Kisah Pilu di Perang Gaza: Bayi Prematur Dipaksa Pisah dari Orang Tuanya

30 April 2024 18:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita menggendong bayi, saat warga Palestina yang mengungsi, yang meninggalkan rumah mereka akibat serangan Israel, berlindung di tenda kamp di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, di Rafah di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita menggendong bayi, saat warga Palestina yang mengungsi, yang meninggalkan rumah mereka akibat serangan Israel, berlindung di tenda kamp di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, di Rafah di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang bayi di Palestina lahir prematur, dua bulan setelah perang berkecamuk di Gaza. Bayi bernama Yehia Hamuda itu dievakuasi ke Rafah, Gaza selatan, setelah pasukan Israel menggerebek rumah sakit tempatnya dirawat di utara.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tuanya terjebak di utara. Semenjak hari itu, mereka tak pernah bertemu dengan Yehia.
Kini bayi itu sudah berusia lima bulan. Ibunya, Sondos, dan ayahnya, Zakaria, hanya bisa melihat Yehia melalui foto di ponselnya.
Rumah mereka terletak di Jabalia, Gaza utara. Mereka dipisahkan dari selatan oleh pos pemeriksaan militer Israel.
Sondos mengatakan, saat ini terlalu berbahaya melakukan perjalanan sejauh 30 km dari Jabalia ke Rafah.
“Ada tank dan buldoser. Saya dan suami tidak bisa pergi,” katanya, seperti dikutip dari Reuters.
“Mereka akan membunuh kami. Saya khawatir anak saya akan hidup sendirian,” tambahnya.
Yehia lahir pada 27 November, tujuh minggu setelah konflik di Gaza mulai.
Sebelumnya, Sondos dan Zakaria tak mengetahui kabar anaknya selama tiga bulan. Lalu, pihak rumah sakit di Rafah memberi tahu bahwa Yehia baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Selain karena alasan jarak, keduanya memutuskan tetap tinggal di Jabalia karena takut tidak punya tempat tinggal di Rafah.
“Setelah tiga bulan, saya melihat fotonya di ponsel. Saya ingin menggendongnya. Saya ingin menyusuinya. Setiap hari dada saya sakit. Saya tidak bisa menghadapinya,” kata sang ibu.
Warga beristirahat di luar, ketika warga Palestina tiba di Rafah setelah mereka dievakuasi dari rumah sakit Nasser di Khan Younis akibat operasi darat Israel di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
Yehia dirawat oleh perawat dan staf medis di Rumah Sakit Al-Emirati di Rafah.
Perawat di rumah sakit tersebut, Amal Abu Khatla, mengatakan bayi itu mengalami kondisi yang sangat sulit saat pertama kali tiba.
“Setelah satu minggu alhamdulillah kesehatannya membaik, namun kami hilang kontak dengan orang tuanya, sampai-sampai kami mengira orang tuanya syahid (dibunuh),” ujarnya.
Ia berkata bahwa bayi tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama para perawat rumah sakit.
ADVERTISEMENT
"Ia sangat disayangi, dan kami memberikan banyak perhatian kepadanya," ungkap Amal.
Di Jabalia, sang ayah menyampaikan keinginannya bertemu dengan Yehia.
“Satu-satunya harapan saya dalam hidup adalah menggendong putra saya dan agar Tuhan menyatukan kembali kami dengan putra kami,” katanya.