Cover Krispi - LIPSUS Gagap Hadapi Corona

Membendung Resah akibat Corona

9 Maret 2020 11:55 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gagap hadapi corona. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gagap hadapi corona. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Silang kata antara pemerintah pusat dan pejabat daerah soal virus corona menambah daftar kekalutan masyarakat. Suka atau tidak, COVID-19 harus dihadapi.
Devina panik setelah Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien asal Depok, Jawa Barat, positif mengidap coronavirus. Ia teringat pada putri ciliknya yang sedang kurang enak badan, dan spontan mencari alat perlindungan pertama yang terlintas di benaknya: masker.
Ponsel segera ia buka untuk membeli masker via online shop. Nyatanya, seluruh masker telah ludes terjual. Ia hanya bisa memesan pre-order, yang artinya butuh waktu lebih lama untuk sampai ke tangannya.
Devina tak sabar dan langsung menghubungi sejumlah penjual masker untuk menanyakan ketersediaan stok. Baginya, yang penting masker didapat. Sedikit cekcok dengan pedagang masker tak mengapa.
“Ayo dong, Mbak. Satu atau dua masker aja. Kalau ada, langsung saya bayarin,” kata Devina.
Tentu tak semudah itu, sebab masker memang seolah jadi barang langka usai coronavirus resmi masuk Indonesia. Kalau pun ada yang jual, harganya hampir pasti melambung tinggi.
“Biasanya beli cuma Rp 30 ribu. Kemarin Rp 300 ribu cuma satu boks,” ujar Devina yang akhirnya mendapat dua boks masker dengan harga melejit itu.
Pasar Pramuka diserbu warga yang mencari masker. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Devina hanya satu di antara yang banyak. Bukan cuma ia yang memburu masker. Pasar Pramuka di Jakarta Timur, misalnya, diserbu ratusan orang yang mencari masker dan hand sanitizer. Hal yang sama terjadi di berbagai apotek, pasar swalayan, maupun minimarket.
Banyak apotek sampai memampang pengumuman “MASKER HABIS” atau “STOK MASKER KOSONG” agar apoteker mereka tak terus-menerus ditanyai pertanyaan serupa oleh para pemburu masker.
Pada situasi begini, sialnya, sebagian orang malih rupa jadi kriminal. Mereka menimbun masker dan menjualnya dengan harga selangit. Tak heran Presiden meperintahkan Polri untuk menindak tegas penimbun-penimbun masker. Menurut Jokowi, stok masker di Indonesia mestinya masih amat cukup.
Panic buying di AEON Mall BSD City, Tangerang Selatan. Foto: Izar Zarona/kumparan
Selain mencari-cari masker, sebagian warga juga mengalami panic buying. Mereka memborong bahan kebutuhan pokok dan makanan instan dalam jumlah banyak. AEON Mall BSD City di Tangerang Selatan menjadi salah satu pusat perbelanjaan yang diserbu masyarakat.
Di sana, deret etalase sembako terlihat kosong melompong, sementara antrean di kasir mengular panjang. Warga memenuhi troli dengan pelbagai bahan makanan, dan harus rela antre dua jam untuk membayar itu semua.
Data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia mencatat lonjakan pengunjung toko ritel 10-15 persen usai Jokowi mengumumkan kasus positif corona pertama di Indonesia.
Kepanikan juga melanda sebagian warga Studio Alam Indah—perumahan di Depok yang menjadi tempat tinggal dua penderita COVID-19. Kompleks sempat mendadak sepi karena warga memilih berdiam di dalam rumah.
Ketua RT setempat, Teguh Prawiro, mengatakan warga sangat kaget mendengar kabar dua tetangga mereka terinfeksi virus corona. Ia menyayangkan informasi pemerintah yang terkesan lamban. Warga tak langsung diberi penjelasan tentang apa saja yang perlu mereka lakukan saat salah satu di antara mereka terkena corona.
Warga semakin panik ketika aparat yang datang ke lokasi justru memasang garis polisi di depan rumah penderita corona. Tak kurang dari Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, dr. Mohammad Syahril, ikut mengkritik langkah kepolisian itu.
“Tolong jangan berlebihan tracking ya. Jangan pakai police line. Itu membuat masyarakat tidak nyaman dan takut,” ujar Syahril di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Kamis (5/3).
Kapolsek Sukmajaya Depok AKP Ibrahim Sajab lantas mengatakan, pemasangan police line itu untuk “pengamanan” karena rumah sedang diisolasi.
Namun, imbas langsung dirasakan warga Studio Alam Indah. Salah seorang di antara mereka, Bambang, diistirahatkan sementara oleh kantornya karena kediamannya berada di kompleks yang sama dengan penderita corona.
Warga lain, Qori, mengatakan putranya tak diperbolehkan masuk kerja sebelum mengantongi surat keterangan sehat atau sertifikat bebas corona.
Yang juga menjengkelkan, warga jadi kesulitan memesan layanan ojek online. Musababnya, para driver terus-menerus meng-cancel pesanan lantaran ketakutan terpapar virus corona jika menjemput penumpang di perumahan itu.
Jejak Pertama Corona di Indonesia. Desainer: Maulana Saputra & Nadia Wijaya/kumparan
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengkritik keras kebocoran data pribadi pasien positif corona, sampai-sampai identitas dan alamat mereka tersebar luas di tengah publik. Alhasil, pasien dan lingkungannya menerima berbagai stigma dan tudingan dari masyarakat.
Di sisi lain, bocornya identitas pasien COVID-19 menunjukkan kegagapan pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana corona. Pula, di awal corona resmi masuk Indonesia, para pejabat pusat dan daerah justru saling tuding alih-alih membuat situasi kondusif.
Menko Polhukam Mahfud MD, misal, meminta kepala daerah tidak mencari panggung dan menebar kepanikan di tengah masyarakat. “Masyarakat harus ditenangkan. Pemerintah siap dan mampu menangani masalah corona,” ujarnya di Jakarta, Selasa (3/3).
Wali Kota Depok Mohammad Idris yang dituding sebagai pihak pertama yang menyebarkan alamat pasien, membantah mencari panggung. Ia mengatakan hanya melayani pertanyaan wartawan. “Media telepon (saya), ya gimana. Ada juga yang enggak saya bales,” kata dia.
Idris balik menuduh pemerintah pusat lambat mengabari soal dua warganya yang terjangkit corona. Ia baru tahu dua penduduknya positif corona ketika Presiden Jokowi mengumumkan di Istana Merdeka.
“Baru dapat informasi hari Senin, sudah positif. Loh, positifnya gimana? Harusnya dilakukan tindakan cepat,” kata Idris kepada kumparan, Rabu (4/3).
Mohammad Idris, Wali Kota Depok. Foto: Laurens/kumparan
Persoalan komunikasi antar-pejabat mau tak mau turut bikin resah. Tak ada protokol dalam menyampaikan informasi ke publik, sehingga sejumlah pejabat malah mengeluarkan statement yang cenderung kontroversial dan mengundang kemarahan publik di tengah gaduh corona.
Contohnya, ketika Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebut kelangkaan masker sebagai kesalahan para pembelinya. Orang sehat, ujarnya, tak perlu mengenakan masker. Tak lupa, ia meminta masyarakat untuk salat istigasah dan berdoa.
Presiden Jokowi dan Menkes Terawan saat konferensi pers soal virus corona di Istana Merdeka. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Sadar informasi perkara corona simpang siur, Presiden Jokowi akhirnya menyusun protokol penanganan virus corona, sehari usai mengumumkan kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia. Ia juga menunjuk Achmad Yurianto, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, sebagai juru bicara pemerintah terkait penanganan coronavirus.
Namun, dua langkah terbaru itu tak lantas mengakhiri persoalan komunikasi pemerintah. Baru satu hari setelah protokol tersusun, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut pemerintah akan mengeluarkan sertifikat bebas corona agar masyarakat tak panik.
Kepala KSP Moeldoko menambahkan, WNA asal Italia, Iran, dan Korea juga harus membawa sertifikat bebas corona jika ingin masuk ke Indonesia. Ini kemudian dibantah Yurianto. Menurutnya, sertifikat bebas corona tak berguna untuk mengantisipasi penyebaran SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19.
Yurianto menyatakan, pemerintah RI akan menyelisik riwayat perjalanan orang-orang dari luar negeri sesuai protokol kesehatan yang berlaku.
“Tidak ada gunanya surat keterangan bebas corona. Enggak ada manfaatnya,” tandas Yurianto.
Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah RI terkait penanganan coronavirus. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hingga Minggu, 8 Maret 2020, pemerintah menyatakan kasus positif corona di Indonesia mencapai enam orang, dengan keenam pasien tersebut dalam kondisi stabil.
COVID-19 yang masih berkerabat dengan SARS dan MERS, memang mampu menyebar lebih cepat ketimbang dua pandemi pendahulunya itu. Virus ini masuk ke tubuh manusia lewat kontak tangan ke wajah atau benda-benda yang disentuh.
Yang perlu diingat, meski angka kematian akibat corona di beberapa negara cukup tinggi, namun jumlah penderita yang pulih saat ini sudah jauh lebih banyak ketimbang mereka yang meninggal. Artinya: pasien yang terinfeksi virus corona dapat disembuhkan.
Grafik kasus infeksi dan pasien pulih COVID-19. Warna hijau menunjukkan peningkatan angka kesembuhan. Foto: Dok. John Hopkins CSSE
Tingkat kematian akibat virus corona ialah 6 persen dari total angka penyebaran kasusnya. Jumlah itu sesungguhnya masih lebih kecil ketimbang skala kematian akibat SARS (10 persen) dan MERS (30 persen).
Pun begitu, ujar Ketua Magister Ilmu Kedokteran Kerja Universitas Indonesia dr. Dewi Sumaryani Soemarko, masyarakat tidak boleh menyepelekan virus corona. Mereka yang memiliki mobilitas tinggi, wajib menjaga daya tahan tubuh.
– Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan
Jangan panik dengan corona. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten