Legalitas Bank dan Jasa Peminjaman Menggunakan Debt Collector saat Menagih Utang

11 Mei 2021 7:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hendry E. Leatomu (kedua dari kiri), debt collector yang kepung mobil di Tol Koja Barat, Jakut saat konferensi pers di Kodam Jaya. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Hendry E. Leatomu (kedua dari kiri), debt collector yang kepung mobil di Tol Koja Barat, Jakut saat konferensi pers di Kodam Jaya. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebanyak 11 orang debt collector ditangkap pihak kepolisian lantaran mengepung anggota Babinsa bernama Serda Nurhadi. Mereka mengepung anggota TNI tersebut saat melakukan penarikan kendaraan pengemudi mobil yang menunggak utang di sebuah jasa pinjaman leasing, namun saat itu tengah ditolong Serda Nurhadi karena mengalami sakit di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kasus serupa kerap terjadi di tengah masyarakat. Debt collector sering melakukan tindakan premanisme dengan mengadang masyarakat yang berutang di tengah jalan, dan mengambil paksa kendaraan yang mereka beli dari hasil pinjaman yang menunggak.
Lalu, bagaimana sebenarnya legalitas seorang debt collector di mata hukum? apakah pihak bank atau perusahaan peminjaman memiliki izin resmi mempekerjakan debt collector untuk menagih utang?
Khusus di bidang perbankan, memang ada aturan UU yang memungkinkan pihak bank atau perusahaan fintech/leasing untuk melakukan penagihan utang dengan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan.
Misalnya untuk pinjaman kartu kredit, hal itu diatur dalam;
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, sebagaimana yang telah diubah oleh peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
ADVERTISEMENT
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (SEBI 2009) sebagaimana telah diubah oleh;
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012 Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (SEBI 2012)
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/25/DKPS Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/51/DKSP Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
ADVERTISEMENT
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/33/DKSP Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
Teror debt collector pinjaman online. Foto: Rivan Dwiastono/kumparan
Dalam melakukan penagihan, baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, bank atau perusahaan fintech/leasing tersebut wajib memastikan tenaga penagihan ini mematuhi etika penagihan utang, antara lain;
a. Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan, atau tindakan yang bersifat mempermalukan peminjam
b. Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan fisik maupun verbal
c. Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak lain selain peminjam
d. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu
e. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili peminjam
ADVERTISEMENT
f. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai pukul 20.00 wilayah waktu alamat peminjam
g. Penagihan di luar tempat dan/atau waktu tersebut di atas hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan pemegang kartu kredit terlebih dahulu
Barang bukti penangkapan debt collector yang kepung mobil di Tol Koja Barat, Jakarta Utara. Foto: Dok. Istimewa

Tak Ada UU Khusus Mengenai Debt Collector

Ilustrasi Debt Collector. Foto: Shutterstock
Pada dasarnya, tak ada aturan UU yang secara khusus mengatur mengenai debt collector. Debt collector ini pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang ke peminjam.
Perjanjian pemberian kuasa (Lastgeving) ini diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian pemberian kuasa menurut Pasal 1792 KUHPerdata, adalah "suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan".
ADVERTISEMENT
Menurut Pasal 1800 sampai dengan Pasal 1803 KUHPerdata, ada 4 kewajiban penerima kuasa;
1. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa tersebut
2. Kewajiban untuk menyelesaikan urutan yang telah dimulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan
3. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya
4. Kewajiban untuk bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya
Apabila si penerima kuasa--dalam hal ini debt collector-- melakukan tindakan kekerasan atau melakukan perampasan kendaraan si peminjam, maka ia bisa dijerat hukum. Misalnya, apabila debt collector tersebut melontarkan tindakan kasar kepada si peminjam, maka ia dapat dijerat Pasal 310 KUHP Tentang Penghinaan.
ADVERTISEMENT
Mereka juga dapat dijerat Pasal 332 Ayat (1) KUHP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-IX/2013, yang berbunyi; Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500.

Debt Collector Tak Boleh Pakai Preman

Foto pelaku debt collector yang kepung mobil di Tol Koja Barat, Jakarta Utara. Foto: Dok. Istimewa
Kasus Serda Nurhadi bermula ketika orang yang ditolongnya melakukan peminjaman online untuk pembelian mobil ke sebuah perusahaan leasing, dan orang tersebut telah menunggak pinjaman selama 8 bulan.
Meski secara aturan mereka diperbolehkan menggunakan pihak ketiga--dalam hal ini debt collector--untuk menagih utang, namun mereka tak boleh memakai aksi kekerasan dan premanisme dalam penagihan.
ADVERTISEMENT
Direktur Pelayanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus Fajri mengatakan, premanisme dan kekerasan oleh debt collector adalah aksi yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
"Ada tiga, perilaku debt collector yang tak beretika, permintaan restrukturisasi, dan banyak terkait dengan kendala sistem yang disediakan perusahaan masing-masing," ujar Agus, 12 Desember 2018.
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
Atas dasar ini, Agus juga mengingatkan masyarakat untuk menggunakan jasa leasing atau fintech yang legal. Karena seharusnya, penyedia jasa yang legal tak akan menggunakan debt collector yang tak sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 77. Apabila debt collector ini melakukan penagihan menggunakan aksi premanisme, maka pihak fintech tersebut harus mengganti kerugian.
"Terkait debt collector yang boleh di-hire yang sudah bersertifikasi. Kalau preman jalanan dijadikan debt collector, ya salah. Kerugian yang ditimbulkan pihak lembaga, dibebankan ke lembaga. Tidak bisa sembarangan yang jadi debt collector," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengimbau masyarakat untuk aktif melapor jika menemukan debt collector yang melakukan penagihan dengan kekerasan atau aksi premanisme. Bila pengaduan ini dirasa cukup, maka OJK dapat menindak fintech tersebut karena tak sesuai aturan.
"Kenapa perlu bertransaksi dengan fintech legal, karena yang legal ada aturan main, tunduk pada POJK kita. Kalau ilegal ya jelas tidak tunduk, tidak bisa kita cegah, tapi untuk yang legal ada prosedurnya. Telepon ke 157, atau kirim ke email OJK, atau datang langsung," imbau Agus.
Kalau pengaduan tersebut memenuhi syarat, OJK berhak menuntut pihak penyedia jasa peminjaman tersebut untuk mengganti rugi.
"Intinya kalau mengadu, akan kami tangani, untuk yang legal. Tapi kalau ilegal, nanti akan diblokir, lapor bareskrim, dan lainnya," tutup Agus.
ADVERTISEMENT
****
Saksikan video menarik di bawah ini: