Kisah Pedagang Cilok di Karawang Bangun Pesantren dari Lahan Bekas Kandang Sapi

10 Maret 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang.
 Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pondok Pesantren Roudhlotul Burhan di Karawang menjadi salah satu perhatian. Selain lokasinya yang tak biasa, pondok pesantren ini juga dibangun oleh seorang pedagang cilok, kok bisa?
ADVERTISEMENT
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan bangunan pondok pesantren Roudhlotul Burhan ini. Sepertinya layaknya pondok dan sekolah di sejumlah tempat lain.
Ada masjid, lapangan olahraga, ruang kelas hingga asrama santri. Yang berbeda, lokasinya berada di kompleks pemakaman.
Ya, pondok pesantren ini tepatnya Desa Pasirjengkol, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang. Pesantren ini dibangun oleh Kang Amo Zakaria, seorang pedagang cilok.
Amo memang bukan cuma pedagang cilok. Dia sempat menjadi santri dan menuntut ilmu agama di salah satu pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pria asal Lampung itu pindah ke Karawang pada 2009 setelah rampung menuntut ilmu di pesantren.
Awalnya Amo tinggal bersama keluarganya. Dia bekerja serabutan termasuk berjualan cilok di Majalaya. Pagi berjualan, kadang membantu menjadi kuli bangunan bahkan menjadi marbut masjid. Malam harinya mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumahnya.
Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang. Foto: Dok. Istimewa
Setelah 9 tahun, ada seseorang yang datang kepadanya dan menawarkan untuk mengelola tanah wakaf. Luasnya sekitar 9.000 meter persegi. Pesannya jelas, jadikan lahan itu untuk pondok pesantren.
ADVERTISEMENT
"Beliau mewakafkan sebidang tanah di pinggir makam, yang mana pada saat itu masih semak belukar, kebun bambu dan pohon pernis," ungkap dia.
Namun, orang itu hanya menitipkan lahan. Untuk pembangunan Amo harus berusaha sendiri.

Dicemooh Orang

Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang. Foto: Dok. Istimewa
Bermodal nekat, dia pun akhirnya memutuskan mengambil amanah itu dan mulai membangun pondok pesantren.
Karena lokasinya yang terisolir dari permukiman, tak jarang Kang Amo mendapatkan cibiran dari orang lain.
Apalagi bangunan pondok mulanya hanya memanfaatkan material dari bekas kandang sapi berukuran 2x3 meter.
"Diejek orang enggak bakal bertahan lama karena lokasinya dekat kuburan, malah pas bikin pondasi pertama, kita disangka mau gali kuburan," kenang dia.
"Itu pun waktu itu baru ada 1 santri dari Subang yang mau ikut mondok," lanjutnya.
Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang. Foto: Dok. Istimewa
Bahkan, di awal-awal pembangunan, dia mengaku sempat kewalahan karena kehabisan modal.
ADVERTISEMENT
Namun, berkat kegigihan dan keikhlasan, ikhtiar Kang Amo pun mulai membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, rezeki untuk pembangunan pesantren terkumpul dari banyak donatur.
Pesantrennya kini mampu mendirikan lembaga pendidikan formal dari jenjang TK, SD sampai SMP.
"Santrinya sekarang yang mukim sudah ada 80-an. Alhamdulilah selain santri asal Karawang ada yang dari Medan, Palembang, Lampung, Sukabumi, Bandung," terangnya.
Bangunan pesantren yang didirikan oleh pedagang cilok di Karawang. Foto: Dok. Istimewa
Meski jumlah santrinya belum banyak, kualitas santri itu yang harus dijaga. Karena dia berharap para santrinya ini akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi siapa pun.
"Jadi kiai sebetulnya bukan cita-cita, kebetulan aja ada rezeki," katanya, Sabtu (9/3).
"Alhamdulillah selama niatan kita lurus, semua pasti ada jalannya. Itu yang selalu saya tekankan kepada para santri," tutupnya
ADVERTISEMENT