut. Menurutnya, seharusnya eks anggota HTI maupun FPI yang belakangan dibubarkan tetap boleh mencoblos.
Dukungan Hamdan Zoelva sebagai capres 2019. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Meski sudah dibubarkan, HTI dan FPI bukan organisasi terlarang seperti PKI. Sehingga hak politik mereka harus tetap dijamin.
ADVERTISEMENT
"HTI dan FPI bukan organisasi terlarang seperti PKI, tapi organisasi yang dibubarkan atau dinyatakan bubar oleh pemerintah dan kegiatan organisasinya dilarang," kata Hamdan.
"Tidak ada larangan atas kebebasan dan hak-hak sipil dan politik para eks pengurus atau anggotanya untuk menjadi calon anggota DPR bahkan duduk dalam pemerintahan karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang dijamin dalam UUD 1945," papar Hamdan.
Bahkan, Hamdan melanjutkan, hal itu juga berlaku bagi bekas anggota PKI dan keturunannya. Menurut Hamdan, mereka tetap memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Bahkan bekas anggota PKI dan keturunannya saja bebas menggunakan hak politiknya dipilih atau memilih. Kita setback (kemunduran) dalam demokrasi dan HAM kalau ada pembatasan-pembatasan demikian," tutur Hamdan.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga diungkapkan Sekjen Perindo Ahmad Rofiq. Ia menyebut, UU menjamin setiap warga negara mempunyai hak berpolitik, termasuk dipilih dan memilih. Ia menegaskan yang dilarang adalah organisasinya, bukan orangnya.
"Anak PKI saja banyak yang jadi pejabat dan menjadi anggota dewan. Yang dilarang itu organisasinya, bukan orangnya. Kecuali hukum menyatakan bahwa seseorang itu dicabut hak politiknya karena pelanggaran-pelanggaran yang serius," kata Rofiq.
"Undang-undang tidak perlu menyentuh terhadap hal-hal yang tidak substansial, mengada-ngada. Hormati UUD 1945," imbuh Rofiq.