Perludem: PKPU Tak Atur Sanksi Diskualifikasi, Jangan Sampai Dipolitisir

3 Oktober 2020 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, di Diskusi Polemik Pencalonan Napi Korupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata Timur, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Foto: Eny Immanuella Gloria
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, di Diskusi Polemik Pencalonan Napi Korupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata Timur, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Foto: Eny Immanuella Gloria
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, mendesak pemerintah untuk menerbitkan Perppu yang mengatur sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan selama Pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
Meski rangkaian Pilkada sudah berjalan, Titi menilai Perppu masih mungkin diterbitkan untuk mengatur sanksi yang lebih tegas lagi kepada calon kepala daerah maupun penyelenggara yang melanggar.
"Ada desakan yang harus direspons segera oleh pemerintah, kebutuhan terhadap Perppu adalah kebutuhan objektif kita ketika pilkada sudah diputuskan dan kalau melihat situasi hari ini. Paling mungkin Perppu dan mengatur soal penguatan sanksi dan pengaturan khusus untuk pemungutan penghitungan suara," kata Titi dalam diskusi virtual 'Tiga Kandidat Wafat, Pilkada Jalan Terus?', Sabtu (3/10).
Titi menganggap Peraturan KPU (PKPU) yang telah dikeluarkan tidak mengatur sanksi tegas, seperti contohnya diskualifikasi, karena akan menimbulkan abuse of power. Maka dari itu, diperlukan aturan setingkat UU yang dapat mengatur sanksi tegas dengan lebih transparan.
Suasana kampanye online Paslon Hendi-Ita di Semarang, Kamis (1/10). Foto: Dok. Istimewa
"Dalam peraturan KPU tidak boleh diatur sanksi diskualifikasi. Jangan sampai sanksi diskualifikasi itu juga dipolitisir hanya karena misalnya tidak suka lalu kemudian, mohon maaf ya, Bawaslu-nya kena suap misalnya atau apa. Kita kan tidak tahu politik lokal," jelas dia.
ADVERTISEMENT
"Nah, UU itu bisa mengerem tindakan-tindakan yang menyalahi aturan atau abuse of power. Karena dia membuat rambu yang lebih tegas dalam menjalin proses yang tadi, transparan, akuntabel, makanya dia harus pada level peraturan setingkat UU," lanjut Titi.
Pihaknya pun sepakat adanya paslon yang menimbulkan kerumunan dan menciptakan klaster penularan corona baru dapat membahayakan nyawa manusia. Maka dari itu, Titi menganggap sanksi diskualifikasi terhadap paslon pelanggar protokol kesehatan dinilainya sudah tepat.
"Saya sebenernya agak jengah kalau ada pendekatan dikit-dikit diskualifikasi, tetapi dalam konteks misalnya penegakan peraturan pelanggaran protokol kesehatan. Kenapa saya setuju? Karena dampak kalau itu dilanggar terutama pelanggaran kerumunan massa lebih dari 100 orang, bisa menciptakan klaster yang membahayakan nyawa manusia dan dampak membahayakan manusia itu harus tegas," sebut dia.
ADVERTISEMENT
"Itu makanya harus di peraturan setingkat UU. Supaya juga dalam implementasinya dia tidak dimanipulasi karena kontestasi politik lokal yang membuat bias penegakan hukumnya. Nah, rambu-rambuya memang harus dalam level tadi, perppu ya," tandas Titi.
Menko Polhukam Mahfud MD menggelar rapat bersama perwakilan KPK, Kejagung, dan Polri terkait penanganan perkara. Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut sejauh ini pelanggaran protokol corona di masa kampanye tidak fatal. Sehingga, Mahfud menganggap Perppu atau revisi UU hingga kini belum dibutuhkan karena semua instrumen hukum dan aparat penindakan sama seperti tercantum dalam PKPU.
"Sampai sekarang belum terpikir ada Perppu. Ada perppu atau enggak instrumennya sama, ancaman hukumnya sama, aparatnya sama. Terus apa Perppu yang diminta sampai saat ini? Tindakan apa yang diperlukan sehingga memerlukan Perppu? Kan semua sudah ada," tutur Mahfud, Kamis (1/10).
ADVERTISEMENT
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona