Melawan Catcalling, Cemooh yang Dibungkus Pujian dan Siulan

4 Juli 2022 10:24 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilutrasi catcalling. Foto: KatarzynaBialasiewicz / Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilutrasi catcalling. Foto: KatarzynaBialasiewicz / Getty Images
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Vina menceritakan pengalamannya di-catcalling oleh sekelompok pria paruh baya di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Senin (13/6). Sampai sekarang ia masih kesal, geram, dan ingat betul kejadian tersebut.
Banyak perempuan yang mengalami peristiwa tersebut. Dengan secara tiba-tiba mendapatkan ‘pujian’ dan disertai dengan siulan oleh seorang laki-laki yang tak dikenal.
Munculnya fenomena tersebut, menjadikan suatu pujian tidak selalu memiliki makna yang indah. Adanya oknum-oknum jahil yang memanfaatkan hal tersebut, alih-alih sebagai bahan candaan atau keisengan semata.
Menurut korbannya, siulan yang dilontarkan membuat ia merasa tak nyaman. Rasanya seperti serba salah. Seolah-olah untuk seorang perempuan memiliki ruang aman dan nyaman sangatlah sulit.
“Lagian sih pakaiannya terlalu terbuka!” ujar salah seorang korban kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi pakaian atau penampilan yang dituduh menjadi sumber permasalahannya. Padahal, perempuan yang berpakaian tertutup pun juga jadi target para oknum tak bertanggung jawab tersebut.
Pujian dengan tujuan menggoda, siulan, maupun komentar yang bersifat seksual dari orang yang tak dikenal yang dilakukan di tempat umum, itulah yang dikenal dengan istilah dengan catcalling. Catcalling dapat terjadi di mana pun dan masih jadi suatu keresahan khususnya bagi para perempuan.
Masih belum banyak orang yang mengetahui bahwa siulan dan godaan yang dilontarkannya termasuk ke dalam pelecehan seksual secara verbal. Kebanyakan orang masih mengartikan tindakan catcalling sebagai candaan biasa dan sudah menormalisasikan tindakan tersebut.
Asal Muasal Fenomena Catcalling
Eksperimen cat calling di jalanan Surabaya, Jawa Timur Foto: Devi Pattricia/kumparan
Seorang psikolog yang juga tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Phebe Illenia Suryadinata mengungkapkan bahwa catcalling muncul dari penerapan budaya patriarki yang menjadi kesalahan budaya sehingga sudah dinormalisasikan.
ADVERTISEMENT
“Karena itu juga merupakan awal bentuk dari kesalahan budaya patriarki ya, maka pada akhirnya ini dianggap sebagai fenomena yang wajar-wajar saja,” ungkap Phebe kepada kumparan, Selasa (14/6).
Menurut Saroha Pinem dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi (2009), dikutip Sabtu (18/6), patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
Dari budaya patriarki ini juga yang menuntut laki-laki untuk harus menunjukkan sisi maskulinitasnya. Namun sayangnya, masih banyak orang yang menganggap bahwa laki-laki yang ‘jantan’ adalah seseorang yang mampu membuat semua perempuan tertunduk padanya.
Hal ini akan memberikan dampak buruk bagi para perempuan. Putri Zaravina atau yang kerap dipanggil Vina, jadi salah satu dari ribuan korban catcalling di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Vina menjelaskan bahwa dirinya merasa takut ketika berjalan melewati kerumunan laki-laki. Ia mencoba berbagai cara agar tidak melewati kerumunan tersebut, bahkan dirinya lebih memilih untuk cari jalan lain dibandingkan harus melewati sekelompok laki-laki itu.
“Biasanya sih karena sering di catcalling jadi suka takut kalau lewat di kerumunan laki-laki gitu. Terus biasanya kalau ngelewatin aku jalan nunduk atau malah aku ambil jalan muter biar nggak ngelewatin mereka,” jelas Vina.
Jika dilihat dari sisi psikologi, semakin sering seseorang menerima catcalling dapat membuat sang korban menarik diri dari lingkungannya. Apabila terus didiamkan akan menimbulkan gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD) pada siapa pun korbannya.
“Kalau misalnya tindakan itu sudah berulang-ulang kali terjadi, otomatis kan membuat korbannya tertekan dia jadi menarik diri dari lingkungannya. Nanti kalau semakin lama seperti itu terus, maka pada akhirnya bisa menjadi suatu gangguan yang namanya post-traumatic stress disorder (PTSD),” ungkap Phebe.
Eksperimen cat calling di jalanan Surabaya, Jawa Timur Foto: Devi Pattricia/kumparan
Korban Bukan Sumber Masalah
ADVERTISEMENT
Kriminolog UI Mamik Sri Supatmi menyatakan bahwa para patriarki menciptakan catcalling untuk membelenggu perempuan, membuat perempuan tak berdaya, tidak sejahtera, dan tidak punya kontrol atas tubuhnya sendiri.
“Padahal itu jelas-jelas ciptaan para patriarki untuk membelenggu perempuan, membuat perempuan tidak berdaya, membuat perempuan tidak sejahtera, tidak mandiri, dan membuat tidak punya kontrol atas tubuhnya sendiri,” tegas Mamik kepada kumparan.
Malah tak jarang, mereka memutar balikkan fakta dengan menjadikan korbannya sebagai sumber permasalahannya. Sudah dilecehkan, disalahkan pula dengan si pelaku yang sebenarnya. Miris bukan?
Mamik juga menyatakan bahwa korban tidak punya kontribusi atas catcalling yang menimpanya dan seharusnya korban dikuatkan bukan malah disalahkan.
“Korban tidak punya kontribusi, korban tidak boleh kita salahkan. Korban juga seharusnya kita kuatkan dan kita ingatkan bahwa dia tidak sendirian, kita juga mengalami, banyak sekali yang mengalami dan itu tidak ada sama sekali kesalahan dari korban,” ungkap Mamik.
ADVERTISEMENT
Perubahan cara pandang masyarakat juga harus berjalan beriringan dengan hukum yang ada di Indonesia. Maka hal tersebut dapat memusnahkan catcalling secara perlahan. Sebab, dengan perubahan cara pandang, artinya laki-laki maupun perempuan memiliki derajat yang sama.
“Tapi hukum di dalam pandangan kriminologi itu kan bukan satu-satunya solusi karena yang lebih penting adalah bagaimana mengubah cara pandang kita. Manusia terhadap relasi sesama manusia semestinya saling menghormati, saling menghargai, bukan memperlakukan orang secara diskriminatif hanya karena perbedaan khususnya terkait dengan perempuan atau gender feminin,” jelas Mamik.
Ribuan Kasus Kekerasan Seksual
Seorang mahasiswi asal Solo Ratrira Shada mengungkapkan, dirinya pernah mendapatkan catcalling yang pada saat itu dirinya masih berusia 11 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
ADVERTISEMENT
Tindakan catcalling tersebut terjadi ketika ia pulang sekolah dan masih menggunakan seragam SD. Peristiwa tersebut masih ia ingat dengan jelas walaupun sudah 10 tahun berlalu. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa terkena catcalling apalagi ketika berjalan sendirian.
“Yang aku inget banget sampai sekarang itu pas aku sekitar umur 11 tahun. Waktu itu habis pulang sekolah, terus ngelewatin satu rumah yang lagi dibangun dan di situ banyak tukang bangunan yang lagi kerja. Mereka bersiul sama bilang aku cantik dan aku masih pakai baju seragam sekolah,” ujar Ratrira ketika ditemui tim kumparan, Kamis (18/6).
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Maryke Hutabarat mengungkapkan catcalling juga menjadi satu dari 21 bentuk kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Hal tersebut tertera dalam Pasal 5 Permendikbud No. 30 Tahun 2021 mengenai kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
“Catcalling termasuk salah satu dari 21 bentuk kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, catcalling tidak boleh diabaikan di mana pun, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan tinggi,” ungkap Rainy melalui pesan singkat, Senin (13/6).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak Januari 2022, per Sabtu (18/9), sebanyak 10.364 total kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan yang paling banyak yaitu kekerasan seksual sebanyak 4.829 kasus.
Korbannya didominasi dengan perempuan sebanyak 9.611 korban. Sementara laki-laki sebanyak 1.608 korban.
Tim kumparan pun melakukan eksperimen dengan menghitung berapa banyak pelaku yang melakukan catcalling di beberapa jalan kota besar di Surabaya dan Bali. Eksperimen dilakukan di Surabaya dengan titik lokasi Jalan Semarang dan Bali dengan titik lokasi yaitu, Jalan Sulawesi, Jalan Raya Puputan, dan Jalan Mayor Wisnu.
ADVERTISEMENT
Melalui hasil pemantauan yang dilakukan selama kurang lebih 5 jam di kedua kota tersebut, ditemukan 5 tindakan catcalling dilakukan dengan berbagai cara. Seperti siulan, digoda, dan diteriaki di titik lokasi Surabaya
“Sini dek, sini!” celetuk seorang pria paruh baya di Jalan Semarang, Surabaya.
Selain itu, sebanyak 3 tindakan catcalling di titik lokasi Bali dalam waktu 5 jam dengan sengaja bernyanyi dan memberikan komentar ketika ada perempuan yang lewat.
Tim kumparan yang baru saja turun dari motor, langsung disambut oleh 3 orang pemuda yang nongkrong-nongkrong. Tanpa sebab mereka malah menggoda dengan nyanyian. Tim kumparan pun langsung bergegas untuk meninggalkan para pemuda tersebut.
Eksperimen cat calling di jalanan Surabaya, Jawa Timur Foto: Devi Pattricia/kumparan
Keadilan bagi Korban
Melihat fenomena catcalling yang marak, sebenarnya Indonesia mempunyai regulasi baru, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan juga pada 12 April yang lalu. Tentunya ini menjadi kabar baik bagi para perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Undang-undang tersebut mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, dan pemidanaan dalam kasus kekerasan seksual dengan perspektif korban
Terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal (4) Ayat (1) UU TPKS, salah satunya mengenai pelecehan seksual nonfisik seperti catcalling. Pasal tersebut berbunyi:
Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
Dalam Pasal (5) UU TPKS juga tertulis bahwa siapapun yang melakukan perbuatan seksual nonfisik akan dikenakan pidana penjara selama 9 bulan dan/atau denda Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 5
“Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Muhammad Fatahillah Akbar menjelaskan sebelumnya tidak ada hukum pidana yang mengatur tindakan catcalling di Indonesia, secara umum hanya dianggap sebatas pelanggaran adat, budaya, dan sopan santun saja.
“Sebenarnya secara hukum catcalling itu sebelum ada Undang-Undang TPKS masuk dalam pelanggaran adat dan budaya, sopan santun, dan susila dalam arti umum,” jelas Akbar kepada kumparan, Rabu (15/6).
Hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan secercah harapan. Seperti pintu gerbang menuju kebebasan yang akhirnya terbuka untuk kesejahteraan para perempuan di Indonesia, serta menjadi mimpi buruk bagi para pelaku yang masih sering melakukan kejadian ya.
“Mungkin pidana ini bisa lahir sebagai bentuk edukasi juga, orang dapat dipidana dengan pasal ini. Kemudian untuk bisa mencegah orang-orang lain tidak melakukannya lagi,” kata Akbar.
ADVERTISEMENT
Ketika tindakan catcalling terus ditoleransikan bahkan dinormalisasi oleh masyarakat, maka secara tidak langsung kita membuka jalan bagi para pelaku kekerasan seksual.
Kini para perempuan memiliki tameng yang melindunginya dari tindakan kekerasan seksual, yaitu Undang-Undang TPKS. Siapa pun yang melanggarnya harus menerima sanksi hukum yang berlaku. Pilihannya ada di tangan si pelaku, mendekam di bui atau berhenti melecehkan perempuan?
Reporter: Rachel Koinonia dan Devi Pattricia