Nurhadi Diduga Punya Aset Mewah, KPK Dinilai Layak Jerat dengan Pencucian Uang

21 Juli 2020 17:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ICW dan Lokataru mendesak KPK menjerat Nurhadi dengan tindak pidana pencucian uang. Mantan Sekretaris Mahkamah Agung itu dinilai mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
ADVERTISEMENT
"Pada hari ini Indonesia Corruption Watch dan Lokataru mengirimkan surat kepada KPK agar segera mengembangkan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada wartawan, Selasa (21/7).
Dalam penelusuran ICW bersama dengan Lokataru, ditemukan dugaan sejumlah kepemilikan aset milik Nurhadi. Termasuk tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, 4 lahan usaha kelapa sawit, 8 badan hukum baik dalam bentuk PT maupun UD, 12 mobil mewah, serta 12 jam tangan mewah.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi (kedua kiri) berjalan keluar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/6). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
ICW dan Lokataru menduga harta kekayaan itu dimiliki Nurhadi secara tak wajar. Kekayaan yang dimiliki Nurhadi dinilai tidak berbanding lurus dengan penghasilan resminya saat menjabat di Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
"Sehingga, patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," ucap Kurnia.
Kurnia Ramadhan, peneliti ICW. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
KPK pun dinilai layak mengusut pihak-pihak yang diduga terlibat dalam perkara itu. Bahkan menurut ICW, KPK dapat menerapkan pasal pencucian uang kepada mereka bila terbukti ada indikasi keterlibatan.
"KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya. Instrumen hukum yang dapat digunakan oleh lembaga anti rasuah ini adalah Pasal 5 UU TPPU (pelaku pasif) dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar," ungkap Kurnia.
Penjeratan tindak pidana pencucian uang terhadap Nurhadi juga dinilai justru akan mempermudah kerja KPK. Pertama, penyelidikan dan penyidikan dinilai tidak akan lagi diwarnai dengan resistensi dan intervensi pihak tertentu. Sebab pengusutannya menggunakan metode follow the money.
ADVERTISEMENT
Kedua, penerapan pasal itu sejalan dengan konsep pemidanaan yang berorientasi pada pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi. "Hal ini mengingat korupsi sebagai financial crime tentu pola pemidanaan tidak bisa hanya bergantung pada hukuman badan semata, namun mesti mengarah pada pemiskinan pelaku kejahatan," jelas Kurnia.
Ketiga, memudahkan proses unjuk bukti bagi Jaksa Penuntut Umum. Kurnia merujuk Pasal 77 Undang-undang TPPU bahwa beban pembuktian ada di tangan terdakwa.

Kasus Nurhadi

Dalam kasusnya, Nurhadi dijerat sebagai tersangka dalam dua perkara, yakni suap dan gratifikasi. Dalam perkara suap, Nurhadi diduga menerima Rp 33,1 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto. Suap diduga diberikan melalui menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.
Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT Multicon Indrajaya Terminal yang berperkara di MA.
ADVERTISEMENT
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
Nurhadi (tengah) dan Riesky Herbiyono (kanan) usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
Namun, KPK membuka kemungkinan untuk mengembangkan kasus Nurhadi, Termasuk kemungkinan untuk menjeratnya dengan pasal pencucian uang.