Penjelasan PT BPH soal Sengketa Tanah Stadion BMW dengan Pemprov DKI

17 Mei 2019 20:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PTUN Jakarta menggelar sidang ke-10 atas gugatan lahan eks Taman BMW bersama penggugat PT Buana Permata Hijau dan tergugat BPN Kota Administrasi Jakarta Utara, Jumat (29/3). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
PTUN Jakarta menggelar sidang ke-10 atas gugatan lahan eks Taman BMW bersama penggugat PT Buana Permata Hijau dan tergugat BPN Kota Administrasi Jakarta Utara, Jumat (29/3). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PT Buana Permata Hijau (BPH) menjelaskan asal mula sengketa lahan di taman BMW yang saat ini akan dibangun Jakarta International Stadion. Kuasa Hukum PT BPH, Damianus Renjaan, mengatakan polemik ini membuat pihaknya tak hanya berhadapan dengan Pemprov DKI, tetapi juga dengan PT Agung Podomoro.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan PT BPH mempunyai luas tanah seluas 69.472 hektar.
“Bahwa PT Buana Permata Hijau (PT BPH) adalah pemegang hak atas tanah seluas 69.472 M2 yang terletak di RT 10/RW 08, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara,” kata Damianus di Gado-Gado Boplo, Cikini, Jakarta, Jumat, (17/5).
Luas tanah tersebut berdasarkan dokumen Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 304/PDT.G/2017/PN.JKT.UTR, tanggal 7 September 2017 antara PT Buana Permata Hijau (Penggugat) melawan Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BP3L) Sunter DKI Jakarta (Tergugat).
Selain itu, kata Damianus, luas tanah juga berdasarkan Surat Rekomendasi Camat Tanjung Priok No. 91/1.711.1/1985, tanggal 6 Mei 1985, dan surat penyerahan tanggal 16 November 1984 dari PT. SRI DOMES selaku Pihak Pertama kepada PT. BUANA PERMATA HIJAU selaku Pihak Kedua terhadap hak garap seluas ± 69.472 M2.
ADVERTISEMENT
Damianus mengaku pada tanggal 17 Mei 2014, pihaknya baru mengetahui bahwa di atas tanah tersebut telah diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 250/Kelurahan Papanggo dan sertifikat hak pakai nomor 251/Kelurahan Papanggo. Kedua sertifikat tersebut atas nama Pemprov DKI. Damianus merasa hal itu mengakibatkan tumpang tindih.
“Bahwa setelah mengetahui adanya sertifikat 250 dan 251 tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2014, PT BPH mengajukan gugatan pembatalan sertifikat 250 dan 251 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan berdasarkan Putusan Pengadilan TUN Jakarta No. 123/G/2014/PTUN-JKT tgl. 14 Juni 2015 maka sertifikat 250 dan 251 tersebut dinyatakan batal,” ujar Damianus.
Sidang Putusan PTUN Jakarta terhadap Gugatan Wadah Pegawai KPK di PTUN Jakarta, Senin (11/8). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Damianus menjelaskan alasan dibatalkannya sertifikat 250 dan 251 karena tanah PT BPH ternyata telah dibebaskan untuk kepentingan umum dan uang ganti ruginya telah dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hal itu berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 03/Cons/1994/PN.JKT.UT tanggal 08 Juli 1994.
ADVERTISEMENT
“Namun uang konstinyasi tersebut ternyata bukan berasal dari APBD DKI Jakarta, melainkan berasal dari PT Agung Podomoro yang tidak dilengkapi dengan bukti setor ke kas daerah,” ungkap Damianus.
Selain itu, dasar dibatalkannya kedua sertifikat tersebut menurut Pemda DKI berasal dari pelepasan penggarap. Namun ternyata tidak dilengkapi dengan dokumen atau surat asli dan tidak ada surat pelepasannya. Sehingga menurutnya, data yuridis objek sengketa cacat hukum.
Damianus menjelaskan juga bahwa sertifikat 250 dan 251 dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) tanggal 8 Juni 2007 dari PT Agung Podomoro disebutkan bahwa luas tanah yang diserahkan yaitu 265.000 M2 (26,5 hektar). Padahal, kata Damianus, total luas tanah yang tercantum dalam sertifikat 250 dan 251 yakni hanya 107.956 M2.
ADVERTISEMENT
“Sehingga terdapat kekurangan 157.044 M2 dari total kewajiban fasum fasos seluas 265.000 M2 (26.5 Hektar) yang wajib diserahkan PT Agung Podomoro dan 7 pengembang kepada Pemda DKI,” terang Damianus.
Setelah putusan tersebut, Damianus mengungkapkan Pemda DKI dan BPN Jakarta Utara mengajukan banding dan pada tanggal 12 Mei 2015 PT TUN Jakarta dalam Putusannya No. 85/B/2015/PT.TUN.JKT, memutus perkara tersebut dengan amar pada pokonya yakni membatalkan putusan PTUN Jakarta dan mengadili sendiri dengan menyatakan gugatan PT BPH tidak dapat diterima.
“Bahwa banding tersebut dikuatkan di tingkat kasasi berdasarkan Nomor 522 K/TUN/2015, tanggal 19 November 2015,” ujar Damianus.
Maket Jakarta International Stadium. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Damianus menuturkan alasan PT TUN Jakarta dan Mahkamah Agung menyatakan gugatan PT BPH tidak dapat diterima karena PT BPH tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah sertifikat objek sengketa. Sebab tanah tersebut telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan prasarana umum (jalur hijau) dan telah dilakukan konsinyasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 03/Cons/1994/PN.JKT.UT tanggal 08 Juli 1994.
ADVERTISEMENT
“Bahwa PT BPH kemudian menggugat Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BP3L) Sunter DKI pihak yang melakukan konsinyasi tahun 1994 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan pada akhirnya gugatan PT BPH dikabulkan sebagian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 304/PDT.G/2017/PN.JKT.UTR, tgl. 7 September 2017,” ungkap Damianus.
Amar putusannya adalah menyatakan pertama, BP3L Sunter melakukan perbuatan melawan hukum. Kedua, membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 03/Cons/1994/PN.JKT.UT tanggal 08 Juli 1994. Ketiga, menyatakan PT BPH adalah pemegang hak atas tanah seluas 69.472 M2 yang terletak di RT 10/RW 08, Kelurahan Papanggo (dahulu RT 001/RW 005 Kelurahan Sunter), Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Damianus menjelaskan alasan dikabulkannya gugatan tersebut karena yang pertama dilakukan tanpa melalui musyawarah sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. Kedua, konsinyasi didasarkan pada pada Surat Gubernur DKI Jakarta No. 3698/073.3, tanggal 19 September 1991 yang telah habis masa berlakunya karena hanya berlaku 6 bulan sejak ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, yang ketiga, secara hukum konsinyasi tersebut tidak dapat dilakukan karena tanah PT BPH tersebut bukanlah tanah milik bersama yang salah satu pemiliknya tidak diketahui keberadaannya (bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat 2 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993).
“Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 304/PDT.G/2017/PN.JKT.UTR, tanggal 7 September 2017 tersebut telah berkekuatan hukum tetap,” kata Damianus.
Lebih lanjut, terang Damianus, pada tanggal 6 April 2018, Pemprov DKI dan PT Agung Podomoro mengajukan gugatan perlawanan atas Putusan 304 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang terdaftar dengan nomor perkara 202/PDT.G/2018/PN.JKT.UTR (Perkara 202). Dimana, PT Agung Podomoro menyatakan berkepentingan atas lahan tersebut karena sumber dana konsinyasi berasal dari mereka.
Damianus mengungkapkan dalam persidangan tersebut Pemda DKI membuktikan Sertifikat Hak Pakai Nomor 314 dan 315.
ADVERTISEMENT
“Tanggal 20 Desember 2018 Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus perkara tersebut dengan amar putusan antara lain menyatakan Pemda DKI sebagai pemegang hak atas tanah sesuai sertifikat 250 dan 251, sedangkan tuntutan agar Putusan No. 304 dibatalkan, ditolak oleh Majelis Hakim,” terang Damianus.
“Status perkara 202 masih dalam proses banding,” tambahnya.
Maket dan desain pembangunan Jakarta International Stadium. Foto: Dok. Istimewa
Selanjutnya, pada tanggal 29 November 2018, PT BPH kemudian mengajukan gugatan TUN Perkara Nomor 282 terhadap Sertifikat Hak Pakai Nomor 314 dan 315. Pada tanggal 14 Mei 2019, Pengadilan TUN membatalkan Sertifikat Hak Pakai No. 314 dan 315 atau sertifikat objek sengketa. Kesimpulan permara nomor 282 adalah sebagai berikut.
a. Penerbitan sertifikat objek sengketa diantaranya didasarkan pada data yuridis berupa Surat Pernyataan jo Surat Pelepasan Hak dan Tanda Penerimaan Uang Ganti Rugi/Pesangon yang kesemuanya atas bidang tanah yang terletak di Kelurahan Sunter Agung (vide konsideran “menimbang” butir c bukti T-V dan bukti T-VI serta bukti T-VII s/d T-XVI), sedangkan bidang tanah sertifikat objek sengketa terletak di Kelurahan Papanggo.
ADVERTISEMENT
Bahkan judul surat keputusan Kantor Pertanahan Jakarta Utara yang menjadi dasar penerbitan sertifikat objek sengketa (bukti T-VI) telah menyebutkan bahwa letak tanah tersebut yakni di Kelurahan Sunter Agung.
b. Penerbitan kedua sertifikat objek sengketa diantaranya didasarkan pada data yuridis berupa Berita Acara Serah Terima (BAST) tanggal 08 Juni 2007 (vide bukti T-V dan T-VI), dimana berdasarkan Pasal 4 ayat (2) BAST tersebut dan keterangan saksi Pemda DKI serta keterangan ahli, maka pihak yang berkewajiban mengurus penerbitan sertifikat atas lahan tersebut yakni PT Agung Podomoro sebagai pengembang.
Meskipun demikian, ternyata pengurusan penerbitan sertifikat objek sengketa a quo bukan dilakukan oleh PT Agung Podomoro, melainkan oleh Pemda DKI Jakarta (vide konsideran “membaca” bukti T-VI).
ADVERTISEMENT
c. Bahwa kedua sertifikat objek sengketa a quo diterbitkan di atas sebagian lahan PT BPH yang oleh Pemda DKI diklaim sebagai lahan yang telah dibebaskan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (konsinyasi) No. 03/Cons/1994/PN.JKT.UT tanggal 8 Juli 1994 (vide bukti P- 19a dan bukti TII-Intv-18).
Padahal ternyata dalam surat keputusan Kepala Kantor Pertanahan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat objek sengketa (bukti T-V dan T-VI), tidak tercantum Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (konsinyasi) No. 03/Cons/1994/PN.JKT.UT tanggal 8 Juli 1994, sebagai bagian dari data yuridis yang menjadi dasar penerbitan sertifikat objek sengketa.
Seandainya pun penerbitan kedua sertifikat objek sengketa a quo didasarkan pada penetapan konsinyasi, maka konsinyasi tersebut dilakukan secara melawan hukum. Hal ini sebagaimana dipertimbangkan juga dalam Putusan No. 304.
ADVERTISEMENT
d. Bahwa dalam surat ukur kedua sertifikat objek sengketa tersebut tertulis bahwa surat ukur tersebut adalah kutipan dari Surat Ukur tgl. 29 Agustus 2000, padahal BAST tanggal 08 Juni 2007 yang menjadi bagian dari data yuridis atau warkah kedua sertifikat tersebut baru ada pada tahun 2007.
Fakta tersebut dihubungkan dengan keterangan ahli, maka terbukti bahwa penerbitan kedua sertifikat objek sengketa cacat hukum, karena menurut ahli tersebut, maka surat ukur yang terbit belakangan hanya dapat mendasarkan pada salinan surat ukur terdahulu, apabila data yuridisnya sama. Apabila terdapat perbedaan data yuridis diantara keduanya maka surat ukur yang terbit belakangan tidak boleh mendasarkan pada salinan pada surat ukur yang terdahulu.
e. Bahwa pada saat proses penerbitan kedua sertifikat objek sengketa a quo, maka tanah tersebut sedang menjadi objek sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara No. 304/PDT.G/2017/PN.JKT.UTR (vide bukti P-1a), sehingga sepatutnya Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara tidak menerbitkan kedua sertifikat objek sengketa tersebut.
ADVERTISEMENT
f. Bahwa penerbitan kedua sertifikat objek sengketa cacat hukum karena di sekitar bidang tersebut, tidak terdapat jalan RS. Koja atau jalan pengadilan sebagaimana tertulis dalam kedua sertifikat objek sengketa (vide bukti T-I, bukti T-III, bukti T.II.Intv 1 dan bukti T.II.Intv 1). Hal tersebut membuktikan bahwa Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara tidak melakukan pengukuran serta tidak melakukan pengecekan data fisik dan data yuridis pada saat penerbitan kedua sertifikat objek sengketa.
“Tanggal 14 Mei 2019, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutus perkara tersebut dengan amar putusan diantaranya menyatakan batal Sertifikat Hak Pakai Nomor 314 dan 315,” tutur Damianus.
Atas dasar tersebut, PT BPH mendesak Pemda DKI Jakarta agar mengkaji kembali kebenaran data yuridis masing-masing sertifikat hak pakai yang diantaranya bersumber dari BAST tanggal 8 Juni 2007 antara Pemda DKI dan PT Agung Podomoro.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terang Damianus, PT BPH mempertanyakan kenapa sampai diatas lahan PT BPH diterbitkan sertifikat hak pakai No. 314 dan 315 dengan data yuridis diantaranya berupa BAST tanggal 8 Juni 2007, padahal PT BPH tidak ada kaitannya dengan BAST tersebut.
“Meskipun Penetapan Konsinyasi tahun 1994 telah dibatalkan oleh Putusan No. 304 yang berkekuatan hukum tetap, namun PT BPH ingin mempertanyakan kembali kenapa sampai proses pembebasan tanah dan konsinyasi tersebut dilakukan secara melawan hukum dengan tanpa musyawarah dengan PT BPH,” tutur Damianus.
“Apabila sumber dana konsinyasi tersebut berasal dari PT Agung Podomoro sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Pengadilan TUN Jakarta No. 123/G/2014/PTUN-JKT tanggal 14 Juni 2015, maka apa kepentingan PT Agung Podomoro terhadap lahan tersebut,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, data yuridis sertifikat hak pakai Nomor 314 dan 315 diantaranya berupa BAST tanggal 8 Juni 2007 dimana dalam Pasal 4 ayat (2) BAST tersebut dinyatakan bahwa Pihak yang wajib mengurus dan menyelesaikan sertifikat adalah PT Agung Podomoro. Namun pada faktanya pendaftaran sertifikat hak pakai Nomor 314 dan 315, diurus sendiri oleh Pemda DKI.
Hal itu juga dipertimbangkan dalam Putusan Pengadilan TUN Jakarta No. 123/G/2014/PTUN-JKT tanggal 14 Juni 2015. Sehingga Damianus mempertanyakan proses tersebut.
Damianus juga mempertanyakan kenapa sampai sertifikat hak pakai Nomor 314 dan 315 diterbitkan di atas lahan PT BPH yang terletak di Kelurahan Papanggo. Sedangkan data yuridis sertifikat tersebut diantaranya adalah Surat Pernyataan dan Surat Pelepasan Hak dan Tanda Penerimaan Uang Ganti Rugi/Pesangon yang kesemuanya atas bidang tanah yang terletak di Kelurahan Sunter Agung.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Damianus menegaskan, pihaknya tidak berniat mempersulit atau menjegal proses pembangunan stadion BMW.
“PT BPH hanya meminta agar Pemda DKI dan pihak terkait menghormati hak PT BPH dan mengharapkan agar proses pembebasan tanah tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, di antaranya harus ada musyawarah atau komunikasi dengan PT BPH,” pinta Damianus.