Menggusah Wabah: Imunisasi Indonesia dari Masa ke Masa

14 Desember 2017 17:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Imunisasi Measles Rubella (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Imunisasi Measles Rubella (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pergerakan antivaksin di Indonesia semakin marak. Mereka menolak vaksinasi dengan berbagai alasan, mulai dari yang religius sampai konspiratif.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, pernyataan mereka tidak didukung dengan data yang kuat. Seperti kata Bachtiar Nasir dalam sebuah ceramah, dia mengatakan bahwa imunisasi itu haram dan tidak perlu.
Padahal fakta yang ada menunjukkan, sebelum imunisasi, penyakit seperti cacar, campak, dan sebagainya jadi mewabah. Imunisasi berhasil menekan angka penyakit-penyakit tersebut di Indonesia secara signifikan.
Sepanjang sejarah, penyakit menular seperti cacar dan campak telah memakan banyak korban di seluruh dunia. Stanley A Plotkin, Walter A Orenstein, Donald A. Henderson, dan Bernard Moss menuliskan dalam buku mereka, di Eropa pada abad ke-18, sekitar 400 ribu nyawa melayang karena cacar setiap tahun. Sampai akhirnya pada tahun 1796, Edward Jenner, menemukan vaksin pertama di dunia, yakni untuk penyakit cacar.
ADVERTISEMENT
Pusat Penanganan dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, dalam sebuah rilisnya, April 1999, menyatakan bahwa vaksinasi adalah satu dari sepuluh pencapaian terbaik di bidang kesehatan masyarakat pada abad 20. Karena adanya vaksinasi, taraf kesehatan masyarakat meningkat secara signifikan.
Mengutip WHO, berdasarkan data yang disajikan Gap Foundation, imunisasi menjadi faktor utama pencegah kematian anak. Hal itu berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi negara menjadi lebih maju.
Dari data tersebut, diketahui bahwa setiap 1 dolar AS yang digunakan dalam investasi imunisasi, dapat menghemat 16 dolar AS tabungan kesehatan dan akhirnya meningkatkan produktivitas ekonomi seseorang.
Dengan adanya vaksin, orang-orang tak perlu lagi khawatir anaknya terjangkit polio, cacar, campak, difteri, dan lain-lain. Dalam beberapa kasus, suatu negara bahkan dapat terbebas sama sekali dari penyakit-penyakit tersebut.
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi salah satu contoh. Melalui program imunisasi, jumlah pengidap polio bisa ditekan sampai 1 persen dibanding sebelum imunisasi dilakukan.
“Apapun yang Anda baca atau dengar, vaksin akan memicu respons imunitas tubuh terhadap suatu penyakit berbahaya, tanpa risiko kematian atau cacat yang mungkin akan disebabkan penyakit itu,” tulis Flavia Bustreo, asisten Dirjen Keluarga, Wanita, dan Anak-anak WHO, dalam tulisannya di situs WHO.
Lalu bagaimana dengan imunisasi di Indonesia? Apakah imunisasi memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat seperti klaim WHO?
Imunisasi Vaksin Difteri di Puskesmas Pondok Benda (Foto:  Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Imunisasi Vaksin Difteri di Puskesmas Pondok Benda (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
Berdasarkan catatan WHO, Indonesia sudah melakukan program imunisasi untuk penyakit cacar sejak 1950-an. Namun, imunisasi kala itu belum dilakukan dalam skala besar seperti sekarang. Manajemennya pun masih jauh dari kata baik.
ADVERTISEMENT
Itu terbukti dari pecahnya wabah cacar pada 1967. Saat itu, wabah bermula di Jawa Timur dan akhirnya merebak ke provinsi lain. WHO mencatat ada sekitar 100 ribu kasus di Jawa --dan itu belum termasuk kasus yang terjadi di pulau lain.
Untuk mengatasinya, pemerintah memutuskan untuk melakukan program pembasmian cacar dengan bantuan WHO. Operasi imunisasi bermula di Jawa dan Bali pada 1968, lalu bersambung ke pulau-pulau lain selama setahun kemudian.
Strategi yang pemerintah terapkan saat itu adalah imunisasi dari desa ke desa. Demi melaksanakan strategi tersebut, pemerintah membentuk tim beranggotakan 3-4 orang untuk menyambangi masing-masing desa.
Sayangnya, strategi itu tidak berjalan maksimal. WHO menilai eksekusi di lapangan dan pengawasan dari pusat masih lemah. Sistem pengawasan dan pelaporan penyakit pun masih perlu banyak perbaikan.
Imunisasi rubella di Amerika tahun 1970-an (Foto: Dok. National Museum of American History)
zoom-in-whitePerbesar
Imunisasi rubella di Amerika tahun 1970-an (Foto: Dok. National Museum of American History)
Hal yang ditakutkan pun terjadi. Pada 14 Desember 1971, Indonesia lagi-lagi mengalami wabah cacar di Sepatan, Tangerang.
ADVERTISEMENT
Wabah itu berawal dari banyaknya kasus cacar yang tidak dilaporkan petugas setempat ke pemerintah pusat. Alasannya, mereka takut dihukum karena dianggap tidak mampu mengendalikan wabah di daerahnya.
Pemerintah segera menangani kasus tersebut agar wabah tidak tersebar luas. Tidak ada catatan pasti soal bagaimana pengananan dilakukan, namun, wabah berhasil dihentikan ketika baru mencapai 3 desa. Akhirnya, pada 23 Januari 1972, Desa Gaga dan Kuhandap menjadi dua desa terakhir yang terkena wabah cacar di Indonesia.
Dua tahun setelah itu, perwakilan WHO datang ke Indonesia untuk melihat apakah Indonesia sudah aman dari cacar. Pada 25 April 1974, WHO menyatakan Indonesia bebas cacar sepenuhnya.
Ilustrasi cacar (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cacar (Foto: Wikimedia Commons)
Kasus difteri pun tak kalah besar. Pada tahun 1990 hingga 2000, Indonesia mengalami sebanyak 9482 kasus. Angka tersebut sangat besar, menjadi nomor dua paling tinggi di dunia dan hanya kalah dari India yang berjumlah 53.503 kasus.
ADVERTISEMENT
Namun pada dekade selanjutnya, angka ini terus mengalami penurunan di tahun-tahun berikutnya. Dalam rentang waktu 2011-2015, hanya terdapat 3.203 kasus di Indonesia, dari 26.363 kasus yang tercatat di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, angka difteri dapat ditekan lewat imunisasi DPT rutin yang dilakukan tiap tahun. Pemerintah mewajibkan setiap anak yang duduk di bangku kelas 1 SD untuk mendapatkan imunisasi tersebut.
Merujuk data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi DPT pada periode 2007-2015 mencapai 90%-100%. Meski demikian, di tahun-tahun tersebut, jumlah kasus difteri justru cenderung meningkat. Provinsi Jawa Timur menjadi kontributor terbesar, yakni sebesar 74 persen dari seluruh kasus di Indonesia pada 2014.
Penyakit lain yang angkanya sudah jauh tertekan di Indonesia adalah polio. Pada 1984, ada lebih dari 800 kasus polio yang tercatat. Setelah pengawasan dan imunisasi yang gencar selama 10 tahun, hanya ada 24 kasus pada 1994.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh operasi imunisasi terjadi pada 30 dan 31 Agustus 2005. Saat itu, lebih dari 750 ribu petugas kesehatan mendatangi rumah warga di seluruh Indonesia untuk melakukan vaksinasi terhadap 24 juta balita. Ini menjadi perwujudan program Pekan Imunisasi Nasional yang rutin pemerintah adakan setiap tahun.
Imunisasi polio secara massal di Indonesia pertama kali dilakukan pada 1995, dan sejak saat itu pula, Indonesia dinyatakan bebas polio. Kasus terakhir polio di Indonesia ada di Probolinggo, Jawa Tengah. Pengidapnya hanya satu orang pada 23 Juni 1995.
Imuniasai polio pada anak (Foto: Instagram/@sylviabongo)
zoom-in-whitePerbesar
Imuniasai polio pada anak (Foto: Instagram/@sylviabongo)
"Ini tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan masyarakat dan perencanaan yang matang dari pemerintah," kata Nyoman Kandun, mantan Dirjen Penanganan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan tahun 2005-2008 kepada WHO. Dia mengungkapkan, tanpa kolaborasi dari semua pihak, upaya pemerintah untuk memberantas penyakit lewat imunisasi tidak akan berhasil.
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah yang dimaksud Nyoman adalah Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Program tahunan pemerintah ini memberikan imunisasi gratis bagi seluruh warga Indonesia.
Selain PIN, sebetulnya pemerintah telah menerapkan Program Pengembangan Imunisasi semenjak 1977. Itu merupakan program yang dicanangkan WHO untuk membasmi penyakit-penyakit infeksi yang mematikan.
Melihat lebih jauh, imunisasi sebenarnya sudah sampai ke Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam bukunya Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2005), A A Loedin menjelaskan bahwa vaksin cacar pertama datang ke Batavia pada Juni 1804.
Menurut Peraturan Dinas Kesehatan Sipil tahun 1820, program imunisasi dilaksanakan rutin setiap minggu di bawah pengawasan seorang inspektur. Menurut Loedin, pola tersebut masih jauh dari kata sempurna.
Vaksin-vaksinnya pun masih didatangkan dari Eropa, sehingga jangkauan imunisasinya masih sangat terbatas. Baru pada 1884, dr. Schucknik Kool berhasil membuat vaksin dengan menggunakan sapi sebagai tempat pembiakan di Meester Cornelis (Jatinegara).
Ilustrasi vaksin untuk anak. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin untuk anak. (Foto: Thinkstock)
Sejak saat itu ilmu vaksinasi cacar terus disempurnakan oleh pribumi terdidik. Bahkan saat ini, Indonesia menjadi salah satu basis produksi vaksin yang diakui WHO lewat BUMN Biofarma.
ADVERTISEMENT
Menurut sebuah jurnal berjudul Imunisasi: Sejarah dan Masa Depan, yang dibuat oleh Samsuridjal Djauzi dan Dirga Sakti Rambe, statistik menunjukkan cakupan imunisasi nasional sudah cukup baik setiap tahunnya. Kejadian penyakit spesifik yang dapat dicegah dengan vaksinasi juga relatif menurun.
Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki vaksin BCG, DPT, Hepatitis B, Campak dan Polio. Imunisasi vaksin-vaksin tersebut pun terus dilakukan secara rutin. Daftar vaksin ini juga diharapkan terus bertambah. Masih menurut jurnal di atas, setidaknya sebanyak 300 uji klinis tengah berlangsung untuk vaksin-vaksin baru.
Infografis Difteri (Foto: Muhammad Faisal Nu'man)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Difteri (Foto: Muhammad Faisal Nu'man)
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!