Korban Pemukulan WN Australia di Aceh Minta Biaya Pengobatan dan Pemulihan

8 Mei 2023 20:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Korban pemukulan WN Australia di Simeulue menjalani perawatan di RSUD Meuraxa, Banda Aceh. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Korban pemukulan WN Australia di Simeulue menjalani perawatan di RSUD Meuraxa, Banda Aceh. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ediron (39 tahun), korban pemukulan WN Australia Bodhi Mani Risby, masih menjalani perawatan. Kakinya mengalami luka robek hingga harus menjalani operasi sebanyak dua kali.
ADVERTISEMENT
Terkait kasus ini pihak keluarga meminta pelaku bertanggung jawab memberikan biaya pengobatan selama korban menjalani perawatan. Selain itu juga biaya hidup untuk korban dan keluarganya.
Sebab menurut Abang korban, Poni Harjo, akibat peristiwa itu Ediron tidak bisa lagi bekerja. Karena menurut dokter, korban butuh waktu 3 bulan untuk pemulihan.
“Selama ini bekerja serabutan. Aktivitas sehari-hari kadang jadi driver, nelayan, terkadang kalau pada hari-hari besar Islam aktivitasnya sebagai agen ternak sapi atau kerbau,” katanya, Senin (8/5).
Dalam prosesnya beredar kabar korban meminta biaya hingga Rp 600 juta kepada pelaku. Namun hal ini dibantah oleh Poni.
Poni menjelaskan awalnya ia dan Afwan Siregar, selaku pemilik resort tempat pelaku tinggal di Simeulue, bertemu untuk membahas terkait pemulihan kesehatan korban, upaya dan biaya perdamaian antara pelaku dengan korban. Pihak resort menjadi penghubung keluarga korban dengan pihak pelaku.
ADVERTISEMENT
"Kami kemudian menetapkan biaya pengobatan dan pemulihan dengan nilai antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta," ujarnya.
Namun, korban yang dihubungi via telepon menolak. Korban menyatakan jumlah itu sangat tidak seimbang dengan rasa sakit yang ia rasakan.
Mendengar jawaban korban, Poni dan Safwan lalu membuat draf usulan baru terkait biaya pengobatan korban Ediron yang menjadi tanggung jawab pihak pelaku.
Adapun usulan tersebut ialah biaya santunan musibah sakit diderita korban Rp 200 juta. Biaya kebutuhan hidup pasca keluar rumah sakit selama masa pemulihan Rp 100 juta.
“Apabila korban mengalami cacat akibat penganiayaan ini maka korban meminta biaya untuk kebutuhan keluarganya Rp 300 juta,” sebut Poni.
Kemudian, dalam draf usulan tersebut pihaknya juga menuliskan tentang adat dan budaya Simeulue di mana penyelesaiannya akan dilakukan acara Peusijuk yang biayanya ditanggung pelaku.
ADVERTISEMENT
"Namun ini sifatnya baru draf usulan dari kami mewakili korban dengan Safwan pemilik resort tempat bule itu selama di Simeulue. Ini belum final, namanya baru draf usulan bukan final," ungkapnya.
Draf usulan itu, kata Poni Harjo, baru sekadar ditulis tangan di kertas buku. Namun, tiba-tiba Safwan pemilik resort membuat draf tersebut dalam bentuk ketikan pada kertas HVS dan mengirimkan kepada kuasa hukum pelaku.
“Lalu, disebutkan bahwa saya yang telah mengajukan biaya sebesar itu. Dan ironisnya, seolah-olah jumlah itu sudah final, bukan draf usulan. Saya selaku keluarga korban tidak pernah menetapkan angka Rp 600 juta untuk damai dengan pelaku. Itu informasi yang sangat keliru," tegasnya.
Ia menyayangkan biaya kompensasi yang belum jelas itu sudah beredar ke publik. Apalagi selama ini pihak pelaku belum menemui korban selama dirawat di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Padahal menurutnya untuk berdamai keluarga korban dan pelaku seharusnya berkomunikasi lebih dahulu. Sehingga tidak menimbulkan miskomunikasi seperti saat ini.
Lagi pula jumlah tersebut menurut Poni tidak dapat dibandingkan dengan angka-angka nilai uang.
"Jadi kita berharap jangan sampai ada miskomunikasi soal angka atau nilai uang," pungkasnya.