Pengusaha Italia: Indonesia Surga Investasi Energi Terbarukan

16 Mei 2017 11:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Foto: Pixabay)
Italia membidik peningkatan kerja sama sektor energi di Indonesia. Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Hubungan Ekonomi ASEAN-Italia yang digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta, hadir pula perwakilan dari sekitar 450 perusahaan Italia yang sudah menanamkan modalnya di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Building Energy, perusahaan yang bergerak di sektor energi baru terbarukan (EBT) dan energi ramah lingkungan. Saat ini, Building Energy tercatat telah menyelesaikan pembangkit dengan kapasitas 230 megawatt (MW) dan berencana menambah hingga 2.000 MW di 24 negara di dunia.
Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia saat ini memang masih rendah, ketergantungan terhadap energi fosil belum bisa ditekan. Dalam realisasi bauran energi nasional (energy mix) tahun 2015, porsi minyak bumi masih 40 persen, batu bara 31 persen, gas bumi 24 persen, dan EBT hanya 5 persen.
Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar yang berasal dari energi panas bumi, air, mini, dan mikro hidro, bioenergi, tenaga surya, angin, dan laut. Namun, investasi untuk sektor energi tersebut hingga saat ini masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan (kumparan.com), Managing Director Europe & Asia dari Building Energy, Sergio Benocci, memaparkan sejumlah peluang investasi energi terbarukan di Indonesia.
Dalam perbincangan santai yang berlangsung hampir 1 jam pada Senin kemarin di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sergio memaparkan berbagai peluang investasi. Dia menilai Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat potensial karena memiliki kekayaan di sektor energi terbarukan.
Sergio juga memberikan pandangan bagaimana peran regulasi pemerintah dalam mengembangkan energi hijau dan membagi pengalamannya mengembangkan pembangkit EBT di sejumlah negara. Berikut kutipan wawancaranya.
Sergio Benocci (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
Apa pandangan Anda soal peluang investasi energi terbarukan di Indonesia?
Indonesia memiliki pasar yang sangat menarik bagi perusahaan seperti kami. Dengan permintaan yang besar untuk listrik, juga sumber energi yang melimpah, seperti solar (matahari), air, geothermal (panas bumi).
ADVERTISEMENT
Secara komersial, berapa nilai peluang EBT di Indonesia?
Saya tidak punya informasi soal itu. Tapi saya melihat potensi yang besar di Indonesia. Misalnya jika kita lihat di Eropa, negara-negara seperti Italia dan Jerman, mereka dalam beberapa tahun saja berhasil meningkatkan kontribusi EBT menjadi 20 persen dari total kapasitas.
Dengan jumlah populasi yang besar, lalu produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi yang baik, Indonesia harus mengembangkan EBT. Ada permintaan yang besar dari masyarakat untuk mengurangi polusi dan beralih ke energi ramah lingkungan.
Apa ada investasi dari perusahaan Anda untuk EBT di Indonesia?
Kami sedang mengkaji peluang tersebut, terutama di Asean dan Indonesia tentunya akan berperan besar dalam penyediaan EBT. Mungkin fokus kami di Indonesia nantinya adalah mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga angin atau bayu (PLTB). Building Energy bisa terlibat dalam konstruksi atau investasi baru di bidang EBT.
ADVERTISEMENT
Tapi kebijakan dan aturan yang jelas sangat dibutuhkan banyak investor. Menurut kami pemerintah tidak perlu memberi insentif atau subsidi khusus untuk EBT, karena saat ini biaya pembangunan, konstruksinya sudah jauh lebih rendah dibanding beberapa tahun lalu. Pasarnya sudah sangat mature (matang).
Bukannya pengusaha sering meminta insentif dalam berinvestasi?
Memang insentif bisa mempercepat pendanaan dan memastikan return on investment (ROI). Tapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah menciptakan lingkungan yang aman bagi investasi, membangun hubungan terintegrasi antara perusahaan, institusi pemerintah, dan regulator untuk mendukung investasi EBT dalam jangka panjang.
Komitmen kuat dari pemerintah inilah yang bisa membuat investasi menjadi 'bankable' (layak mendapat pendanaan perbankan). Sehingga, jika pengusaha mendapat stabilitas jangka panjang, karena EBT biasanya memang proyeknya bisa sampai 20-25 tahun, menurut saya insentif jadi tidak perlu dalam jumlah besar.
ADVERTISEMENT
Di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di kawasan terpencil, tidak perlu ada insentif karena biaya untuk menyediakan energi dari sumber konvensional seperti minyak atau diesel, malah lebih mahal daripada EBT.
Apa pendapat Anda soal banyaknya keluhan dari Investor EBT soal akses pinjaman dari bank asing dan bank lokal yang bunganya tinggi?
Ini poin yang paling krusial, karena kita bicara jutaan dolar investasi. Kembali lagi, butuh komitmen kuat dari pemerintah dan integrasi, serta dukungan dari masyarakat sehingga bisa menciptakan hubungan erat antara bank, investor, sampai dukungan dari sisi politik.
Butuh waktu, tapi kami sudah melihat situasi seperti ini sebelumnya di sejumlah negara, kemungkinan untuk mendapatkan investor asing yang signifikan dan berkelanjutan sangat terbuka bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jadi, industri EBT Indonesia masih menarik bagi bank atau lembaga keuangan asing. Indonesia dan negara-negara di Asean memang harus bekerja keras, menurut saya ini adalah masalah yang harus segera dislesaikan dalam menciptakan lingkungan dan masyarakat yang mendukung pengembangan EBT.
Bagaimana dengan harga listrik dari EBT yang dikeluhkan pengusaha belum kompetitif?
Memang ini isu penting. Jika kita bandingkan, untuk sumber daya solar dan radiasi matahari, di Indonesia memang bagus, tapi tidak lebih baik dari negara seperti Afrika Selatan dan Chile, sehingga tentu saja di sana harganya lebih murah.
Jadi memang butuh insentif yang bagus, namun tidak perlu dalam periode yang panjang, hanya untuk menarik investasi terlebih dahulu. Saya mengerti apa yang dirasakan pengusaha, namun saya percaya dengan pendekatan yang tepat, harga bukan satu-satunya masalah.
ADVERTISEMENT
Yang paling penting adalah menciptakan pasar yang sehat, sehingga return dalam jangka panjang terjamin. Semua bisa didiskusikan untuk mencari jalan tengah yang terbaik.
Anda melihat ada hambatan soal regulasi?
Menurut saya akan butuh waktu yang tidak sedikit untuk membuat kebijakan yang tepat. Di negara-negara lain, saya sudah melihat berbagai peraturan, ada feed in tariff, ada proses tender, lelang, ada kombinasi insentif fiskal dan subsidi. Sekali lagi, ini bukan masalah sistem, tapi keamanan.
Artinya investor harus merasa nyaman menggelontorkan uang mereka dalam jangka panjang dengan jaminan akses dialog terbuka dengan otoritas, karena ini berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru, pemerliharaan dan operasional yang tentu akan menguntungkan masyarakat lokal. Pemerintah Indonesia sudah tahu apa yang dilakukan, mereka juga bisa belajar dari negara lain yang berhasil mengembangkan EBT.
ADVERTISEMENT
Saya harap akan ada kebijakan yang benar-benar jelas untuk menarik investor, terutama asing, didukung komitmen kuat dari pemerintah pusat dan daerah. Pasar EBT di Indonesia masih 'fresh', muda dan besar. Kami berharap bisa membawa pengalaman baru dalam EBT seperti yang telah kami lakukan di Eropa dan Afrika Selatan.