Keraton Yogya Peringati Hari Penobatan Sultan HB X Jadi Raja, Seperti Apa Itu?

18 Maret 2024 17:06 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
ADVERTISEMENT
Sultan Hamengku Bawono X genap 35 tahun bertakhta pada 7 Maret 2024 lalu. Keraton Yogyakarta pun memperingati hari itu sebagai hari penobatan sultan sebagai seorang raja. Dalam budaya Jawa, peringatan ini dikenal dengan sebutan Tingalan Jumenengan Dalem.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, hari peringatan penobatan Sultan ini kerap luput dari pengetahuan mereka. Banyak masyarakat lebih awam mendengar kebudayaan-kebudayaan Yogyakarta lain, seperti ritual malam 1 Suro, upacara grebeg, hingga upacara daur hidup masyarakat Jawa.
"Tingalan itu peringatan, Jumenengan itu kenaikan tahta, kata Dalem itu sendiri kalau di keraton merujuk kepada Ngarso Dalem atau Sultan yang bertahta," jelas Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, suami puteri keempat Sultan, kepada kumparan, Sabtu (9/3).
Selama ini, Tingalan Jumengan Dalem dan tradisi-tradisi di dalam peringatan tersebut masih kurang dimaknai secara tepat. Tingalan Jumenangan Dalem memang terdiri dari serangkaian upacara. Yang pertama adalah Ngebluk, yang berarti kegiatan membuat adonan apem.
Ngebluk hanya dilakukan oleh para wanita yang dipimpin permaisuri dan putri raja tertua. Kemudian, di hari berikutnya, proses pembuatan apem dilakukan, dengan dua ukuran. Apem biasa dengan ukuran kecil, lalu apem besar, atau disebut apem mustaka yang disusun sesuai dengan tinggi badan Sultan.
Ritual Ngapem di Keraton Yogyakarta. Foto: Instagram/@gkrbendara
Dalam peringatan Tingalan Jumenengan Dalem, juga terdapat upacara labuhan, seperti tradisi-tradisi lain yang ada di Keraton Yogyakarta. Labuhan ditujukan sebagai doa dan pengharapan untuk terhindar dari segala macam sifat buruk. Prosesinya, menghanyutkan atau meletakkan benda-benda (ubarampe) ke tempat petilasan.
ADVERTISEMENT
Sebelum labuhan, para abdi dalem akan mempersiapkan ubarampe yang terdiri dari seperangkat pakaian yang pernah digunakan Sultan, pakaian untuk laki-laki dan perempuan, serta potongan kuku, rambut, dan sekar layon (bunga-bunga yang layu dan kering).
Beberapa lokasi petilasan yang menjadi lokasi labuhan, di antaranya Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Tapi sebenarnya, puncak acara dari Tingalan Jumenengan Dalem terjadi sebelum labuhan dilakukan, yang disebut Sugengan.
Sugengan di Keraton Yogyakarta. Foto: Keraton Yogyakarta
Sugengan merupakan upacara selamatan yang dilakukan untuk memohon doa atas keselamatan Sultan dan keraton. Saat Sugengan, ubarampe yang akan dilabuh juga akan didoakan dan disemayamkan semalaman di Bangsal Srimanganti.
Rangkaian kegiatan tersebut telah dilakukan sebelum hari penobatan Sultan yang jatuh pada 7 Maret 2024 kemarin. Peringatan Tingalan Jumenengan Dalem tahun ini beriringan dengan peringatan hari penegakan kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Hari tersebut merupakan peringatan terhadap sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebab, peristiwa itu diinisiasi langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta saat itu.
Menantu Sultan HB X, KPH Notonegoro. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Bahkan, KPH Notonegoro mengatakan momen paling tepat buat mengunjungi Yogyakarta memang sebenarnya adalah di awal bulan Maret.
"Ada beberapa acara sebenarnya, kalau bisa disambungkan, kebetulan kalau di Jogja ini kita itu beruntun ya (acara). Tanggal 1 Maret itu punya makna yang istimewa bagi Yogya, karena 1 Maret ditetapkan sebagai hari penegakan kedaulatan negara, di mana waktu itu masyarakat Yogya melakukan Serangan Umum 1 Maret," jelasnya.
Tanggal 7 Maret 2024 sebagai hari peringatan penobatan Sultan ini diperoleh dari perhitungan kalender Jawa. KPH Notonegoro menambahkan, nantinya 13 Maret akan diperingati sebagai hari berdirinya Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
"Kemudian tanggal 7 Maret itu, Ngarso Dalem itu beruntun ya (acaranya), Ngarso Dalem naik tahta tahun 1989. Kemudian mungkin minggu depan akan ditetapkan secara resmi tanggal 13 Maret sebagai hari berdirinya nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang akan ditetapkan di DPR. Jadi, buat semuanya aja, mungkin akan ada momen paling tepat untuk datang ke Jogja itu adalah di awal bulan Maret. Tanggal 1, tanggal 7, tanggal 13, itu perayaannya beruntun," kata KPH Notonegoro.
Menantu Sultan HB X, KPH Notonegoro menghadiri Kirab Trunjaya di peringatan penobatan Sultan. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Nah, bertepatan dengan peringatan hari penobatan Sultan pada 7 Maret 2024, keraton mengadakan Kirab Tranujaya. Kemudian, hari selanjutnya (8/3), digelar pentas tari Beksan Trunajaya di komplek Keraton Yogyakarta. Rangkaian acara Tingalan Jumenengan Dalem sebenarnya cukup panjang.
Tak hanya pagelaran kebudayaan Yogyakarta, keraton juga mengadakan pameran bertajuk "Abhimantra", tentang upacara-upacara adat di Yogyakarta. Pameran ini masih bisa dikunjungi publik hingga 25 Agustus 2024 mendatang. Selain itu, keraton juga mengadakan acara International Symposium on Javanese Culture 2024 yang telah dilaksanakan pada 9-10 Maret 2024.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak hanya berperan sebagai pelaku dari kebudayaan itu sendiri, tapi membangun ruang diskusi untuk kepentingan akademis terkait kebudayaan, khususnya Yogyakarta yang terus dilestarikan hingga saat ini.

Cerita Pelaku dan Penonton Kirab Trunajaya

Kembali lagi ke rangkaian acara Tingalan Jumenengan Dalem, para abdi dalem dan penari menjadi bagian dari pelaku Kirab Trunajaya. Setelah melakukan kirab, mereka juga menampilkan tari Beksan Trunajaya di komplek keraton. Selain abdi dalem dan penari, kirab juga diikuti 10 kalurahan budaya yang ada di Yogyakarta.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Warga Kalurahan Ngeposari, Surtanto, menceritakan perjuangan desanya mendapatkan predikat "kalurahan budaya". Berkat predikat ini, Kalurahan Ngeposari dapat berpartisipasi dalam kirab Trunajaya di hari Tingalan Jumenengan Dalem.
"Berangkat jam setengah 11 siang, sampai sini jam setengah 1. Prepare di sini terkait properti dan sebagainya. Ini pertama kali ikut di Yogya seperti ini. Kebetulan, Kelurahan Ngeposari di tahun 2023 kemarin ditetapkan sebagai kalurahan budaya dari Dinas Kebudayaan Provinsi DIY," tutur Surtanto kepada kumparan, Kamis (7/3).
ADVERTISEMENT
Ia menceritakan perjalanan Kalurahan Ngeposari untuk meraih predikat itu. Surtanto dan warga harus berjuang kurang lebih 8 tahun sampai pada akhirnya mendapatkan sertifikat kalurahan budaya.
Bahkan, saat mereka pergi untuk mengambil sertifikat kalurahan budaya, warga termasuk Surtanto mesti berjalan kaki dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta untuk kembali ke daerah Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, tempat Kalurahan Ngeposari berada.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Kemarin kita ditetapkan sebagai kalurahan budaya, kita mengambil sertifikat di Dinas Kebudayaan Yogyakarta, itu pulangnya kita jalan kaki lho mba, dari kantor Dinas Kebudayaan (di sebelah Stadion Mandala Krida) sampai ke Wonosari, kita jalan kaki. Itu jadi kebanggaan juga buat kita, setelah sekian lama kita berjuang untuk meraih predikat kalurahan budaya selama 8 tahun, itu bisa tercapai," kata Surtanto.
ADVERTISEMENT
Hal yang membuat warga Ngeposari begitu semangat dan tak mengenal lelah mengejar predikat kalurahan budaya adalah mereka juga memperoleh manfaat dana penunjang. Tak hanya dirasakan segelintir masyarakat, dana itu digunakan warga buat terus mengelola dan melestarikan kebudayaan di wilayah sendiri.
Surtanto juga menjelaskan penilaian yang menjadi klasifikasi sebuah desa layak memperoleh predikat "kalurahan budaya". Di Kabupaten Gunung Kidul, tempat Kalurahan Ngeposari berada, Surtanto dan warga lainnya harus mampu mengalahkan setidaknya 144 kelurahan di sana.
"Banyak desa yang memang mencari predikat ini. Pertama itu kan ditetapkan sebagai warisan kalurahan budaya. Rintisan dulu, terus menggali terus. Ada penilaian dari dinas kebudayaan di kabupaten namanya Gundo Kabudayan, itu yang menilai, 'Oh itu yang sudah layak'," jelas Surtanto.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Kita akan dipertarungkan, dengan kelurahan-kelurahan. 144 kelurahan di Kabupaten Gunung Kidul. Itu kita diseleksi, 'Oh ini sudah masuk, layak', semacam itu. Kita ditandingkan istilahnya, kompetisi," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Surtanto bercerita bagaimana dinas kebudayaan melihat sebuah desa yang masih terus mempertahankan kearifan lokal mereka, tak hanya terbatas pada seni tari, tapi juga bidang kuliner.
"Termasuk pola penunjangnya dari kalurahan itu, bagaimana eksistensinya mengelola budaya masyarakat adat di situ. Termasuk cagar budayanya, keseniannya, kulinernya, itu masih dijaga apa enggak, tempat-tempat ritual dan sebagainya itu," tutur Surtanto.
"Di tempat saya, masih melakukan adat-adat semacam itu, upacara tradisional di desa. Event-event itu terus kita kelola, terus kita manajemen, diberikan petunjuk teknisnya dari dinas kebudayaan itu seperti apa. Kita terus berjuang," jelasnya.
Berduyun-duyun penuh semangat, warga Ngeposari dengan antusiasmenya datang dari Wonosari, Gunung Kidul, ke Kota Yogyakarta membawa kebudayaan yang mereka miliki untuk pertama kalinya memeriahkan peringatan Tingalan Jumenengan Dalem.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Saat Kirab Trunajaya, Kalurahan Ngeposari membawa salah satu kebudayaan yang asli datang dari desa tersebut, yaitu tari Rampak. Lurah Ngeposari, Ciptadi, menjelaskan tarian ini memiliki makna yang merepresentasikan kekompakan warga desa dalam hal gotong royong.
ADVERTISEMENT
"Tarian yang dibawa ini namanya Rampak, asli Ngeposari. Tarian ini sudah ada sejak dahulu kala, namanya Rampak ini artinya kompak. Rampak itu artinya kekompakan warga masyarakat. Gotong royong, nuansanya seperti itu. Maka, namanya Rampak," jelas Ciptadi kepada kumparan, Kamis (7/3) .
"Kita bawa (personel tari), ada 30 beserta musiknya, pakai rebana. Jadi, ketika dapat predikat kalurahan budaya, ada dana penunjang yang diberikan oleh pemerintah daerah. Ini juga biaya ke sini ada akomodasi dan transport," tutupnya.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Kirab akhirnya dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Barisan dilepas langsung oleh KPH Notonegoro. Para abdi dalem, penari, hingga warga dari 10 kalurahan budaya berjalan di sepanjang Malioboro hingga titik akhir, di Kagungan Dalem Pagelaran Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Selama kirab, penari Trunajaya ada yang menunggangi kuda. Jumlahnya 45 kuda. Kirab juga diiringi dengan musik yang dibawakan langsung oleh abdi dalem.
Masyarakat memenuhi Jalan Malioboro untuk melihat kirab itu. Mulai dari turis dalam negeri hingga mancanegara, terlihat antusias dan takjub melihat iring-iringan budaya Yogyakarta itu.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Albert dan Esther dari Belanda, misalnya, mereka membagikan pengalamannya kepada kumparan saat pertama kali melihat perayaan Tingalan Jumenengan Dalem. Bahkan, Esther tak tahu-menahu informasi soal kirab ini sebelumnya.
"No, we did not know before it. Before we came here, we just walked in front of the street and then a lot of people told us that the carnival was, but we were not aware of it already. [Kami tidak tahu sebelumnya, sebelum datang ke sini, kami hanya berjalan-jalan di sepanjang jalan dan banyak orang yang memberi tahu bahwa ada perayaan, kami belum sadar saat itu]," jelas Esther.
ADVERTISEMENT
Ketika melihatnya, Albert terpukau dan berpikir untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kirab tersebut. Menurutnya, banyak macam-macam kostum yang unik dan spesial selama kirab berlangsung.
Albert dari Belanda menonton Kirab Trunajaya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
"The culture, it’s very beautiful. Maybe I have to read more about this event. Everyone has a lot of clothes and everything has a meaning I guess. But, I don’t know. The clothes are special. [Budayanya sangat Indah, mungkin saya harus membaca lebih terkait acara ini. Setiap orang memiliki kostumnya masing-masing dan saya pikir semuanya punya makna, tetapi saya tidak tahu. Kostumnya terasa spesial]," tutur Albert.
Begitu juga dengan Esther yang terlihat mengagumi keindahan kostum yang digunakan para penari hingga abdi dalem selama mereka berjalan di sepanjang Malioboro.
ADVERTISEMENT
"And I really liked to see all the beautiful clothing and everybody looked so happy and yeah, it was very nice. It looked like there was a lot of work on it. [Saya suka melihat keindahan kostumnya dan mereka semua terlihat senang dan itu sangat bagus. Itu terlihat seperti banyak pengerjaan]," kata Esther.

Keraton dalam Memaknai Beksan Trunajaya

ADVERTISEMENT
Keraton mengadakan pagelaran tari Beksan Trunajaya di komplek Keraton Yogyakarta pada Jumat (8/3), tepatnya sehari setelah kirab berlangsung. Seni tari Beksan Trunajaya dimulai sekitar pukul 19.30 WIB, saat itu Yogyakarta sedang diguyur hujan dengan intensitas sedang.
Namun, hujan tak mengurungkan niat masyarakat menonton perayaan Tingalan Jumenengan Dalem ini. Mereka terlihat antusias, berlari melewati genangan air dan terlihat tertawa sambil berlari-lari kecil di dalam komplek keraton.
Penonton pagelaran tari Beksan Trunajaya. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Setiap pengunjung yang masuk, mereka akan diberikan bingkisan kecil berupa tote-bag berisi minuman secang, kipas, hingga booklet tentang Beksan Trunajaya. Isi tas tersebut nantinya akan digunakan penonton sebagai properti pendukung saat dilibatkan dalam pagelaran tari. Sebab, Beksan Trunjaya merupakan pagelaran bersifat interaktif dan dua arah dengan penonton.
ADVERTISEMENT
Beksan Trunajaya merupakan mahakarya seni tari ciptaan (yasan dalem) Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Karya tersebut terinspirasi dari perlombaan watangan, yakni latihan ketangkasan berkuda dan memainkan tombak. Biasanya, lomba ketangkasan itu dilakukan para abdi dalem prajurit di zaman dahulu.
Isi goodie-bag Beksan Trunajaya. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Kala itu, perlombaan dilakukan setiap Sabtu (seton) yang selalu diadakan di Alun-alun Utara dengan iringan Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Laut dan Gendhing Monggang. Beksan Trunajaya dilakukan oleh Bregada Nyutra yang terbagi dalam beberapa seksi, yaitu Tambak Boyo, Waning Boyo, Waning Pati, Sumoatmojo, dan Trunajaya.
Seksi-seksi tersebut dibedakan berdasarkan senjata yang digunakan. Sementara, tarian Beksan Trunajaya terdiri dari beberapa tarian gabungan, seperti Lawung Alit, Lawung Ageng, dan Sekar Medura. Jadi, Beksan Trunajaya merupakan sebutan dari gabungan ketiga tarian ini.
ADVERTISEMENT
Penari-penari Lawung Alit dan Lawung Ageng sebenarnya hampir sama, terdiri dari Botoh, Lurah, Jajar, Ploncon dan Salaotho. Perbedaannya ada pada adegan. Dalam tarian Lawung Alit, terdapat adegan taruhan.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Mudahnya, Lawung Alit merupakan bagian pertama dari Beksan Trunajaya yang memiliki makna semangat bertanding yang meluap-luap, menunjukkan keberanian menghadapi lawan yang penampilannya disajikan dalam gerak tari sangat pelan dan halus.
Kemudian, tarian dilanjut dengan Lawung Ageng. Di bagian ini, tarian yang ditunjukkan adalah adu ketangkasan prajurit dalam memainkan tombak. Lawung Ageng sangat kental menggambarkan suasana berlatih perang dan adu ketangkasan dalam bermain tombak, sama seperti suasana saat lomba watangan yang berlangsung di zaman dahulu.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Ternyata, Lawung Ageng ini tak hanya ditampilkan di hari Tingalan Jumenengan Dalem, melainkan juga kerap jadi bagian dari upacara kenegaraan. Bahkan, Lawung Ageng juga ditampilkan dalam perayaan pernikahan agung putra-putri Sultan di Kepatihan. Sebelum melakukan penampilan, mereka akan melakukan kirab pengantin dengan tata busana lengkap.
ADVERTISEMENT
Nah, posisi Lawung Ageng dimaknai sama pentingnya dengan kehadiran Sultan. Sultan sempat berhalangan hadir ke pernikahan salah satu putrinya. Sultan pun mengirimkan Lawung Ageng tersebut untuk merepresentasikan dirinya.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Sedangkan, Sekar Medura merupakan puncak dari Beksan Trunajaya, yang menggambarkan suasana perjamuan para prajurit yang berpesta setelah meraih kemenangan dalam peperangan. Pada bagian akhir ini, penonton akan diajak terlibat dalam adegan minum secang bersama.
Dialog yang digunakan selama penampilan Beksan Trunajaya merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Dialog tersebut sebenarnya berisi perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.
Dari pemaknaan itu, terlihat bahwa gerakan-gerakan Beksan Trunajaya memang kuat unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin.
Mulainya pagelaran tari Beksan Trunajaya malam itu ditandai dengan pemukulan gong oleh Sultan Hamengku Bawono X dan yang ditemani anak kelimanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara. Penonton pun menyambutnya dengan meriah.
ADVERTISEMENT
Beksan Trunajaya berlangsung kurang lebih selama 2 jam. KPH Notonegoro menyebut itu termasuk 'cepat' durasinya dibandingkan dengan tradisi-tradisi Keraton Yogyakarta di zaman Sultan Hamengku Buwono I yang bisa berlangsung sepanjang hari.
Sultan Hamengku Buwana X, GKR Bendara, KPH Notonegoro di pagelaran tari Beksan Trunajaya, Jumat (8/3/2024). Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Budaya yang kita miliki ini juga kita kemas sedemikian rupa supaya bisa bersaing, dengan budaya-budaya yang datang dari luar. Karena kalau kemasannya itu tidak diubah, ini akan sangat berat. Contohnya tadi malam, Beksan Trunajaya, itu ada yang nonton ya. Lama nggak perasaan? Hampir 2 jam itu, rasanya gimana? Itu tuh senang ya, interaktif. Zaman dulu itu, pentasnya ba'da isya sampai adzan subuh," jelas KPH Notonegoro saat konferensi pers di acara International Symposium on Javanese Culture 2024, Sabtu (9/3).
ADVERTISEMENT
Pernyataan dari KPH Notonegoro sekaligus menjawab soal tantangan terbesar dalam pelestarian tradisi kebudayaan secara konsisten di tengah era modernitas. Menurutnya, supaya tradisi-tradisi di Indonesia dapat terus diterima, mereka perlu menyesuaikan kembali kebudayaan dengan perkembangan zaman. Salah satunya dengan menyederhanakan lama waktu pagelaran budaya.
"Dahulu, media itu kan cuman satu ya, TVRI. Saat ini, orang lari ke YouTube. Itu semua budaya dari seluruh dunia, mereka bisa akses. Jadi, kita betul-betul sekarang ini bersaing secara global. Nah, ini yang menjadi tantangan yang menurut saya sangat besar. Kita sekarang sudah merasakan bagaimana budaya Korea gitu, misalnya, ya itu sangat ekspansif," kata KPH Notonegoro.
Kirab Trunjaya di Peringatan Penobatan Sultan sebagai Raja, Yogyakarta. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Sehingga masyarakat Indonesia itu banyak yang secara tidak sadar, mengadopsi nilai-nilai dari Korea. Secara tidak sadar, kalau tontonannya drakor, otomatis secara tidak sadar value-nya tertransfer. Itu menurut saya tantangan terbesar. Oleh karena itu, kami dari keraton berusaha sebisa mungkin untuk bagaimana caranya (melestarikan kebudayaan Yogyakarta)," sambungnya.
ADVERTISEMENT
KPH Notonegoro juga menjelaskan pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dari perayaan Tingalan Jumenengan Dalem melalui tarian Beksan Trunajaya. Menurutnya, tari tersebut sangat erat dengan kebinekaan serta cinta Tanah Air.
"Ya sebenarnya, kalau yang tadi, dua (makna). Dua itu tadi kalau dari khusus untuk Beksan Trunajaya, ya. Kebinekaan, bagaimana kita ini menghargai kebinekaan. Kemudian semangat patriotisme. Cinta terhadap negara gitu kan. Ya kalau di konteks sekarang dalam konteks republik ya," tutur KPH Notonegoro saat ditemui kumparan, Sabtu (10/3).