Pleidoi Djoko Tjandra: Rindu Pulang, Jaksa Pinangki, hingga Najib Razak

15 Maret 2021 16:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra saat menjalani sidang Pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra saat menjalani sidang Pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Djoko Tjandra menjadi buronan sekitar 11 tahun dalam kasus cessie Bank Bali. Ia kabur menghindari hukuman 2 tahun penjara atas kasusnya itu.
ADVERTISEMENT
Pada 2020, ia akhirnya ditangkap di Malaysia setelah sebelumnya ketahuan keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Terungkap pula ada dugaan suap terhadap polisi dan jaksa di balik jalan mulusnya itu.
"Saya rindu pulang ke tanah air Indonesia. Itulah kerinduan terdalam selama 11 tahun saya berada di luar negeri," kata Djoko Tjandra saat membacakan nota pleidoi (pembelaan) di Pengadilan Tipikor Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (15/3).
Menurut Djoko Tjandra, saat kabur ke luar negeri, ia tidak ditolak oleh pemerintah maupun masyarakat di sana. Ia tercatat pernah ke Papua Nugini hingga terakhir di Malaysia.
"Sebaliknya, saya diterima dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya. Tetapi, seperti kata pepatah, sekalipun hujan emas di negeri orang, dan hujan batu di negeri sendiri, tetap saja tidak bisa menghapus cinta dan kerinduan kepada negeri sendiri," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Ia merasa sebagai WNI yang tidak bersalah dalam kasus Bank Bali. Djoko Tjandra mempertanyakan langkah Kejaksaan Agung yang mengajukan PK setelah bertahun-tahun ia dinyatakan bebas. PK tersebut berujung hukuman dua tahun penjara untuk Djoko Tjandra.
"Saya tidak tahu apakah Kejaksaan RI yang direpresentasikan oleh Penuntut Umum sedikit memiliki kesadaran bahwa dengan pengajuan PK yang melanggar hukum dulu itu, Kejaksaan RI telah melakukan 'miscarriage of justice' (peradilan sesat) yang menyebabkan luka ketidakadilan tidak hanya kepada saya pribadi, keluarga saya, tetapi juga kepada institusi Kejaksaan RI itu sendiri," papar Djoko Tjandra.
Sidang pembacaan nota pembelaan (pleidoi) untuk terdakwa Djoko Tjandra di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/3). Foto: Desca Lidya Natalia/ANTARA
Ia sudah melakukan upaya hukum PK atas putusan PK MA No 12 tahun 2009 tersebut. Namun PK itu ditolak.
"Setelah upaya hukum PK yang pernah saya ajukan itu ditolak, saya tidak punya harapan lagi untuk pulang ke tanah air Indonesia yang saya cintai ini. Tidak ada lagi harapan untuk kumpul bersama-sama dengan semua keluarga di Indonesia," ungkap Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
Djoko Tjandra juga mengaku tidak ada lagi harapan untuk bisa nyekar ke makam orang tua maupun menghabiskan masa tua dan meninggal di Indonesia.
"Tidak lagi bisa saya mengatakan kepada cucu-cucu saya bahwa mereka harus mencintai tanah air Indonesia, sementara saya tinggal di luar negeri," kata Djoko Tjandra.

Datangnya Jaksa Pinangki

Terdakwa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Pada awal November 2019, Djoko Tjandra dihubungi seseorang bernama Rahmat yang menyampaikan ingin memperkenalkan Pinangki Sirna Malasari. Pinangki disebut sebagai orang yang dapat membantu menyelesaikan persoalan hukum Djoko Tjandra.
Menurut Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki berjanji akan mengurus masalah hukum yang menjeratnya. Jaksa Pinangki juga disebut menjanjikan Djoko Tjandra tidak akan dieksekusi 2 tahun penjara saat kembali ke Indonesia.
"Pertama, Pinangki Sirna Malasari menawarkan bantuan dan menjanjikan saya untuk menyelesaikan persoalan hukum saya lewat jalur Fatwa Mahkamah Agung sehingga saya bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana," ungkap dia.
Anita Dewi Kolopaking memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari (kiri) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (25/11). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Ia berdalih Jaksa Pinangki yang berinisiatif menemuinya di Malaysia guna membahas soal masalah hukum kasus Bank Bali. Jaksa Pinangki pun membawa Anita Kolopaking untuk menjadi pengacara Djoko Tjandra serta Andi Irfan Jaya yang disebut sebagai konsultan swasta.
ADVERTISEMENT
"Mereka bertiga lah yang akan mengurus Fatwa MA sebagaimana dijanjikan Pinangki. Secara tegas saya katakan kepada mereka bertiga bahwa saya tidak ingin membuat kesepakatan dengan Pinangki karena dia adalah seorang jaksa," ungkap Djoko Tjandra.
Belakangan, disepakati biaya yang harus dikeluarkan Djoko Tjandra terkait pengurusan perkaranya yang kemudian memunculkan "Action Plan".
"Uang 1 juta dolar AS adalah sebagai 'consultant fee' dan 'lawyer fee' yang disepakati untuk pengurusan Fatwa MA sampai selesai," ujar dia.
Terdakwa perantara pemberi suap kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya, menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/12). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Ia pun menyebut diminta untuk membayar uang muka USD 500 ribu melalui Andi Irfan Jaya. Uang itu yang belakangan diduga sebagai suap untuk Jaksa Pinangki.
"Karena besarnya harapan saya untuk bisa kembali ke tanah air dan percaya kepada janji Pinangki Sirna Malasari, dengan berat hati saya melakukan pembayaran uang muka 500 ribu dolar AS meminta tolong kepada Herrijadi Anggakusuma untuk membayar ke Andi Irfan Jaya," ungkap Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
Realisasi USD 1 juta itu batal karena Djoko Tjandra menilai "Action Plan" merupakan modus penipuan terhadap dirinya. Ia pun menilai dirinya menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi fatwa MA sebagaimana tercantum dalam "Action Plan".
"Karena itu semua rencana dan pembicaraan dengan jalur fatwa Mahkamah Agung itu saya hentikan, dan saya tidak mau lagi berhubungan lagi dengan Pinangki dan Andi Irfan," tambah Djoko.

Tommy Sumardi dan Najib Razak

Terdakwa selaku perantara pemberian suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Dalam pleidoinya, Djoko Tjandra pun menyinggung sosok Tommy Sumardi. Tommy merupakan perantara suap Djoko Tjandra untuk dua jenderal polisi.
Menurut Djoko Tjandra, mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak merupakan orang yang merekomendasikan nama Tommy Sumardi sebagai orang yang dapat mengecek status "Daftar Pencarian Orang".
ADVERTISEMENT
"Untuk bisa masuk ke Indonesia guna kepentingan pendaftaran permohonan Peninjauan Kembali, saya minta tolong kepada Saudara Tommy Sumardi yang saya kenal dan berdasarkan rekomendasi dari besan Tommy Sumardi, sahabat saya, mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak untuk mengecek status DPO saya," kata Djoko Tjandra.
Datuk Seri Najib Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia. Foto: Agus Setiawan/ANTARA FOTO
Menurut dia, Tommy Sumardi menyanggupi membantunya tapi menyebut ada biaya yang harus disiapkan.
"Tommy Sumardi menyanggupi, tetapi ada biayanya. Awalnya meminta 'fee' sebesar Rp 15 miliar, saya tawar menjadi Rp 10 miliar dan Tommy Sumardi menyetujuinya," tambah Djoko.
Ia mengaku tak tahu soal penggunaan uang itu. Menurut dia, semuanya menjadi urusan Tommy Sumardi. Uang itu belakangan menjadi suap untuk Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte saat menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Diduga, uang diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Ditjen Imigrasi. Sehingga, ia bisa masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 2020, Djoko Tjandra sempat datang ke Indonesia dengan untuk mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan langsung kembali ke Kuala Lumpur, Malaysia.
"Tetapi kemudian, apa yang saya harapkan dengan permohonan PK tersebut tidak terjadi. Saya ditangkap oleh Kepolisian Malaysia, diserahkan ke Kepolisian Negara RI, menjalani hukuman penjara selama 2 tahun sebagai terpidana dan menjadi terdakwa dalam persidangan ini," tambah Djoko.
Ia pun mengaku menyesal dengan apa yang telah terjadi yang menyeretnya menjadi terdakwa.
"Harapan dan kerinduan saya untuk pulang ke tanah air Indonesia yang saya cintai ini telah pula dimanfaatkan orang lain untuk menipu saya. Harapan dan kerinduan untuk pulang ke tanah air telah menghantar saya pula ke kursi terdakwa ini, sehingga menjadi korban dari harapan dan kerinduan itu sendiri," ungkap Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
"Saat ini saya berusia 70 tahun, tak ada lagi banyak yang saya inginkan dan impikan dalam hidup ini selain menemani cucu-cucu saya. Keinginan dan impian yang tidak bisa saya lakukan saat ini," pungkas dia.

Suap Djoko Tjandra

Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra saat menjalani sidang Pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
Djoko Tjandra segera menjalani sidang vonis kasus dugaan suap dan pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor Jakarta. Pada sidang sebelumnya, ia dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Ia dijerat dalam dua dakwaan. Pertama, Djoko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah USD 500 ribu melalui Andi Irfan Jaya. Serta, menyuap mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah SGD 200 ribu dan USD 270 ribu; serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai USD 150 ribu melalui Tommy Sumardi.
ADVERTISEMENT
Kedua, Djoko Tjandra didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar USD 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang terpisah, Jaksa Pinangki sudah divonis 10 tahun penjara; Irjen Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara dan Brigjen Prasetijo Utomo divonis 3,5 tahun penjara. Sementara Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara dan Tommy Sumardi divonis 2 tahun penjara.
Untuk Djoko Tjandra, ia juga sudah divonis 2,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Timur karena terbukti melakukan pemalsuan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan COVID-19, dan surat rekomendasi kesehatan untuk dapat masuk ke Indonesia. Ia pun sedang menjalani pidana 2 tahun penjara terkait kasus Bank Bali.
ADVERTISEMENT