MK Nilai Semua Napi Termasuk Koruptor Layak Dapat Remisi, Apa Kata KPK?

4 Oktober 2021 12:20 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi menilai semua narapidana mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan remisi dari Kementerian Hukum dan HAM. Tak terkecuali napi kejahatan luar biasa seperti korupsi serta narkoba.
ADVERTISEMENT
Hal itu termuat dalam pertimbangan hakim terkait gugatan yang diajukan oleh advokat senior Otto Cornelis Kaligis. OC Kaligis merupakan terpidana korupsi terkait suap hakim.
Ia mengajukan gugatan uji materiil terkait Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Yakni mengenai pemberian remisi yang diatur dalam Pasal 14. Pasal itu menyatakan bahwa napi yang berhak mendapat remisi ialah mereka yang sudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 diatur bahwa salah satu syarat remisi bagi napi terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya ialah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Oc Kaligis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
OC Kaligis yang merupakan napi korupsi itu mengaku terganjal dalam mendapatkan remisi dengan adanya ketentuan itu. Sebab, OC Kaligis tidak pernah mendapat status saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) dari KPK.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan yang dibacakan pada 30 September, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut.
"Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," bunyi putusan dikutip dari situs MK, Senin (4/10).
Meski demikian, ada pertimbangan hakim dalam putusan itu yang menjadi sorotan. Yakni MK menilai bahwa semua terpidana, termasuk kasus korupsi, berhak mendapatkan remisi.
Menurut MK, teknis pelaksana dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan harus mempunyai semangat mengakomodir dan memperkuat pelaksanaan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
"Berkaitan dengan hal tersebut, maka sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," bunyi pertimbangan MK.
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung. Foto: Bagus Ahmad Rizaldi/ANTARA
MK berpendapat bahwa seorang napi harus tetap diberikan hak-hak yang bersifat mendasar selama menjalani penahanan. Prinsipnya, satu-satunya hak yang hilang ialah hak untuk hidup bebas dengan menjalani penahanan.
ADVERTISEMENT
"Menurut Mahkamah, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995," kata MK.
"Sebab, pada dasarnya segala fakta dan peristiwa hukum yang terjadi berkaitan dengan suatu tindak pidana yang disangkakan maupun didakwakan kepada seseorang harus diperiksa di persidangan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan. Termasuk misalnya terdakwa yang dinilai tidak mau mengakui perbuatannya maupun tidak secara jujur mengakui keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana yang dimaksud, tentu akan menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman pidana," bunyi pertimbangan MK.
ADVERTISEMENT
MK menilai bahwa ketika seseorang berstatus narapidana, maka menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan. Kewenangan penyidikan, penuntutan, sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir.
"Terlebih, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak-belakang dengan semangat pembinaan warga binaan. Artinya, lembaga pemasyarakatan di dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan hak remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan, dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya," papar MK.
Meski demikian, gugatan OC Kaligis tetap ditolak oleh MK. Gugatannya dinilai tidak beralasan hukum.

Tanggapan KPK

Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Terkait putusan dan pertimbangan MK tersebut, KPK memberikan tanggapan. Dalam penanganan suatu perkara, KPK fokus pada sesuai tugas yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan pengadilan. Pembinaan terhadap narapidana korupsi sepenuhnya menjadi kewenangan Ditjen Pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, KPK berharap pemberantasan korupsi dari hulu ke hilir harus saling terintegrasi. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang penanganannya bukan saja demi rasa keadilan.
"Tapi juga harus bisa memberi efek jera kepada pelaku, menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar mencegah perbuatan serupa terulang, serta bisa memberi manfaat bagi negara melalui pemulihan asetnya," kata plt juru bicara KPK Ali Fikri.
Berangkat dari prinsip itu, KPK berharap adanya komitmen semua pihak dalam pemberantasan korupsi.
"Syarat keberhasilan pemberantasan korupsi tersebut adalah komitmen dan dukungan penuh seluruh pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah, pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan segenap elemen masyarakat," kata Ali.

Kasus Suap OC Kaligis

Terpidana kasus suap Ketua PTUN Medan OC Kaligis mengikuti sidang pengajuan PK di Pengadilan Tipikor. Foto: Antara/Aprillio Akbar
OC Kaligis terseret kasus hukum karena dia menyuap hakim PTUN Medan. Ia terbukti bersalah menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar 27.000 dolar AS dan 5.000 dolar Singapura. Uang tersebut berasal dari mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evy Susanti. Suap diberikan agar Gatot terhindar dari penyelidikan kasus dugaan korupsi Bansos di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tipikor menjatuhkan pidana selama 5,5 tahun kepada OC Kaligis atas perbuatannya tersebut. Pengadilan Tinggi DKI lantas memperberat hukumannya menjadi 7 tahun penjara. Bahkan pada tahap kasasi, MA kembali memperberat hukuman menjadi 10 tahun.
Namun hukumannya mendapat potongan setelah Mahkamah Agung mengabulkan PK-nya. Hukuman terhadap OC Kaligis menjadi 7 tahun.