Membedah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Apa Isinya?

13 April 2022 14:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DPR RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU. Pengesahan RUU TPKS diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, Selasa (12/4) kemarin.
RUU TPKS sudah diperjuangkan sejak 2016. Pembahasannya pun mengalami berbagai dinamika, termasuk berbagai penolakan.
Puan mengatakan, pengesahan RUU TPKS ini menjadi tonggak bersejarah salah satu perjuangan masyarakat karena akhirnya mengesahkan RUU TPKS.
“Rapat hari ini merupakan momen bersejarah yang ditunggu-tunggu masyarakat. Hari ini, RUU TPKS akan disahkan dan menjadi bukti perjuangan bagi korban-korban kekerasan seksual,” kata Puan.
Lalu apa yang menjadi fokus dalam UU TPKS ini? Mari kita simak.
Dari naskah UU TPKS setebal 66 halaman dan berisi 93 pasal, kumparan mengekstrak kata kunci yang paling sering muncul di dalamnya. Hal ini dapat menjadi cerminan terkait fokus yang dibahas dalam UU TPKS.
Hasilnya, kata ‘korban’ yang paling banyak muncul dengan total 213.
Kata tersebut memang menjadi fokus dalam UU TPKS. Bahkan, disahkannya UU ini memang didasarkan oleh para korban kekerasan seksual yang sebelumnya dinilai tidak memiliki perlindungan yang jelas secara hukum.
Hal tersebut dapat ditemukan pada halaman pertama naskah UU TPKS, dalam bagian Menimbang, poin c:
Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi hak kebutuhan korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara.
Tak hanya itu, pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 3 poin b, juga disebutkan bahwa substansi dalam UU TPKS bertujuan untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban.
Selain kata ‘korban’, kata lain yang sering muncul yakni ‘pidana’, ‘seksual’, dan ‘kekerasan’.
Kata Kunci di UU TPKS. Foto: kumparan
Tak hanya ‘korban’, kata ‘pidana’ juga menjadi fokus yang penting. Mengingat UU ini juga menjadi patokan hukum yang jelas bagi para pelaku tindak kekerasan seksual.
RUU TPKS memuat 9 jenis kekerasan seksual yang diatur yakni pelecehan fisik, nonfisik, kekerasan berbasis elektronik, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seks.
UU itu mengatur bahwa ancaman pidana pelecehan fisik maksimal 12 tahun penjara. Sementara itu, seseorang yang memaksakan perkawinan diancam dengan pidana 9 tahun penjara.
Meski begitu, UU itu menyebut bahwa beberapa profesi dapat dijatuhi hukuman lebih berat daripada ancaman di atas. Hukumannya bahkan ditambah 1/3 ancaman pidana.
Mereka adalah tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban.
Jadi, jika seorang pendidik yang diberi mandat tersebut melakukan pelecehan fisik, maka ancaman maksimal pidananya adalah 12 tahun penjara + 4 tahun penjara. Totalnya menjadi 16 tahun lantaran ditambah 1/3 ancaman hukuman.
Infografik UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Foto: kumparan
Selain profesi-profesi tersebut, beberapa orang yang bisa dikenakan ancaman hukuman tambahan adalah keluarga hingga pejabat publik. Selain itu, perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan hamil, penyandang disabilitas, hingga anak-anak juga dapat tambahan hukuman 1/3.
Berikut bunyi pasal 15 (1)
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika:
a. dilakukan dalam lingkup Keluarga;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan;
c. dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;
d. dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya;
e. dilakukan lebih dari 1 (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang;
f. dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu;
g. dilakukan terhadap Anak;
h. dilakukan terhadap Penyandang Disabilitas;
i. dilakukan terhadap perempuan hamil;
j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
k. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang;
l. dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik;
m. mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular;
n. mengakibatkan terhentinya dan/atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/atau
o. mengakibatkan Korban meninggal dunia.
Naskah lengkap UU TPKS dapat dibaca di bawah ini:
****
kumparan bagi-bagi starter pack kuliah senilai total Rp 30 juta untuk peserta SNMPTN 2022. Lolos atau nggak, kamu bisa tetap ikutan, lho! Intip mekanismenya di LINK ini.